Minggu, Agustus 23, 2009

Social Insurance

A few weeks ago, an insurance salesgirl came to visit me in the office. It was actually not I expected. Initially, someone from the company contacted me and asked my 30-minutes time to be interviewed. She told me that they were doing a market survey. I was reluctant to accept the request at the beginning, considering a lot of things were due. But after postponing it, I eventually accepted a representative to meet. However, the one who came, did not exactly doing a survey (although she did in the beginning of the interview), she mostly explained to me their new product and tried to convince me to join, and here come my points.

As any insurance sales will do, the representative explained about the risks that we are all facing: if we loose our job, if we suddenly pass-away, or if we have an accident that make us disable to work, etc. In short, they want us to be prepared to face all bad possibilities that we may encounter. And, by preparation means joining the insurance programs. There are a lot of insurance programs offered: wealth insurance, property insurance, health insurance, fire insurance, education insurance, and life insurance.

All these insurance programs are created to make the customers feel secured about their lives and families. However, considering the variety of programs that insurance companies offer, a customer may join more than one program. This means he/she has to pay monthly or annual premiums that most of the time not that cheap. Sometimes, this can cost him/her more than a half of the salary.

After patiently listened to what the representative had to say, I shared my thoughts with her. Some thoughts that suddenly came to my mind, and I effortlessly explained. I didn't know exactly where they came from, but let me share them with you.

So, I explained that I can understand the reasons why the insurance companies exist. I can see the potential benefits that customers, like me, can get. That is why I join some insurance programs. However, I don't want any insurance company to dictate my spending, although they offer reasonable considerations for that.

I believe that insurance alone will not help too much when we experience difficult times in our lives. The insurance companies concern only with the value of money and wealth, and modern people feel that these are very important in their lives. However, remember that every insurance program has terms and conditions that a customer have to carefully read and clearly understand. And the returns of what a customer invests in an insurance program sometimes does not come exactly at time when he/she needs. There is a certain bureaucratic process within the insurance company that we should be aware of. And, money is not everything we need when we experienced difficulties.

So, what do we need then? We all need good neighbors, caring-families, and beloved friends, and this is what I called social insurance. But how do we get that?

Last night, as a friend and I were on our way back home from Makasar, we took a taxi ride. The driver was talkative (but helpful to mentally escape from the traffic jam), and told many stories of his own life. He shared about how he spent his salary as a taxi driver and how to get higher income than his colleagues.

One of the interesting points that he shared was he feels blessed to have a lot of helpful friends when he needs supports. When his father passed-away, the company gave him some money to help his family, but his friends contributed more than what the company gave, and the contributions were not necessarily money.

Why were his friends so keen to help him? That's because he becomes friend to everybody. He chats and shares experiences with new as well as old friends, he asks questions if wants to know new things and answers even naive questions when asked, and he will be among the firsts to contribute when friends are in need. In short, he always maintain good relationship with everybody he knows. He may have some problems with some people, as all will do, but he takes the problems as part of life and think positively about them.

Having good friends, helpful neighbors, and caring families are very important when we are in needs. However, we will not have them unless we are nice, helpful and care with them. That's why the Prophet said: "Treat other people as you will like to be treated".

Good relationship with colleagues, friends and families is a long-term investment that one may not count. Because those who maintain good social relationship are doing so not for the shake of the returns, rather enjoying them as part of daily lives. We will never know when we need the return, but I strongly believe that if we have good social relationships with people we know we will always receive the returns whenever we need.

Remember, if we socially invest good deeds to those who need, don't ever expect them to return to what we have done. if we do that sincerely, we will receive the returns from people that may not expect. This reminds me to a film called "Pay It Forward": If some one helps you, pay it back to someone else who needs your help.

So, in addition to any financial-insurance program that we join, it is very important to join the social insurance program. The real social insurance is not about money that some people effortlessly receive from the government, rather maintaining good relationship with neighbors, friends, and families. Trust me, it costs us less than joining all the insurance programs that any company offers. Moreover, we could enjoy the program as we joining it.

Have a blessed Ramadhan.

Kamis, Juni 18, 2009

Cerita Kolam

from Zafar Marlianto
reply-to syiarmontreal@yahoogroups.com
to
date Wed, Jun 17, 2009 at 10:01 AM
subject [syiarmontreal] FW: Cerita Kolam & 4 Pemuda
-----------------------------------------------------------------------
Disuatu pagi hari sekitar jam 06.00, ketika ekonomi di Negeri kita,, masih juga terasa sulit,ditepian suatu kolam yg cukup luas,,ada 4(empat) org pemuda sedang merenungi nasibnya karena tdk mempunyai pekerjaan...

Tiba tiba datang seseorang yg menamakan dirinya sbg Utusan Tuhan,menawarkan pekerjaan untk mengeringkan kolam tsb,yang harus diselesaikan pd jam 18.00 dan masing2 akan mendapatkan upah Rp.250.000.. ke 4 org tersebut merasa gembira dan langsung bekerja dgn giat.

Utusan Tuhan terus mengawasi pekerjaaan ternyata merasa perlu menambah tenaga,maka jam 12.00 menugaskan 4 (empat) pemuda lainnya untk membantu mengeringkan kolam yg sama..dan jam 15.00 datang lagi 4(empat) pemuda yg berbeda ditugaskan pula membantu menyelesaikan pekerjaan pengeringan kolam tsb.TEPAT jam 18.00 kolam telah selesai dikeringkan dan sesuai janji,setiap pemuda yg bekerja menerima upah yang sama,yakni Rp.250.000Tiba tiba,,rombongan pemuda yg pertama protes, karena merasa tidak adil,mereka yg bekerja dr pagi disamakan dgn yg memulai siang hari bahkan dengan yg bekerja hanya 3 (tiga) jam pun,menerima upah yg sama....UTUSAN TUHAN tsb tersenyum seraya berkata "Bukankah tadi kita sudah sama2 sepakat dgn upah tersebut?".. .ke 4 rombongan pemuda pertama tersebut menjawab serentak...: Tetapi..!!.. .

"Utusan Tuhan tadi melanjutkan dgn tersenyum ;" Masalahnya bukan adil atau tidak adil,,masalah yg sesungguhnya adalah kalian hanya,, iri hati,,Apabila kalian tdk dibantu oleh 8 (delapan) pemuda tadi,pekerjaan kalian tidak akan selesai pada waktunya dan belum tentu kalian akan menerima upah..!!"Oleh karenanya janganlah kita senang menghitung hitung rezeki orang lain,namun "Bersyukurlah" dengan apa yg kita peroleh,, niscaya akan terasa, betapa indah hidup ini..Jauhi sifat Iri dan dengki, Insya Allah hidup akan damai tanpa musuh atau dendam dihati.

Selasa, Juni 09, 2009

Komersialisasi Pendidikan

Pengaruh globalisasi tak terelakkan lagi masuk ke dunia pendidikan. Salah satu efeknya adalah merubah orientasi lembaga-lembaga pendidikan menjadi economic driven institution. Bagaimana tidak, semua orangtua ingin anak mereka memperoleh pendidikan yang baik, sehingga kelak memperolehh pekerjaan yang layak, berpenghasilan memadai, dan tidak menjadi benalu bagi orang lain. Untuk itu, sekolah harus dilengkapi dengan fasilitas yang baik dan gaji pendidik yang layak.

Tentu pemerintah, selaku pihak yang memiliki tanggung jawab utama dalam dunia pendidikan, tidak mampu menyediakan semuanya secara instan. Karena bagaimanapun pemerintah memiliki keterbatasan dana, dan dana yang terbatas itu pun bukan hanya untuk pendidikan. Sementara tuntutan untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil pendidikan terus meningkat. Banyak orangtua yang bersedia membayar lebih demi kepentingan pendidikan anak-anaknya. Walhasil, terbukalah peluang bagi orang-orang yang memiliki modal yang cukup untuk melakukan "investasi" di bidang pendidikan.

Dalam sejarahnya, semangat pendidikan kolektif dilakukan oleh gerakan-gerakan keagamaan, seperti masjid dan gereja untuk memastikan pelestarian nilai-nilai moral dan praktek beragama dari generasi ke generasi. Oleh karenanya, ketika itu semangat yang melandasi pendidikan pun adalah semangat dakwah atau mission. Para pemrakarsa dan pelaku jauh dari keinginan untuk memperoleh keuntungan materi. Oleh karenanya, hubungan antara guru dan murid menjadi sangat personal dan terkadang bersifat spiritual.

Perubahan tatanan kehidupan masyarakat dunia dewasa ini nampak memiliki pengaruh besar ke dalam dunia pendidikan. Keberhasilan industrialisasi menyebabkan perubahan pola hidup masyarakat secara global. Faktor ekonomi menjadi salah satu indikator penting (jika bukan yang paling penting) kemakmuran dan kesejahteraan hidup individu, masyarakat, bahkan negara. Karenanya, keberhasilan di bidang ekonomi menjadi target pencapaian keberhasilan banyak pihak.

Ketika dunia pendidikan berkembang sedemikian rupa dewasa ini, ia berada di tengah-tengah masyarakat yang menjadikan ekonomi sebagai indikator keberhasilan dan kesuksesan. Karenanya, banyak orang yang menganggap pendidikan sebagai sebuah investasi, dan ketika bicara investasi, maka seringkali, sekali lagi seringkali, yang diharapkan adalah economic return atau keuntungan finansial di masa depan. Artinya, ketika para orangtua berinvestasi untuk pendidikan anak-anaknya, maka ia berharap suatu saat nanti anak-anaknya itu akan menjadi orang-orang yang memiliki kemandirian dalam hal finansial.

Pola pikir yang tak jauh berbeda, mungkin juga menghinggapi orang-orang yang berinvestasi di dunia pendidikan. Menyadari bahwa pemerintah tidak mampu memenuhi tuntutan kebutuhan kualitas pendidikan yang kian meningkat, sementara demand terhadap hal itu kian tinggi, maka investasi di dunia pendidikan adalah hal yang menjanjikan keuntungan. Dengan menyediakan fasilitas yang memadai dan guru-guru berkualitas dengan gaji yang pantas, banyak orang yang menanamkan modalnya untuk membuat sekolah-sekolah yang lengkap. Dengan tidak bermaksud meng-generalisir, sebagian pemilik modal berharap mereka akan memperoleh keuntungan finansial yang besar melalui penyelenggaraan pendidikan itu.

Gayung pun bersambut, orangtua senang dengan kehadiran sekolah-sekolah yang lengkap dan bersedia membayar mahal demi pendidikan anak-anak mereka. Di sekolah-sekolah itu, anak-anak dikenalkan dengan hak-hak mereka terhadap guru dan sekolah. Para guru pun harus melayani siswa-siswi mereka dengan baik, sambil berupaya mengantarkan mereka untuk memperoleh pendidikan yang baik.

Sayangnya, di sebagian sekolah semacam itu, hubungan guru-murid maupun orangtua murid-guru sering terbatas pada hubungan service provider-customer. Sering terjadi siswa tidak lagi memiliki rasa hormat kepada guru, karena mereka datang naik mobil pribadi sementara sang guru naik angkot. Orangtua siswa terkadang juga kehilangan respek terhadap pendidik anak-anak mereka karena mereka merasa telah membayar. So, yang dilakukan guru itu memang sudah seharusnya, karena mereka dibayar untuk itu. Akibatnya, hubungan spiritual dan emosional antara guru dan siswa menjadi berkurang, karena kegiatan pendidikan sudah tereduksi menjadi sebuah transaksi ekonomi.

Ini terjadi dan akan terus terjadi jika liberalisasi di dunia pendidikan dibiarkan terus berlangsung. Pendidikan akan kehilangan ruhnya dan nilai-nilai humanisme dalam pendidikan akan kehilangan pegangannya.

Karena itu, perlu diingatkan bahwa pendidikan bukan semata-mata sebuah kegiatan jasa yang beorientasi pada keuntungan materi. Pendidikan merupakan proses pembentukan pribadi yang utuh yang mesti memperhatikan seluruh aspek kehidupan manusia agar seimbang dan utuh. Komersialisasi pendidikan dalam jangka panjang hanya akan membawa kerugian bagi kemanusiaan.

Senin, Mei 25, 2009

Mencintai Tanpa Syarat

Cerita ini sudah tersebar luas di internet. Tapi ngga salah kalau saya juga ingin ikut menyimpannya. Katanya sih Based on True Story.

***

Dilihat dari usianya, beliau sudah tidak muda lagi. Usia yang sudah senja bahkan mungkin sudah mendekati malam. Pak Suyatno, 58 tahun, mengisi kesehariannya dengan merawat istrinya, juga sudah tua, yang sakit. Sudah lebih 32 tahun mereka menikah.

Mereka dikaruniai 4 orang anak. Disinilah awal cobaan menerpa. Setelah istrinya melahirkan anak ke empat mereka, tiba - tiba kakinya lumpuh dan tidak bisa digerakkan. Hal itu terjadi selama lebih kurang 2 tahun. Menginjak tahun ke tiga keadaan bertambah parah, seluruh tubuhnya menjadi lemah, terasa tidak bertulang. Bahkan, lidahnya pun sudah tidak bisa digerakkan lagi. Ia tak lagi bisa berkomunikasi verbal dengan suaminya.

Tetapi sang suami tak pernah menyerah, bahkan untuk mengeluh. Setiap hari Pak Suyatno memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi, dan mengangkat istrinya keatas tempat tidur. Sebelum berangkat kerja, ia letakkan istrinya didepan TV supaya istrinya tidak merasa kesepian.

Walau istrinya tidak dapat bicara, tapi Pak Suyanto selalu melihat istrinya tersenyum. Untunglah tempat usaha Pak Suyatno tidak begitu jauh dari rumahnya, sehingga ia bisa pulang di siang hari untuk menyuapi istrinya makan siang. Sore hari, sepulang kerja, ia memandikan istrinya, mengganti pakaian. Lalu selepas maghrib ia temani istrinya nonton televisi sambil menceritakan pengalamannya hari itu.

Walaupun istrinya hanya bisa memandang tanpa mampu menanggapi, Pak Suyatno sudah cukup senang. Ia bahkan selalu menggoda istrinya setiap berangkat tidur. Rutinitas ini telah dijalani Pak Suyatno selama lebih kurang 25 tahun. Dengan sabar dia merawat istrinya sambil membesarkan keempat buah hati mereka. Sekarang anak - anak mereka sudah dewasa tinggal si bungsu yang masih kuliah.

Suatu hari, keempat anak Pak Suyatno berkumpul di rumah orang tua mereka sambil menjenguk ibunya. Karena setelah menikah, mereka tinggal dengan keluarga masing - masing, sementara Pak Suyatno memutuskan untuk tetap merawat ibu mereka. Hanya satu yang diinginkannya: Anak-anaknya menjadi orang-orang yang berhasil.

Di saat pertemuan itu, anak-anak memiliki permintaan pada Pak Suyanto. Dengan kalimat yang disusun dengan hati - hati, anak yang sulung berkata:
"Pak, kami ingin sekali merawat ibu. Semenjak kecil, kami melihat bapak merawat ibu. Tidak ada sedikitpun keluhan keluar dari bibir bapak....... bahkan hingga kini Bapak tidak mengizinkan kami untuk menjaga ibu".

Dengan air mata berlinang anak itu melanjutkan kata - katanya, "Pak, sudah yang keempat kalinya kami menyampaikan bahwa kami tidak keberatan Bapak menikah lagi. Kami rasa, ibupun akan mengizinkannya. Kapan bapak menikmati masa tua Bapak dengan berkorban seperti ini? kami tidak tega melihat Bapak, kami janji kami akan merawat ibu dengan sebaik-baiknya secara bergantian".

Mendengar permintaan anak-anaknya itu, Pak Suyatno memberikan jawaban yang sama sekali tidak diduga oleh anak - anak mereka:
"Anak – anakku... Jikalau perkawinan dan hidup di dunia ini hanya untuk nafsu, mungkin bapak akan menikah lagi... tapi ketahuilah, kehadiran kalian disampingku sudah lebih dari cukup. Dia telah melahirkan kalian... (sejenak kerongkongannya tersekat)... Kalian yang selalu kurindukan hadir di dunia ini dengan penuh cinta. Tidak satu orang pun dapat menghargai dengan apapun. Coba kalian tanya ibumu, apakah dia menginginkan keadaanya seperti ini. Kalian menginginkan bapak bahagia dengan menikah lagi. Apakah batin bapak bisa bahagia meninggalkan ibumu dengan keadaannya sekarang? Kalian menginginkan bapak yang masih diberi Tuhan kesehatan dirawat oleh orang lain, bagaimana dengan ibumu yang masih sakit?"

Sejenak meledaklah tangis anak - anak pak Suyatno. Merekapun melihat butiran – butiran kecil jatuh di pelupuk mata Ibu Suyatno... dengan pilu ditatapnya mata suami yang sangat dicintainya itu.

Sampailah akhirnya Pak Suyatno diundang oleh salah satu stasiun TV swasta untuk menjadi nara sumber dan merekapun mengajukan pertanyaan kepada Suyatno kenapa mampu bertahan selama 25 tahun merawat istrinya yang sudah tidak bisa apa – apa.

Di saat itu meledak tangis beliau. Tamu yang hadir di studio, yang kebanyakan kaum perempuan, pun tidak sanggup menahan haru. Di situlah Pak Suyatno berbagi
"Jika manusia di dunia ini mengagungkan sebuah cinta dalam perkawinannya, tetapi tidak mau memberi (memberi waktu, tenaga, pikiran, perhatian) adalah kesia-siaan.
Saya memilih istri saya menjadi pendamping hidup saya. Sewaktu dia sehat, dia dengan sabar merawat saya, mencintai saya dengan hati dan batinnya, dan dia memberi saya 4 orang anak yang lucu – lucu. Sekarang dia sakit karena berkorban untuk cinta kami bersama... dan itu merupakan ujian bagi saya, apakah saya dapat memegang komitmen untuk mencintainya apa adanya. Sehatpun belum tentu saya mencari penggantinya, apalagi dia sakit..."

Senin, Mei 11, 2009

Perbedaan dan Sikap Inklusif

Dalam beberapa bulan ini, saya dan teman-teman sedang mendiskusikan sebuah tema yang akan diusung untuk acuan sebuah tayangan. Tema yang dimaksud adalah inclusiveness. Terus terang saya tidak bisa menemukaan padanan kata yang pas dan nyaman didengar dalam bahasa Indonesia, ada yang menyebut ketermasukan, kesertaan, dan keterlibatan. Tetapi kok belum begitu pas ya. Karenanya tema itu dibiarkan dalam bahasa aslinya.

Kami berpikir ada hal yang lebih penting ketimbang penerjemahan kata tersebut, yaitu alasan mengapa isu itu dipilih untuk dimunculkan.

Kita sadari betul bahwa manusia diciptakan dengan segala perbedaan. Perbedaan tersebut menyebabkan manusia terperangkap dalam identitas diri mereka. Identitas memang penting ketika ia dimaksudkan untuk menandakan individu atau kelompok satu dari kelompok lainnya, sehingga masing-masing dapat berinteraksi dengan yang lainnya secara sejajar (equal). Tetapi, identitas menjadi kendala dan bahkan perusak ketika sekelompok atau sesorang dengan identitas tertentu mulai menganggap identitas lain lebih rendah.

Berbagai identitas ataupun label yang melekat pada diri manusia (baik secara kelompok maupun individu) sering berfungsi sebagai (meminjam istilah intan) dinding yang menghalanginya untuk berinteraksi dengan individu atau kelompok lain. Akibatnya, berbagai label dan identitas yang dimiliki manusia bukan lagi berfungsi sebagai alat pengenal diri atau kelompok, tetapi lebih sebagai alat untuk menghindarkan diri dari (atau "menghukum") kelompok atau identitas lain. Dari sinilah muncul istilah exclusiveness, yaitu sikap membatasi keterlibatan atau akses individu atau kelompok terhadap keanggotaan atau kegiatan tertentu. Dengan kata lain, orang yang eksklusif cenderung menutup diri dari orang atau kelompok lain. Akibatnya kelompok lain (yang tidak dilibatkan atau diberikan akses) merasa terabaikan dan tidak dihargai.

Pada prakteknya, kita menemukan banyak potensi yang menyebabkan seseorang atau sekelompok orang di-exclude atau diperlakukan secara tidak adil. Potensi itu ada pada perbedaan jender, ras, agama, kelompok sosial, organisasi, pendapat, kesempurnaan fisik, usia, status dan lain-lain.

Sikap eksklusif, seperti disebutkan di atas, sebenarnya bukanlah tidak mengakui perbedaan. Justru sikap itu hadir karena kesadaran akan adanya perbedaan. Namun kesadaran akan perbedaan tersebut diejawantahkan dengan perilaku yang tidak menghargai. Tentu saja perilaku semacam itu sangat menganggu hubungan sosial, dan cenderung memiliki implikasi yang luas. Oleh sebab itu, perbedaan bukan hanya perlu dikenali atau dipahami, tetapi juga harus disikapi secara positif dengan cara saling menghargai (respect).

Sikap saling menghargai terhadap perbedaan meniscayakan pandangan awal bahwa setiap individu atau kelompok memiliki hak yang sama. Sikap ini dengan sendirinya menuntut keterbukaan dan kesiapan dari individu maupun kelompok untuk menerima kehadiran dan menghargai perbedaan individu atau kelompok lain. Bahkan lebih dari itu, masing-masing individu atau kelompok, pada gilirannya, dapat mengambil hal-hal positif dari individu atau kelompok lain. Bukankah ada kita diingatkan, "janganlah kau menghina orang lain, karena boleh jadi ia justru lebih baik dari kamu."

Sikap menerima, menghargai dan belajar dari perbedaan merupakan modal awal bagi terbentuknya individu dan masyarakat yang inklusif. Yaitu individu atau masyarakat yang senantiasa bersikap obyektif dan rasional dalam berinteraksi dengan individu atau kelompok lain. Hal ini tentu akan menjauhkan individu atau kelompok dari sikap perjudice yang cenderung memecah dan menyepelekan pihak lain.

Sikap inklusif ini sangat penting ketika kita menyadari bahwa dunia terdiri dari manusia dengan beragam identitas. Berbagai konflik dan peperangan terjadi karena masing-masing pemilik identitas mementingkan pihaknya dengan mengabaikan, bahkan mengorbankan, identitas pihak lain.

Bagi masyarakat yang multi identitas, seperti Indonesia, sikap inklusif ini menjadi kebutuhan yang tak terelakkan jika ingin terciptanya masyarakat yang hidup berdampingan secara damai dan berinteraksi secara positif.

Penyadaran akan sikap inklusif ini penting untuk diberikan sejak sedini mungkin melalui berbagai media pendidikan, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Karena cepat atau lambat, anak-anak akan mengenal dan dikenalkan dengan identitas diri dan kelompok mereka. Di saat itulah penanaman sikap inklusif ini menjadi kebutuhan yang tak terpisahkan.

Ketika anak berinteraksi dengan lingkungan sekitar mereka: keluarga, tetangga, teman, guru, sanak-saudara, dan orang yang baru dikenal, mereka akan segera mengidentifikasi diri mereka dan orang yang dihadapinya. Hasil identifikasi ini yang kemudian akan memunculkan sikap menerima atau menolak orang atau kelompok lain.

Pada kasus-kasus tertentu, penerimaan atau penolakan ini didasarkan pada prejudice atau pandangan remeh terhadap pihak yang ditolak. Akibatnya, hubungan antara pihak yang menolak dan yang ditolak menjadi tidak harmonis. Lalu lahirlah konflik baik secara terbuka maupun tidak. Sayangnya, konflik seperti ini akan berlarut-larut dan tak akan terpecahkan hingga akar persoalannya terselesaikan.

Atas dasar itulah, antara lain, penanaman nilai-nilai inklusif menjadi penting. Tentu saja penanaman sikap inklusif tidak dimaksudkan untuk mengaburkan identitas, menghilangkan kewaspadaan atau menisbikan kebenaran. Di sana tentu ada nilai-nilai yang penting untuk diwariskan dan dipertahankan dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, rasionalitas dan obyektivitas dalam menyikapi perbedaan menjadi modal penting bagi munculnya sikap inklusif itu.

Rabu, April 29, 2009

Politik dan Pendidikan

Ketika SBY-JK dilantik bulan Oktober 2004, banyak orang yang harap-harap cemas menanti komposisi kabinet yang mereka bentuk. Berbagai harapan muncul ketika SBY secara terang-terangan menyatakan dan melakukan fit dan proper test terhadap para calon menteri.

Hasilnya, banyak publik yang kecewa bahwa ternyata komposisi kabinetnya lebih banyak merupakan hasil kompromi politik dibandingkan dengan kualifikasi calon menteri. Akibatnya, dalam beberapa kasus SBY seperti tersandera untuk mengambil keputusan. Kasus lumpur lapindo adalah contoh yang paling nyata.

Secara personal, salah satu hal yang mengecewakan buat saya adalah penunjukan menteri pendidikan yang berlatar belakang partai. Dengan segala hormat saya kepada Prof. Bambang Sudibyo, penunjukkan tersebut mengindikasikan kurang kuatnya tekad pemerintah untuk memikirkan dunia pendidikan secara serius. Karena, meskipun menteri pendidikan terpilih merupakan praktisi pendidikan, namun latar belakang beliau yang ahli ekonomi menyebabkan cara pandang terhadap dunia pendidikan seperti menghadapi dunia bisnis.

Persoalan menjadi lebih serius ketika kita ingin melakukan akselerasi di dunia pendidikan. Akselerasi dimaksud berorientasi pada dua hal, yaitu memperluas akses dan meningkatkan kualitas. Pada aspek perluasan akses, pemerintah pusat terbantu oleh adanya undang-undang otonomi daerah yang antara lain menghendaki adanya otonomi di bidang pendidikan. Di sini peran pemerintah pusat dalam hal pendidikan menjadi berkurang. Tanggung jawab pendidikan di daerah lebih besar dibebankan kepada kepala daerah. Oleh karena itu, tidak heran jika kita mendengar berbagai daerah berlomba-lomba dalam melaksanakan program pendidikan gratis.

Persoalan perluasan akses ini juga berimplikasi pada pembangunan sekolah-sekolah baru atau peremajaan sekolah-sekolah lama di berbagai pelosok daerah. Di sini diperlukan koordinasi yang efektif antara pusat dan daerah. Di beberapa wilayah koordinasi ini berjalan dengan efektif, tetapi di sebagian yang lain nampak belum terjadi perubahan yang signifikan. Contoh yang paling ekstrim adalah adanya beberapa kasus sekolah negeri yang roboh. Di samping itu, salah satu kendala perluasan akses adalah kondisi geografis beberapa wilayah di Indonesia. Ketika lokasi satu pemukiman berjarak sangat jauh dengan pemukiman lain, sementara sarana transportasi sangat terbatas tentu akses menjadi sangat sulit. Di sinilah perlunya terobosan-terobosan baru di dunia pendidikan, yang belum nampak banyak dilakukan pemerintah.

Persoalan peningkatan kualitas disikapi oleh pemerintah dengan berbagai kebijakan. Tiga hal yang paling menonjol adalah pemberlakuan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), pemberlakuan ujian nasional dan penyelenggaraan sertifikasi guru. Dalam pengamatan saya, ketiga hal tersebut cukup bermasalah dan perlu dipikirkan secara lebih serius.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Semangat dari model kurikulum semacam ini adalah bahwa sekolah lebih tahu kemampuan dan kebutuhan anak didik mereka, oleh karena itu kewenangan penyusunan kurikulum diberikan kepada pihak sekolah. Sampai di sini kita menghadapi dua persoalan serius. Pertama, setelah berpuluh-puluh tahun sekolah menerima begitu saja kurikulum yang harus mereka ajarkan, mereka gagap ketika diminta untuk menyusun kurikulum sendiri. Akibatnya banyak kurikulum yang disusun secara asal-asalan, atau hanya dengan memindahkan kurikulum lama ke dalam format baru. Kedua, seberapa jauh pemerintah rela memberikan kebebasan kepada sekolah dalam menyusun kurikulum mereka sendiri. Sebab ternyata, ketika kurikulum telah dibebaskan untuk disusun oleh sekolah, sekolah masih dibebani oleh pola kurikulum yang seragam. Walhasil, sekolah belum nampak secara maksimal memanfaatkan peluang yang ditawarkan KTSP ini. Yang terjadi justru banyak sekolah yang bingung untuk menerapkannya. Ketika sekolah bingung, maka yang menjadi korban adalah siswa, karena kurikulum adalah menu yang mesti dinikmati siswa di sekolah.

Ujian Nasional
Ujian nasional dimaksudkan untuk menentukan kualitas lulusan siswa sekolah-sekolah di Indonesia, dengan memberlakukan standar kelulusan tertentu. Sayangnya, berbagai salah kaprah yang terjadi dalam UN, mengakibatkan efek negatif yang ditimbulkannya lebih besar dari manfaat yang diberikan. Manfaat utama yang diberikan adalah pemetaan kemampuan siswa di tiap sekolah dan wilayah, sebagai bahan perbaikan berbagai aspek penyelenggaraan pendidikan di sekolah dan wilayah tersebut. Misalnya jika di satu sekolah rata-rata siswa memiliki nilai matematika yang rendah, maka harus dilakukan perbaikan dalam hal itu.

Ternyata, alih-alih mendapatkan manfaat tersebut, ada berbagai efek negatif dari pelaksanaan UN yang tidak terencana dengan baik itu. Pertama, siswa, guru dan orang tua menyepelekan mata pelajaran yang tidak termasuk dalam UN. Padahal tujuan pendidikan (secara menyeluruh) baru bisa tercapai dengan efektif, apabila semua mata pelajaran dikuasai secara merata oleh siswa. Kedua, Sekolah mengajarkan siswa dengan latihan soal (drilling), dan mengabaikan pemahaman konsep penguasaan ilmu secara integral. Ketiga, siswa diajarkan untuk berbuat tidak jujur dalam ujian. Hal ini dilakukan karena guru dan kepala sekolah ingin agar anak-anak mereka lulus semua dalam ujian. Keempat, banyak siswa mengalami tekanan psikologis yang sangat dahsyat karena tidak siap menghadapi ujian tersebut. (Uraian lebih lanjut dapat dilihat di sini).

Sertifikasi Guru
Ada dua tujuan mulia berkaitan dengan penyelenggaraan sertifikasi ini, yaitu: melakukan seleksi ulang terhadap guru untuk memastikan kualitas mereka selaku pendidik, dan memberikan tunjangan yang memadai kepada para guru sehingga mereka dapat melaksanakan tugas dengan baik.

Sayangnya, tujuan yang pertama belum dapat diwujudkan dengan baik, karena pola sertifikasi yang berlaku belum mampu mengakomodasi kebutuhan tersebut. Persoalan yang mendasar adalah jumlah guru yang sangat banyak dan proses seleksi administrasi yang dilakukan memungkinkan untuk terjadinya penilaian yang tidak proporsional. Artinya, banyak guru yang sebenarnya pantas dianggap berkualitas, tetapi karena lemah dalam hal administrasi maka dia tidak lulus sertifikasi. Sebaliknya, banyak guru yang sebenarnya kemampuan mendidiknya lemah, tetapi karena dengan berbagai cara dia mampu melengkapi syarat administrasi maka dia lulus sertifikasi.

Hampir serupa dengan kasus ujian nasional, sertifikasi guru juga telah banyak menyebabkan guru menghalalkan berbagai macam cara untuk lulus sertifikasi. Salah satunya adalah sertifikasi menuntut dokumen lengkap keterlibatan guru di berbagai kegiatan selama mereka menjadi guru. Tentu saja mereka yang sudah menjadi guru puluhan tahun tidak semuanya menyimpan dokumen dengan baik, karena berbagai alasan. Lalu, muncullah berbagai sertifikat dan surat keterangan aspal. Bukankah ini berarti kita sedang merusak mental guru demi mendapatkan pengakuan dan gaji yang layak.

Padahal, akan jauh lebih bermanfaat jika dana sertifikasi itu dialokasikan untuk pembinaan sumber daya melalui berbagai training sesuai dengan kebutuhan para guru. Pasti hasilnya akan jauh lebih bermanfaat daripada sekedar menilai kertas-kertas yang belum tentu berbicara jujur.

Akhir kata, meningkatnya anggaran pendidikan harus diimbangi secara serius dengan kebijakan pendidikan yang terarah dan terprogram dengan baik. Karena disadari bahwa investasi pendidikan adalah investasi jangka panjang, dan karenanya tidak mungkin mengharapkan hasil yang instan. Apalagi jika berharap hasil pendidikan kita berubah secara drastis dalam lima tahun. Namun demikian, perbaikan terhadap proses pendidikan tentu akan menjadi berita gembira bagi orang tua dan praktisi pendidikan, selama itu semua terprogram dengan baik dan bukan sekedar mengejar target.

Sebagai praktisi dan akademisi pendidikan, tentu tidak berlebihan jika saya berharap pimpinan mendatang lebih serius memikirkan dunia pendidikan. lebih dari sekedar menaikkan anggaran. mz.

Selasa, April 28, 2009

My word

Kebenaran itu tidak tunggal, maka hargailah perbedaan. Tetapi tidak semua yang berbeda adalah benar, maka lihatlah perbedaan dengan kritis.

Selasa, April 14, 2009

Pemilu Legislatif 2009: Refleksi Pribadi

Semula saya apatis, bahkan terkadang sinis, terhadap hiruk pikuk kampanye pre-premilu legislatif 2009. Iklan di TV, koran, radio dan jalan hanya melintas begitu saja dari pandangan dan pendengaran saya. Mendekati pemilu saya kadang bertanya ke teman-teman se kantor, "sudah dapat undangan pemilu belum?", ada yang menjawab sudah dan belum, dan ketika balik ditanya, dengan bangga saya menjawab, "belum dong, dan saya juga ngga yakin saya akan diajak ikut pemilu."

Ketika teman-teman muali sibuk meneliti caleg yang akan mereka pilih, saya selalu menimpalinya dengan kelakar. "Ahh, buat apa repot-repot milih, emangnya mereka mikirin kita? Emangnya mereka ngapain sih nyaleg kalo bukan pengen dapat penghasilan tetap yang menggiurkan selama lima tahun." Karena itu saya selalu meng-under-estimate orang-orang yang mencaleg-kan diri, karena meresa mereka bukanlah orang yang pantas duduk di sana dan ngga yakin mereka akan bisa berkontribusi positif. Walhasil, saya tidak begitu antusias menghadapi pemilu kali ini.

Tetapi hati kecil saya tidak bisa dibohongi, saya masih cinta pada bangsa ini. Saya masih sayang pada masyarakat ini, dan saya masih setia pada negara ini. Meskipun saya tidak menerima undangan dalam Pemilu, saya merasa harus berpartisipasi. Minimal saya datang ke TPS untuk melihat apakah nama saya ada di DPT dan bagaimana proses Pemilu itu berlangsung.

Dengan bersepeda santai saya berangkat seorang diri ke TPS. Di lokasi yang saya datangi, ada tiga TPS dari tiga RT yang berbeda. Saya baru saja pindah dari RT 1 ke RT 3, karena ketua RT 3 pernah bilang ke saya bahwa saya tidak terdaftar di RT 3, maka saya langsung ke TPS RT 1. Saya melihat DPT di depan pintu masuk TPS itu, dan melihat satu persatu nama yang terdaftar, dan jreng... di urutan ke 95 tercantum nama saya. Memang ada kesalahan kecil (baca: spelling) di situ, tetapi saya yakin betul itu adalah nama saya, karena tempat tanggal lahirnya persis sama, dan di atasnya (no. 94) ada nama istri saya.

Saya masuk ke ruang TPS, dan lapor ke petugas, bahwa nama saya ada dalam DPT, tapi ngga terima undangan. Petugas mengatakan saya punya hak memilih, tapi karena tidak punya undangan saya harus membawa photo copy KTP, sebagai pengganti undangan. "Waah... mulai ngerepotin nih," pikir saya.
Soalnya saya sih bawa KTP, tapi kan ga ada tukang photo copy dekat situ. Sebelum saya menyerah ada petugas lain yang memanggil saya, dan bilang,
"Pak... undangan buat Bapak ada di saya." Katanya sambil membawa segepok kertas berkop KPU, dan menanyakan nomor urut saya.

Lalu...
"ini dia... ini undangan untuk Bapak, jadi Bapak bisa langsung ikut pemilu sekarang. Sekalian ini untuk istri Bapak, Ibu juga bisa ikut milih."
"Alhamdulillah, ternyata saya masih diakui sebagai warga negara yang punya hak pilih," pikir saya dalam hati.

Setelah nunggu beberapa saat (ngga sampai 10 menit), saya sudah dipanggil dan diberikan empat kertas suara, untuk DPD, DPR-RI, DPRD Tk.I dan DPRD Tk. II. Dengan bangga saya melenggang ke bilik suara. Lalu muncullah masalah yang saya yakin dialami oleh mayoritas pemilih. Saya bingung untuk memilih siapa atau partai apa. Saya mulai menyadari betapa pentingnya mengenal partai dan calon legilatif sebelum pemilihan.

Surat suaranya demikian besar, sehingga kalau dibuka seluruhnya, meja pada bilik suara ngga cukup. Saya memulai dengan surat suara buat DPD. Sempat bingung sejenak, tapi kemudian saya teringat ada calon DPD yang sudah punya reputasi baik. Saya tidak kenal secara personal, tapi saya cukup percaya dengan track recordnya. Saya jatuhkan pilihan saya ke tokoh itu. Lalu berlanjut ke DPR-RI dan DPRD.

Pilihan semakin membingungkan. Partainya demikian banyak, begitu juga caleg yang harus dipilih. Sangat membingungkan. Siapa yang harus saya pilih? Apa partainya? Apa alasannya? Mengapa harus dia? Tidak adakah yang lebih qualified?

Lihat dari kiri ke kanan, atas ke bawah. Masih bingung. Lalu buka lembar kedua dan ketiga, makin bingung. Akhirnya, saya teringat dua teman saya (saya sih ngga yakin kalau mereka masih kenal saya) yang mencalonkan diri, dan meskipun saya tidak terlalu suka dengan partainya, at least saya punya alasan untuk memilih, "saya kenal mereka.." So, saya putuskan saja untuk memilih mereka...

Akhirnya... tugas saya pun selesai. Keluar dari bilik suara seperti habis menempuh EBTANAS. Lega tapi juga lelah...

Sepanjang jalan pulang, di atas sepeda saya berpikir. Kenapa surat suara begitu besar? berapa banyak kertas dihabiskan untuk mencetak kertas suara? kenapa partai begitu banyak? kenapa caleg juga banyak? berapa biaya yang dikeluarkan untuk kampanye mencetak spanduk, selebaran, bayar iklan di berbagai media?

Saya teringat akan pertanyaan saya ke salah seorang teman yang kandidat doktor ilmu politik. Tak bisakah sistem politik kita dirubah? Tidak bisakah jumlah partai disederhanakan? Mengapa banyak orang yang tiba-tiba merasa pandai dan berbakat untuk menjadi politisi?

Saya ngga menyesal ikut Pemilu, meskipun prosesnya dipertanyakan banyak pihak. Saya senang telah ikut terlibat dalam proses yang membingungkan itu. Sehingga saya bisa menulis artikel ini, dan mengajukan serangkaian pertanyaan di atas.

Saya yakin banyak orang Indonesia bersepakat dengan saya. Jumlah partai harus dikurangi. Jumlah caleg harus dibatasi. Proses penyusunan dan penyampaian DPT harus diperbaiki. Harapan saya, dan mungkin juga anda, akan tertumpu di anggota legislatif yang nanti terpilih. Mudah-mudahan mereka bisa, mampu dan mau bekerja dengan baik.

My word

"Seorang pemimpin haurs berani mengambil keputusan, meskipun tidak selalu menyenangkan semua pihak. Terkadang, keputusan harus diambil meskipun banyak mendapat tantangan. Yang penting, hal itu dilakukan untuk kebaikan banyak pihak dalam jangka panjang."

My Word (2)

"Seorang pemimpin tidak hanya harus mampu mendengar suara yang disuarakan, tetapi juga suara yang tidak disuarakan"

Terinspirasi dari ayat Quran yang menyatakan wa fi amwalihim haqqun ma'lum lissaili wal mahrum. "Dan dalam harta yang mereka miliki ada haq bagi orang lain, baik itu bagi mereka yang minta maupun yang tidak minta"

Minggu, April 12, 2009

My words (1)

"Semua guru pasti bermaksud mengajarkan kebaikan, tetapi perlu diingat bahwa kenyataannya tidak semua yang dikatakan guru itu benar, dan kebenaran tidak hanya datang dari guru"

Oleh karena itu, sikap kritis terhadap guru (termasuk dosen) bukanlah hal yang mesti ditabukan. Kritis itu perlu dan baik, selama disampaikan secara santun dan dengan niat yang baik.

Kamis, April 09, 2009

Trip to Malang

Alhamdulillah, a day before the General Election for Members of Parliament 2009, I had a chance to visit Universitas Negeri Malang (UM). It was my first visit to Malang, a small and peaceful city in East Jawa. Since there were only few flights that go directly to Malang, and none of them can accommodate my schedule, I had to go to Surabaya first and ride a cab for more than 2 hours. The ride also allowed me to see the wall of the Mud-Lake of Porong Sidoarjo.

I met with the Dean of the Faculty of Education and the Dean of the Faculty of Literature, in addition to meeting with Head of Bahasa Indonesia Department, and some other lecturers, who kindly not only discussed a lot of interesting things, but also guided me and my colleague to tour the campus and the city. Thanks to Pak Gatut and Pak Wahyudi.

I had an interesting discussion with Prof. Hendyat Soetopo, the Dean of the Faculty of Education, who also generously presented me with his own book (Belajar dan pembelajaran). There were two issues that we discussed the curriculum of the Faculty and general observation on our education system.

I learned how the Faculty of Educational Sciences UM*) develops its own curriculum and the difficulties it faces when trying to change the curriculum.

The critical point of the curriculum development that the Dean shared was simplicity, concerning the number of credits as well as the number of the subjects. This means that the Faculty as well as departments within the Faculty try to maintain the number of credit as low as the regulation permits. The regulation from the Ministry of Education says that all S1 (bachelor) degree should offer between 144 - 160 credits within 4 years. So, most of the departments offer 144 credits to their students for the course of 4 years.

Additionally, within the required credits, the departments offer 3 and 4 credits courses, instead of 2. Only a few subjects offered as 2 credit subjects. As a result, the number of subjects are lower than it used to. One of the keys for that is merging two or three closely-related subjects into a single subject.

There were, without doubt, tensions between departments and among professors when the curriculum has to be changed. Change, as always, is not easily taken and implemented.

(to be continued...)



Note:
*) I was told that the acronym of Universitas Negeri Malang is UM, instead of UNM. The reason for that was because the dispute between IKIP Malang and IKIP makasar. Universitas Negeri Malang was formaerly known as IKIP (Teacher Tarining Institute of) Malang. When all IKIPs transformed to become universities, there changed their names that indicate both the area where they exist and state-funding status. Therefore, IKIP Jakarta, for instance is changed to UNJ (Universitas Negeri Jakarta). However, tehere are two institutions that can be called UNM: Malang and Makasar. At the end, Makasar uses the UNM, while Malang known as UM.
..

Minggu, April 05, 2009

Menimbang Kembali Ujian Nasional (2)

Ketiga persoalan yang disebutkan menggambarkan bahwa pelaksanaan ujian nasional saat ini memberikan pengaruh negatif bagi dunia pendidikan. Ketiga persoalan itu baru dilihat dari aspek lembaga, belum lagi jika kita melihatnya dari sisi personal. Apa yang dialami siswa ketika dicap gagal dalam UN, sementara dia memiliki bakat yang besar di luar bidang yang diujikan. Apa yang dirasakan guru ketika menghadapi dilema membiarkan siswa mengerjakana soal semampunya atau membantu mereka.

Bagi guru, persoalannya tidak sesederhana jujur atau tidak jujur. Mereka yang "membantu" siswa dengan berbagai cara tentu mengalami pertarungan nurani yang demikian berat. Guru tentu sangat faham tentang kemampuan siswa mereka, dan guru tahu betul bahwa sebagian siswa mereka yang berprestasi dan potensial, mungkin akan kesulitan dalam mengerjakan soal UN, dan jika tidak "dibantu" siswa itu terancam tidak lulus. Akibatnya, potensi yang dimiliki siswa akan tersia-siakan.

Tentu banyak persoalan lain yang menunujakkan bahwa UN (dengan cara seperti sekarang ini) bukanlah cara yang tepat untuk menyelasaikan persoalan pendidikan. UN justru menciptakan persoalan baru di dunia pendidikan, yang mempbuat persoalan semakin kompleks.

Yang kita butuhkan sebenarnya adalah cara untuk memastikan bahwa lembaga pendidikan benar-benar ialah melaksanakan tugasnya dengan baik. Mekanisme yang sering digunakan di berbagai negara untuk memastikan hal tersebut adalah akreditasi. Akreditasi dilakukan dengan melihat kualitas penyelenggaraan pendidikan di sekolah.

Di masa lalu, kita sering mendengar status sekolah: terdaftar, diakui dan disamakan. Status ini seringkali menggambarkan kualifikasi suatu sekolah vis a vis sekolah negeri yang menjadi ukuran. Tentu saja hal ini tidak efektif karena beberapa hal:

Pertama, sekolah negeri tidak selalu merupakan sekolah terbaik. Saat ini banyak sekolah swasta yang jauh lebih baik kualitasnya dari sekolah negeri. Menjadikan sekolah negeri sebagai ukuran tentu membatasi imaginasi pengelola sekolah swasta untuk menciptakan sekolah yang baik.

Kedua, akreditasi yang dilakukan seringkali sangat normatif dan kuantitatif. Sehingga pihak sekolah pun hanya memperhatikan aspek normatif, dan tentu ini tidak banyak pengaruhnya terhadap kualitas.

Ketiga, kemampuan dan independensi pihak yang melakukan akreditas. Salah satu kelemahan besar dari sistem akreditasi yang lama adalah lemahnya integritas dan kapabilitas orang yang melakukan akreditasi sehingga sulit untuk menghasilkan sistem akreditas yang bisa diandalkan.

Hemat saya, jika pola akreditasi disertai dengan follow-up pembinaan dilakukan dengan efektif, tentu akan berimplikasi pada terciptanya iklim pendidikan yang baik di sekolah. Salah satu contoh pelaksanaan akreditasi nasional yang sudah berlangsung dengan cukup baik adalah apa yang dilakukan oleh BAN-PT (Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi). BAN-PT sebagai lembaga independen yang didanai oleh negara mengakreditasi seluruh lembaga penyelenggara pendidikan tinggi di Indonesia, baik negeri maupun swasta. Hasil dari akreditasi BAN-PT memberikan informasi kepada pihak penyelenggara pendidikan, pengambil kebijakan dan pemerintah mengenai kualitas dari sebuah lembaga pendidikan. Tindak lanjutnya bisa berupa peningkatan kualitas lembaga pendidikan itu, atau bahkan penghapusan izinnya.

Persoalannya memang jumlahnya berbeda. Jumlah sekolah jauh lebih tinggi dari perguruan tinggi, sehingga membutuhkan tenaga assesor yang jauh lebih banyak dengan kualitas yang seimbang. Di samping itu, keragaman tingkat dan jenis pendidikan juga berimplikasi pada tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Namun, tentu ini bukan berarti hal tersebut tidak mungkin dilakukan. Yang penting adalah kemauan politik untuk itu. Sebab, jika sistem akreditas ini berjalan dengan baik dan efektif, maka ujian nasional tidak perlu lagi ada.

Dengan mempertimbangkan hal tersebut di atas, maka sudah selayaknya dibentuk komite regional yang bertugas melakukan akreditasi sekolah di tingkat regional. Tentu membutuhkan orang yang memiliki kemampuan (kapabilitas), kejujuran (integritas), dan kesungguhan (komitmen) untuk memajukan kualitas pendidikan, bukan orang yang hanya bertugas membuat laporan yang menyenangkan semua pihak.

(in progress...)

Jumat, April 03, 2009

Menimbang Kembali Ujian Nasional

Setiap memasuki bulan April, siswa yang berada di kelas akhir lembaga pendidikan formal selalu dihantui oleh ketidaknyamanan. Sebenarnya, ketidaknyamanan ini bukan hanya menghantui siswa, tetapi juga guru, kepala sekolah dan orang tua. Pangkalnya adalah di bulan itu (atau kadang bulan setelahnya), mereka dihadapi oleh pelaksanaan ujian nasional (UN). Yaitu, sebuah tes berskala nasional yang dimaksudkan untuk mengukur ketercapaian tujuan pendidikan oleh siswa, dan sekaligus mengukur keberhasilan sekolah dalam melaksanakan program pendidikan.


Sebenarnya, tujuan dari pelaksanaan ujian nasional ini adalah untuk mengukur efektivitas penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah, guna memetakan persoalan daya serap materi pelajaran di kalangan siswa. Diharapkan dengan adanya ujian nasional ini, pemerintah dan penyelenggara pendidikan dapat mengetahui kelemahan pendidikan nasional untuk diperbaiki dan ditingkatkan pada kesempatan berikutnya. Pada gilirannya, hal ini akan bermuara pada peningkatan kualitas pendidikan nasional. Persoalannya, berdasarkan laporan UNDP, Human Development Index (HDI) Indonesia di tahun 2006 adalah 0,726 (rangking 109 dari 179 negara). Memang benar HDI ini tidak hanya mengukur aspek pendidikan saja, tetapi juga ekonomi, kesetaraan jender, kemiskinan dan lain-lain. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan memiliki kontribusi yang sangat penting terhadap HDI ini.


Namun demikian, pertanyaannya kemudian adalah apakah Ujian Nasional (UN) merupakan bagian dari solusi yang tepat? Tentu jawabannya tidak sederhana. Kita perlu melihat secara lebih jauh bagaimana UN itu dilaksanakan dan apa implikasinya.


Adanya UN tak pelak lagi mendorong siswa dan guru untuk meningkatkan prestasi belajar mereka. Meskipun berkali-kali dijelaskan bahwa UN bukanlah satu-satunya faktor yang memastikan kelulusan siswa, kekhawatiran terhadap UN tetap saja tinggi, dan karenanya berbagai upaya dilakukan agar siswa dapat melewati UN dengan hasil yang baik.


"Hasil baik" yang diharapkan tentu bermuara pada angka-angka yang dicapai oleh siswa dihadapkan dengan nilai standar kelulusan yang ditetapkan pemerintah. Pemerintah pun berpedoman pada angka-angka yang mengindikasikan besar kecilnya prosentase kelulusan pada setiap penyelenggaraan UN. Di sinilah pangkal persoalannya. Kita terlalu mendewakan angka-angka yang menjadi indikasi keberhasilan, padahal angka-angka itu belum tentu berbicara dengan jujur, dan belum tentu merepresentasikan seluruh aspek penting dari pendidikan. Akibat terlalu percaya dengan angka ini maka pemerintah melihat persoalan UN dengan mata tertutup, yaitu bahwa UN adalah indikator keberhasilan pendidikan yang reliable dan kita pasti bisa mencapai yang ditentukan berdasarkan UN itu.


Ada tiga persoalan serius yang merupakan dampak dari UN. Persoalan-persoalan tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kualitas pendidikan nasional secara menyeluruh. Sayangnya pemerintah namapk tidak peduli terhadap persoalan yang sangat serius itu.

Persoalan pertama adalah Ketidakjujuran. Pemberlakuan UN sesungguhnya bukan hanya momok bagi siswa, tetapi juga beban berat bagi sekolah. Karena keberhasilan siswa di sekolah mencerminkan keberhasilan sekolah tersebut. Tentu tidak ada satupun guru dan kepala sekolah yang ingin siswanya tidak lulus dan tidak dapat melanjutkan ke jenjang berikutnya. Tambahan lagi banyak kepala sekolah yang diberi beban tambahan oleh atasannya (pemda maupun yayasan) untuk mecapai target nilai tertentu dalam UN. Akibatnya sekolah dan guru berupaya semampu mereka agar siswa mereka dapat melewati standar nilai minimal kelulusan. Sekali lagi yang berperan besar di sini adalah angka. Oleh karena itu, ada pihak sekolah yang menghalalkan berbagai cara agar angka yang diperoleh siswa melebihi angka minimal yang ditetapkan pemerintah.


Ketika berbincang dengan guru-guru sekolah dan madrasah di berbagai kesempatan, saya mencoba mencari tahu bagaimana cara pihak sekolah mendapatkan angka yang diharapkan itu. Jawabannya sangat mencengangkan, guru-guru ditugaskan untuk membantu siswa dalam menjawab soal ujian. Bahkan di beberapa sekolah guru memberikan jawaban kepada siswa. Karena itu, di kalangan guru-guru di sekolah dikenal istilah tim sukses UN, yang tugasnya dalah mengantarkan siswa untuk memperoleh nilai UN yang bagus.


Di sini, kita menemukan persoalan paling serius dalam dunia pendidikan. Nilai-nilai moral yang selama bertahun-tahun diajarkan di sekolah hancur seketika oleh pelaksanaan UN. Betapa tidak, bertahun-tahun guru mengajarkan agar siswa jujur, percaya diri dan tidak melanggar aturan, dihapus oleh praktek ini. Pada saat UN, guru justru mengajarkan siswa untuk tidak jujur dan tidak percaya diri.


Seribu alasan pembenaran bisa disampaikan, tetapi inti persoalannya adalah ada banyak sekolah yang melakukan praktek seperti ini, yang implikasinya justru mendidik siswa untuk tidak jujur di saat penting, hanya demi mengejar angka-angka. Hal ini tentu akan tertanam betul di benak siswa, dan tentu berimplikasi di kehidupan mereka berikutnya.


Persoalan kedua adalah Drilling. Tentu tidak semua sekolah mau melacurkan diri demi angka sebagaimana nampak pada persoalan pertama di atas. banyak sekolah yang merasa yakin bahwa mereka mampu mengantarkan siswa mereka lulus tanpa harus berbuat "curang". Tentu kita harus angkat topi terhadap sekolah-sekolah semacam ini. Sayangnya, salah satu solusi yang ditawarkan oleh pihak sekolah adalah try-out dan bimbingan. Ini adalah program untuk mengukur kesiapan siswa dan melatih kemampuan mereka dalam mengahdapi soal-soal UN. Melalui program ini, siswa dilatih untuk terbiasa menghadapi soal-soal UN dan mampu memberi jawaban yang tepat. Di sinilah persoalannya.


Menjawab soal dan memecahkan masalah merupakan salah satu kemampuan penting yang harus dimiliki oleh siswa, dan merupakan indikator keberhasilan pembelajaran. Tetapi hal itu harus dilihat dalam konteks penguasaan konsep sebuah ilmu secara sistematis dan komprehensif. Penguasaan yang sistematis dan komprehansif ini tentu saja tidak mungkin dicapai dengan drilling soal-soal ujian. Alih-alih memahami konsep ilmu secara komprehensif, siswa hanya mencoba mengenal soal-soal ujian dan menjawabnya dengan baik. Seolah-olah, menjawab soal ujian adalah tujuan tertinggi dari pencapaian pendidikan. Akibatnya lebih lanjut, siswa kita akan lemah dalam memahami konsep sebuah ilmu secara komprehensif. Ini terjadi karena melalui drilling mereka dilatih untuk menjawab soal ujian dan bukan diajarkan mengenai ilmu. Sangat mungkin terjadi, mereka tidak tahu hal-hal prinsip mengenai sebuah disiplin ilmu yang mereka pelajari karena tidak pernah ditemukan dalam soal ujian.


Fenomena ini nampak di sekolah-sekolah, khususnya bagi siswa di level terakhir pada setiap jenjang pendidikan. Hal ini tentu saja berbahaya, karena kita tidak lagi memperhatikan pentingnya sebuah disiplin ilmu, apalagi untuk melihat keterkaitan antara satu disiplin dengan disiplin lain.


Persoalan yang ketiga adalah Pengabaian Kurikulum. Sebagaimana dimaklumi, materi ujian nasional hanya meliputi beberapa mata pelajaran saja. Jumlah ini tentu dapat berubah dari waktu ke waktu. Yang pasti tidak semua mata pelajaran yang ada dalam kurikulum diujikan secara nasional. Dari sini jelas bahwa pemerintah telah melakukan diskriminasi terhadap mata pelajaran. Persoalan serius di sini adalah anggapan bahwa beberapa mata pelajaran lebih penting dari pelajaran yang lain.


Kurikulum disusun dengan memperhatikan tujuan pendidikan, baik pada level nasional maupun institusional. Masing-masing mata pelajaran yang menjadi bagian dari kurikulum memiliki kontribusi terhadap pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu, meskipun jumlah jam pelajaran yang dialokasikan berbeda antara satu mata pelajaran dengan yang lain, bukan berarti mata pelajaran yang jamnya lebih sedikit tidak lebih penting dari yang lain. Karena kurikulum sudah dirancang sedemikian rupa dengan keyakinan bahwa tujuan pendidikan baru akan tercapai jika semua materi pelajaran dikuasai dan semua pengalaman belajar dirasakan oleh siswa.



Pemilihan beberapa mata pelajaran sebagai materi UN telah merubah cara pandang siswa terhadap mata pelajaran. Ada mata pelajaran penting dan tidak penting. mata pelajaran penting adalah mata pelajaran yang diujikan dalam UN, sementara yang lain menjadi tidak penting. Pelajaran agama dan kewarganegaraan, misalnya, dianggap tidak terlalu penting, karena tidak diujikan dalam UN. Perubahan cara pandang ini bukan hanya terjadi di kalangan siswa tetapi juga guru dan kepala sekolah. karena itu, sekolah mengurangi atau bahkan meniadakan sama sekali jam pelajaran yang dianggap tidak penting, dan memberikan jam tambahan bagi mata pelajaran yang dianggap penting.


Praktek tersebut tentu tentu saja tidak dapat dibenarkan, karena merupakan pengabaian terhadap kurikulum dan pelanggaran terhadap undang-undang. Seperti diketahui, kurikulum dan undang-undang mengamanatkan berbagai kemampuan dan kualitas yang harus dikuasai oleh peserta didik. Lebih dari itu, praktek ini juga memendam berbagai potensi siswa yang seharusnya dapat diekspresikan di sekolah. Semua menjadi kalah penting dibandingkan UN.


-to be continued....-

Rabu, Maret 25, 2009

Memori


Manusia diciptakan Tuhan sebagi makhluk unggul dibanding dengan makhluk lain.
Keunggulan manusia antara lain karena ia memiliki kemampuan untuk berpikir dan berimajinasi. Hal ini dimungkinkan karena Tuhan menciptakan manusia lengkap dengan otak yang memiliki fungsi ganda. Salah satu fungsinya adalah memori.


Memori dalam otak manusia merupakan salah satu modal penting manusia untuk mencapai peradaban yang gemilang. Dengan memori inilah sesungguhnya manusia belajar dan berinteraksi dengan manusia lain serta lingkungannya.


Hasil kajian para ahli di bidang cognitive science menyimpulkan bahwa manusia sekurang-kurangnya memiliki dua fungsi utama dalam memorinya, yaitu memori kerja (working memory) atau sering juga disebut sebagai memori jangka pendek (short-term memory) dan memori jangka panjang atau penyimpan (long term memory).


Memori kerja berfungsi sebagai pengolah informasi yang diterima otak melalui indera. Sebagai pengolah informasi dia tidak memiliki kemampuan untuk menyimpan informasi dalam jumlah yang banyak dan dalam waktu lama. Rata-rata kemampuan memori kerja dalam menyimpan informasi hanyalah 7 s.d. 10 digit. Contohnya, jika kita mendengar orang menyebutkan angka (no telp rumah) sekali saja, maka kemungkinan besar kita mampu mengulangnya. Sementara jika orang menyebutkan no telp genggamnya (gsm), rasanya sulit untuk diingat. Karena, no telpon rumah biasanya antara 6 - 8 digit, sementara telepon genggam antara 10 - 13 digit. Karena keterbatasan inilah memori kerja disebut sebagai memori jangka pendek. Tetapi dibalik keterbatasannya itu, ia memiliki kemampuan luar biasa dalam memproses informasi. Kemampuan inilah yang membuat kita mampu menyelesaikan berbagai masalah secara spontan.


Memori jangka panjang berfungsi sebagai tempat menyimpan informasi yang telah diolah oleh memori kerja. Dia laksana hard disk pada komputer. Jika memori kerja memiliki keterbatasan dalam menyimpan informasi, maka memori jangka panjang memiliki kemampuan yang tak terbatas. Saya sering mencoba bertanya kepada mahasiswa mengenai pengalaman mereka ketika kecil. Dan biasanya mereka akan mampu menjawabnya dengan baik. Padahal, kejadiannya sudah lebih dari 30 tahun berlalu. Ini artinya fungsi memori penyimpan dalam otak manusia memiliki kemampuan yang luar biasa. Bahkan, berbeda dengan hard disk komputer yang jika sering digunakan atau jika digunakan melebihi kapasitas akan rusak, maka memori penyimpan kita justru akan semakin berfungsi dengan baik jika semakin sering digunakan.


Kedua fungsi memori tersebut memiliki peranan penting dalam proses belajar, karena belajar adalah proses penyerapan dan penyimpanan informasi oleh otak manusia. Proses belajar dapat dikatakan berhasil apabila proses penyerapan informasi dilakukan dengan baik dan maksimal, dan informasi yang diperoleh juga tersimpan dengan baik, sehingga sewaktu dibutuhkan informasi itu akan dengan cepat muncul untuk diproses dan direproduksi.


Tantangannya buat guru adalah bagaimana memastikan agar memori kerja dan memori penyimpan dapat berfungsi secara maksimal sehingga siswa atau murid dapat menyerap informasi, mengolah dan menyimpannya secara optimal.


Credit: picture taken from www.copingskills4kids.net

Selasa, Maret 24, 2009

Review Buku Ajar


Hari ini secara mendadak saya diminta menggantikan Prof. Dede Rosyada untuk ngajar di kelas "Review Buku Ajar PAI" di Sekolah Pasca Sarjana (SPS) UIN. Sebenarnya ini bukan hal yang aneh, karena saya memang satu tim dengan Prof. Dede dan Prof. Abuddin Nata dalam mengajar mata kuliah ini. Kebetulan Prof. Dede sedang tugas ke Yogyakarta dan Prof. Abuddin sedang di Mataram, dan saya sedang di Ciputat.

Sebenarnya saya agak kurang sreg menggunakan kata mengajar untuk kelas di SPS, karena yang terjadi adalah diskusi dan tukar informasi. Yang membedakan hanyalah karena saya lebih dulu kuliah di tingkat Pasca Sarjana dan mereka baru berkesempatan saat ini. Selebihnya, tergantung siapa yang lebih banyak membaca dan memperkaya diri dengan wawasan.

Hari ini, kami berdiskusi soal review materi PAI untuk siswa kelas XI (2 SMA). Sang penulis, yang kebetulan guru dari Singkawang, menyorot soal adanya materi Khutbah Jumat/Dakwah/Tabligh dalam materi PAI tersebut. Singkatnya, menurut penulis (Zulfiadi), materi tersebut tidak tepat untuk disampaikan ke siswa kelas XI karena dua alasan. Pertama, materi ini tidak menunjang Standar Kompetensi (SK) yang diharapkan. Kedua, dia mengalami sendiri bahwa banyak siswa SMA yang bahkan belum mampu membaca al-Quran dan belum memiliki keyakinan yang baik. Oleh karena itu, penulis berpikir agar materi tentang khutbah ini dihapuskan saja dan diganti dengan materi muraqabah (merasa berada dalam pengawasan Allah).

Pendapat penulis menuai pro dan kontra dari peserta diskusi. Sebagian besar keberatan dengan usul penulis. Mereka menganggap bahwa materi tersebut sangat relevan untuk diajarkan karena berbagai hal. pertama, menyiapkan siswa SMA untuk mengenal pelaksanaan shalat Jumat dan diharapkan bisa melaksanakan khutbah Jumat. Kedua, meskipun mereka tidak melakukan khutbah sendiri, mereka diajarkan untuk menulis materi khutbah, sehingga mereka mampu mengekspresikan diri. Ketiga, kemampuan khutbah/dakwah tidak perlu dihubungkan secara langsung dengan kemampuan baca tulis alQuran, karena untuk bisa menyampaikan ajaran agama, tidak melulu harus fasih membaca Quran, meskipun bukan berarti membaca Quran itu tidak penting. Keempat, materi itu sudah ditentukan dalam standar isi, karenanya tidak boleh dihapuskan, kalau mau ditambahkan saja dengan yang lain.

Pemetaan terhadap dua pendapat pro dan kontra ini menarik, bukan hanya sebagai bukti bahwa materi yang disampaikan kontroversial, tetapi juag sebagai pola berpikir. Artinya, penulisan materi seperti itu, harus mempertimbangkan argumen-argumen yang memadai sehingga diskusi menjadi menarik.

MAsing-masing pihak tidak perlu merasa saling memaksakan atau dipaksakan untuk mengikuti pendapat pihak lain. Justru masing-masing pihak diminta untuk memperhatikan argumen pihak lain. Oleh karena itu, sekali lagi argumen itu harus kuat dan berdasar sehingga bisa dimengerti, meskipun belum tentu diterima.

Dalam hal materi PAI, spesifiknya tentang Khutbah/Dakwah ini, penulis belum mengemukakan materi itu dalam konteksnya. Artinya Standar Kompetensi (yang meskipun perlu dikritik) belum dimunculkan secara speseifik, dan bagaimana hubungan materi itu dengan materi sebelum dan sesudahnya. Mengusulkan untuk merubah sesuatu memang mudah, tetapi agar lebih bermakna dan menemui sasaran, tentu usulan itu harus jelas, terstruktur dan rasional.

Dalam diskusi itu sbenarnya nampak dua hal berkaitan dengan studi tentang buku teks. Pertama, seringkali ada kesenjangan antara kurikulum yang diharapkan dengan kemampuan siswa di lapangan. Sering terjadi siswa belum memenuhi qualifikasi untuk belajar sesuai dengan mandat kurikulum, sehingga tujuan kurikulum tidak tercapai. Contohnya adalah soal khutbah jumat tadi. Banyak siswa yang belum mampu baca Quran, bahkan belum mampu solat secara benar, tetapi mereka sudah harus pandai berdakwah. Kedua, Materi buku ajar sering tidak memperhatikan konteks siswa di sekolah. Dalam upaya menterjemahkan kurikulum, buku ajar sering tidak sesuai dengan kondisi siswa di sekolah. Apalagi jika disadari bahwa antara penulis buku ajar dengan siswa terbentang jarak yang jauh secara geografis.

Nah, oleh karena itu, memang tidak ada salahnya apabila buku ajar dan kurikulum itu tidakdilihat sebagai kitab suci. Mereka justru harus dikritik demi perbaikan kualitas pendidikan di masa mendatang. Menjadi sangat valid ketika kritik itu datang dari guru selaku pelaku implementor dari kurikulum.

Jumat, Maret 20, 2009

7 Laws of Happiness, Why Not 8?



Pagi ini saya beruntung diberi kesempatan menjadi pembicara dalam sebuah diskusi buku yang digelar oleh BEM PAI. Buku yang didiskusikan adalah 7 Laws of Happiness, karya Arvan Pradiansyah. Arvan Pradiansyah adalah salah seorang motivator dan triner SDM yang saat ini memiliki lembaga konsultasi SDM ILM.

Dalam buku ini penulis menjelaskan tentang 7 sikap harus dimiliki oleh setiap orang untuk mencapai hidup bahagia. Ketujuh sikap tersebut adalah Patience (Sabar), Gratefulness (Syukur), Simplicity (Sederhana), Love (Kasih), Giving (Memberi), Forgiving (Memaafkan) dan Surrender (Pasrah). Ketujuh sikap itu terangkum dalam tiga kelompok, yaitu hubungan intra personal (Patience, Gratefulness, dan Simplicity), Interpersonal (Love, Giving dan Forgiving), dan Spiritual (Surrender).

Saya sangat menyenangi buku-buku semcam ini dan menghargai penulisnya. Karena buku-buku seperti ini kita selalu diingatkan akan hakikat dan tujuan hidup kita, sehingga kita tidak terganggu oleh berbagai persoalan kecil yang sebenarnya merupakan kerikil di tengah jalan yang terbentang luas, atau terganggu oleh mimpi akan kebahagiaan semu yang sebenarnya tidak kita butuhkan.

Kunci dari apa yang dibicarakan dalam buku ini sebenarnya adalah mind-management (manajemen otak), tapi ini dalam bahasa saya lho. Otak adalah kunci dari segala tingkah laku, pengalaman hidup, dan perasaan kita. Kebahagian kita akan sangat ditentukan oleh otak kita, dan karena otak kita itu berada dan berfungsi setiap saat, maka sebenarnya kebahagiaan itu bisa diperoleh dan dirasakan setiap saat. Persoalannya adalah kita mau atau tidak.

Kenapa demikian, karena kita seringkali salah dalam memaknai kebahagiaan. Seolah-olah kebahagiaan adalah sesuatu yang harus dicapai dengan bersusah payah dan melalui prosedur tertentu. Kebahagiaan berbeda dengan kesuksesan, karena kesuksesan adalah ukuran keberhasilan dari apa yang diniatkan di masa lalu. Kebahagiaan juga berbeda dengan kesenangan, karena kesenangan biasanya lebih bersifat fisik/material dan temporary sifatnya. Kebahagiaan adalah suasana otak yang mengkondisikan diri kita untuk menerima dengan jiwa terbuka apa yang kita alami dan peroleh. Karena itu, saya sependapat dengan ungkapan Arvan, bahwa kalau kesuksesan adalah getting what we want, sementara kebahagiaan adalah wanting what we get.

Karena berbicara di depan mahasiswa Fakultas Tarbiyah (Pendidikan), maka mau tidak mau saya menghubungkan tujuh sikap itu dengan pendidikan. Tapi sebelum itu, saya share juga beberapa masukan untuk Pak Arvan. Pertama, gratefulness atau syukur bukanlah sikap yang hadir dengan sendirinya, tetapi dia merupakan respon dari perilaku pihak lain (utamanya Tuhan) terhadap kita. Oleh karena itu, saya mengusulkan agar gratefulness ini masuk dalam kategori spirtual atau interpersonal, dan bukan intra personal. Kedua, ketika berbicara tentang hubungan interpersonal, perlu diingat satu hal penting yang mendasari hubungan baik antara seseorang dengan orang lain, yaitu trust. Tanpa trust tidak akan ada love, giving dan forgiving. Oleh karena itu saya usulkan agar trust dimasukkan sebagai salah satu faktor yang berpengaruh pada kebahagiaan. Hemat saya orang yang tidak memiliki trust kepada orang lain, tidak mungkin bahagia ketika berhubungan dengan orang lain.

Nah, masuk ke wilayah pendidikan, saya diingatkan akan sebuah tulisan dari tokoh seorang filosof pendidikan Nel Noddings. Noddings mengatakan bahwa kebahagiaan adalah kebutuhan manusia secara universal. Sementara pendidikan berupaya merubah sikap dan pola pikir manusia menjadi lebih baik. Pendidikan pada hakikatnya bertujuan untuk mengantarkan manusia pada kebahagiaan. Oleh karena itu, Nodding mengusulkan agar happiness bukan hanya dipelajari, tetapi juga menjadi tujuan. Tetapi, Noddings menyadari bahwa menjadikan happiness sebagai tujuan menjadi tidak praktikal dan sulit untuk diterapkan. Namun demikian, ia mengingatkan, bukan berarti kebahagiaan menjadi tidak penting. Paling tidak, para pendidik sadar bahwa apa yang mereka lakukan harus membahagiakan mereka dan anak didik mereka.

Kedekatan pendidikan dengan kebahagiaan ada pada prosesnya. Pendidikan sebenarnya lebih merupakan proses mental (otak). Meskipun dikenal ada tiga ranah dalam pendidikan (kognitif, afektif dan prikomotorik), kesemuanya merujuk kepada proses mental (mind). Hal ini nampak jika kita merujuk ke hasil penelitiannya Howard Gardner dan kawan-kawan. Sementara itu, kebahagiaan, sebagaimana disinggung di atas juga merupakan proses mental. Kebahagiaan, berbeda dengan kesenangan, merujuk pada suasana mental yang menerima dengan terbuka, apa yang dialami oleh seseorang. Oleh karena itu, sudah selayaknya orang-orang yang terlibat dalam pendidikan menjadi orang-orang yang bahagia, karena mental mereka memang dikondisikan untuk itu. Guru dan siswa mestinya sama-sama bahagia, karena mereka secara sadar melakukan hubungan spiritual yang meningkatkan kemampuan otak mereka. Namun demikian, kenyataannya banyak guru dan siswa yang nyata-nyata tidak bahagia.

Jika merujuk kepada apa yang ditulis Arvan, maka guru dan siswa selayaknya dikenalkan kepada tujuh (atau delapan) pra-syarat kebahagiaan untuk diterapkan dalam praktek pendidikan. Jika guru dan siswa menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan peserta didik dengan perasaan bahagia, maka hasil pendidikan tentu akan lebih baik. Karena dia bukan hanya akan melahirkan orang-orang yang cerdas dan terampil, tetapi kecerdasasn dan keterampilan itu juga membawa kepada kedamaian. Sebab hanya orang-orang yang tidak bahagia yang tidak menghendaki kedamaian.

Z

Rabu, Maret 11, 2009

Papua


Saya beruntung, minggu lalu berkesempatan mengunjungi tanah Papua. Secara personal, ada beberapa kesan yang saya alami ketika di sana:

Kesan pertama adalah saya serasa berada di luar negeri. Jelas kesan ini sangat personal, karena menyangkut penglaman hidup, tapi perkenankan saya jelaskan mengapa. Ada beberapa alasan mengapa ketika di Papua saya merasa seperti berada di luar negeri.

Pertama, jarak tempuh Jakarta - Jayapura adalah 6 jam. Biasanya penerbangan sejauh itu telah mengantarkan saya ke Hongkong, Jepang atau Sydney. Ternyata setelah etrbang selama itu, saya masih berada di Indonesia.

Kedua, perjalanan dari Bandara Sentani ke kota Jayapura melewati Danau Sentani dan Jalan raya yang berliku-liku mengitari bukit. Indah sekali dipandang. Saya langsung teringat ketika berada di New Zealand dengan pemandangan yang luar biasa indah. Ternyata, tanpa harus ke New Zealand, kita sudah bisa menikmati keindahan alam yang tak kalah hebatnya.

Ketiga, biasanya ketika berkunjung ke negara asing, saya sering bertemu dengan teman-teman dari perwakilan Indonesia di sana dari penjemputan di bandara, mengantar belanja hingga melepas kembali keberangkatan. Di Papua, saya bertemu dengan teman-teman dari kantor BP-PNFI (Balai Penyelenggara Pendidikan Non-formal dan Informal) yang sangat membantu selama saya berada di Papua. Bahkan Pak Ronny Gunarso, Kepala BPPNFI, tidak segan menyediakan kendaraan yang siap mengantar saya (saya jadi tersanjung dan terharu)... Terima kasih Pak Ronny... Selain ketiga hal itu, tentu saya sepenuhnya sadar bahwa saya masih berada di Indonesia, dan tetap merasa nyaman untuk berjalan sendiri dan berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Apalagi di sana-sini bertebaran iklan kampanye caleg yang bagi saya sangat merusak indahnya pemandangan.

Di samping perasaan berada di luar negeri, saya sangat terpesona dengan keindahan alam Papua. Meskipun baru melihat Sentani, Jayapura, Wamena dan Timika. Saya merasakan anugerah Allah yang luar biasa hebatnya di alam ini. Belum berbicara soal kandungan perut buminya yang tak ternilai. Pemandangan alam yang kasat mata, dari danau yang luas, bersih dan dikelilingi bukit. Lembah yang hijau, subur dan diapit gunung. Bukit berpasir putih yang mengundang untuk dikunjungi. Gunung-gunung hijau yang belum terjamah dengan bukit yang meliuk-liuk berpayung awan. Luar biasa... Unimaginable... A real breath-taking experience. Tak berlebihan jika ada seorang missionaris mengatakan bahwa this land is blessed. Tanah yang penuh berkah dengan kekayaan alam yang melimpah ruah.

Kekaguman saya terhadap bumi Papua, sayangnya justru berbanding terbalik dengan kekecewaan saya melihat betapa terbelakanngnya rakyat Papua. Di beberapa tempat, memang fasilitas sudah relatif baik, tapi dibandingkan dengan daerah-daerah lain, jelas jauh dari memadai. Tentu saja ini ironis jika melihat dua kesan pertama di atas. Alam yang indah dan kaya raya dihuni oleh penduduk asli yang kebanyakan miskin dan (maaf) dengan peradaban yang berbeda dengan tipikal masyarakat modern. Jika kita membagi timeline perubahan masyarakat dari zaman batu, agraris, industri ke informasi, maka kebanyakan orang Papua masih berada di masa peralihan antara zaman batu ke agraris. Padahal di daerah lain di Indonesia sudah ada yang beralih dari masa indutsri ke informasi. Tentu saja, ini tidak bisa digeneralisir, tapi inilah kesan yang saya tangkap.

Tentu banyak penjelasan mengapa rakyat Papua begitu tertinggal secara peradaban dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Sekurang-kurangnya ada tiga hal yang menyebabkan keterbelakangan di atas:

Pertama, kondisi geografis Papua yang menyulitkan komunikasi dan transportasi menyebabkan penyebaran informasi, ekonomi, dan pendidikan menjadi sangat lambat, sulit dan mahal. Karenanya, tingkat rata-rata pendidikan rendah, perkembangan teknologi lambat dan pertumbuhan ekonomi juga tidak cepat.

Kedua, Etos kerja orang Papua yang kurang tinggi. Mungkin, sekali lagi mungkin, karena kekayaan alam yang begitu banyak termasuk tanahnya yang subur, orang Papua tidak memiliki tantangan untuk mengembangkan diri lebih lanjut. Toh alam di sekitar mereka tinggal sudah mampu menyediakan apa yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup. Etos kerja yang kurang ini sayangnya dibarengi dengan kultur yang suka menghambur-hamburkan uang. Sejauh yang saya tangkap, masyarakat Papua tidak mengenal tradisi menyimpan uang, sehingga begitu memperoleh uang dalam jumlah besar, uang tersebut akan dihabiskan untuk pesat dan berbagi dengan teman dan saudara. Akibatnya perbaikan kualitas hidup menjadi terhambat.

Ketiga, sulitnya ekonomi dan transportasi menjadikan terbatasnya akses masyarakat Papua ke dunia pendidikan formal. Hal ini menyebabkan tradisi lama yang kurang menguntungkan masih tetap bertahan. Padahal, jika tingkat pendidikan masyarakat Papua meningkat, tentu secara perlahan budaya dan pola hidup akan mengalamai perubahan. Ini jelas nampak di beberapa daerah pesisir yang memiliki tingkat partisipasi pendidikan tinggi.

Ada kesan lain, yang sering orang lupa terhadap orang Papua. Sering orang mengidentikkan perbedaan budaya sebagai keterbelakangan dan permusuhan. Sehingga dikesankan jikalau ke Papua, kita akan berhadapan dengan orang-orang yang menakutkan. Ternyata kesan itu tidak tepat. Masyarakat Papua adalah orang-orang yang ramah dan menghormati orang lain.

Ada kisah seorang guru yang saya jumpai di Jayapura. Suatu hari guru ini makan di warung bakso bersama seorang putrinya. Ketika selesai makan, dia bermaksud membayar, tetapi oleh tukang bakso dibilang,
"bakso ibu sudah ada yang bayar, jadi ibu tidak perlu bayar lagi."
Tentu saja ibu ini kaget, bahkan tidak percaya:
"Pak, mungkin bukan saya yang dimaksud orang itu, karena tidak ada orang yang saya kenal di sini."
Tukang bakso yakin betul bahwa dia tidak salah,
"Orang itu", katanya sambil menunjuk ke arah seorang laki-laki, "memastikan betul bahwa dia memang membayar bakso yang ibu dan anak ibu makan, jadi ibu tidak perlu bayar lagi."
Lalu sang ibu menghampiri orang yang baik hati itu:
"Pak, apa betul Bapak yang telah membayar bakso yang saya makan."
Dengan pasti dia menjawab:
"Betul bu, saya ini dulu murid ibu yang sering ibu bantu, ibu kasih makan. Sekarang saya sudah punya uang saya ingin sesekali berbuat baik sama ibu."
Si ibu pun tersentuh, tapi tidak tega untuk menerimanya, mengingat sang murid itu juga kelihatannya bukan orang kaya. Maka dia bilang,
"Kamu tidak perlu seperti ini, kamau kan pasti masih membutuhkan uang itu untuk keluargamu."
"Tidak apa-apa bu, biarkan saya sesekali membantu ibu, karena saya sekarang sudah bekerja."

Begitulah, akhirnya sang ibu pun tidak sampai hati mengembalikan uang bakso ke muridnya itu. Tapi cerita itu nampak berbekas di hati bu guru. Ada kepuasan manakala sang murid menghargai jerih payahnya meskipun hanya dengan semangkok bakso. Betapa orang Papua ternyata memiliki hati yang lembut dan penuh perhatian.

Rabu, Februari 18, 2009

Mastery Learning (Belajar Tuntas)


Beberapa hari yang lalu, Balitbang Kanwil Depag DKI mengontak saya untuk menjadi konsultan penelitian. Tema yang akan mereka usung adalah Penerapan Ketuntasan Belajar PAI di SMU di DKI Jakarta.

Memori saya langsung menggali informasi yang saya miliki tentang Ketuntasan Belajar, yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Mastery Learning. Ide dasarnya teori ini sangat sederhana, bahwa setiap peserta didik punya kemampuan potensial untuk menyerap 100% materi pelajaran yang mereka terima. Sehingga dipahami bahwa sebenarnya tidak ada orang yang bodoh. Yang ada adalah orang yang memiliki kemampuan belajar yang berbeda.

Belajar, menurut teori ini, belum dianggap selesai apabila peserta didik belum menguasai sepenuhnya materi yang diberikan. Karena, bagaimana mungkin siswa atau mahasiswa dianggap lulus atau bernilai baik terhadap suatu bahan belajar, sementara penguasaannya belum memadai.

Selama ini ketuntasan belajar salah dipahami oleh guru. Seolah-olah, ketuntasan belajar adalah tugas guru untuk menyampaikan materi pelajaran sesuai dengan beban kurikulum yang berlaku. Sehingga, ketika siswa tidak menguasai suatu materi pelajaran atau nilai evaluasinya jeblok, guru akan berkilah, semuanya sudah diajarkan, mungkin siswanya yang tidak memperhatikan.

Tidak sepenuhnya apa yang dikatakan guru itu salah, guru jelas sudah menunaikan tugasnya menyampaikan materi pelajaran. Apalagi jika terbukti ada beberapa siswa yang memang hasil evaluasinya sangat baik. Tetapi, yang perlu dipahami adalah bahwa dalam proses pembelajaran tugas guru bukan hanya menyampaikan materi pelajaran, tetapi juga memastikan bahwa setiap individu di kelas benar-benar telah menguasai materi yang disampaikan. Karenanya, tidaklah memadai jika hanya melihat prestasi siswa tertentu saja.

Ketuntasan belajar menghendaki agar setiap siswa benar-benar menguasai materi yang mereka pelajari. Penguasaan yang dituntut adalah individual, dan bukan kelompok. Jika ada siswa yang tertinggal dari siswa lain, maka siswa ini harus memperoleh bantuan ekstra. Karena itu, teori ini menyadari betul bahwa daya serap siswa terhadap materi yang diberikan akan sangat berbeda, dan karenanya perlakuan terhadap masing-masing individu siswa ini juga berbeda.

Belakangan, dengan ditemukannya teori kecerdasan ganda (multiple intelligence), teori ketuntasan belajar semakin membuktikan bahwa memang setiap individu memiliki potensi untuk belajar, tetapi by nature setiap orang memiliki kelebihan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Artinya, ada orang yang cepat belajar satu bidang seperti bahasa, tetapi lambat dalam bidang yang lain, misalnya matematika, atau sebaliknya. Lambat dalam hal ini bukan berarti tidak bisa, tetapi berarti orang tersebut butuh waktu yang lebih lama untuk menguasai matematika dibanding orang lain.

Maka, tugas guru adalah memastikan agar siswa yang memerlukan waktu lebih lama, memperoleh perhatian yang cukup dari guru. Sehingga mereka punya cukup waktu untuk menguasai materi pelajaran dan dapat menyesuaikan dengan pola belajar mereka.

Selasa, Februari 17, 2009

Welcome


Blog ini adalah kumpulan tulisan, pikiran dan materi perkuliahan Muhammad Zuhdi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kehadirannya dimaksudkan sebagai salah satu sumber informasi bagi mahasiswa baik di Fakultas Tarbiyah maupun di Program pasca Sarjana UIN Jakarta.


Semoga bermanfaat