Semula saya apatis, bahkan terkadang sinis, terhadap hiruk pikuk kampanye pre-premilu legislatif 2009. Iklan di TV, koran, radio dan jalan hanya melintas begitu saja dari pandangan dan pendengaran saya. Mendekati pemilu saya kadang bertanya ke teman-teman se kantor, "sudah dapat undangan pemilu belum?", ada yang menjawab sudah dan belum, dan ketika balik ditanya, dengan bangga saya menjawab, "belum dong, dan saya juga ngga yakin saya akan diajak ikut pemilu."
Ketika teman-teman muali sibuk meneliti caleg yang akan mereka pilih, saya selalu menimpalinya dengan kelakar. "Ahh, buat apa repot-repot milih, emangnya mereka mikirin kita? Emangnya mereka ngapain sih nyaleg kalo bukan pengen dapat penghasilan tetap yang menggiurkan selama lima tahun." Karena itu saya selalu meng-under-estimate orang-orang yang mencaleg-kan diri, karena meresa mereka bukanlah orang yang pantas duduk di sana dan ngga yakin mereka akan bisa berkontribusi positif. Walhasil, saya tidak begitu antusias menghadapi pemilu kali ini.
Tetapi hati kecil saya tidak bisa dibohongi, saya masih cinta pada bangsa ini. Saya masih sayang pada masyarakat ini, dan saya masih setia pada negara ini. Meskipun saya tidak menerima undangan dalam Pemilu, saya merasa harus berpartisipasi. Minimal saya datang ke TPS untuk melihat apakah nama saya ada di DPT dan bagaimana proses Pemilu itu berlangsung.
Dengan bersepeda santai saya berangkat seorang diri ke TPS. Di lokasi yang saya datangi, ada tiga TPS dari tiga RT yang berbeda. Saya baru saja pindah dari RT 1 ke RT 3, karena ketua RT 3 pernah bilang ke saya bahwa saya tidak terdaftar di RT 3, maka saya langsung ke TPS RT 1. Saya melihat DPT di depan pintu masuk TPS itu, dan melihat satu persatu nama yang terdaftar, dan jreng... di urutan ke 95 tercantum nama saya. Memang ada kesalahan kecil (baca: spelling) di situ, tetapi saya yakin betul itu adalah nama saya, karena tempat tanggal lahirnya persis sama, dan di atasnya (no. 94) ada nama istri saya.
Saya masuk ke ruang TPS, dan lapor ke petugas, bahwa nama saya ada dalam DPT, tapi ngga terima undangan. Petugas mengatakan saya punya hak memilih, tapi karena tidak punya undangan saya harus membawa photo copy KTP, sebagai pengganti undangan. "Waah... mulai ngerepotin nih," pikir saya.
Soalnya saya sih bawa KTP, tapi kan ga ada tukang photo copy dekat situ. Sebelum saya menyerah ada petugas lain yang memanggil saya, dan bilang,
"Pak... undangan buat Bapak ada di saya." Katanya sambil membawa segepok kertas berkop KPU, dan menanyakan nomor urut saya.
Lalu...
"ini dia... ini undangan untuk Bapak, jadi Bapak bisa langsung ikut pemilu sekarang. Sekalian ini untuk istri Bapak, Ibu juga bisa ikut milih."
"Alhamdulillah, ternyata saya masih diakui sebagai warga negara yang punya hak pilih," pikir saya dalam hati.
Setelah nunggu beberapa saat (ngga sampai 10 menit), saya sudah dipanggil dan diberikan empat kertas suara, untuk DPD, DPR-RI, DPRD Tk.I dan DPRD Tk. II. Dengan bangga saya melenggang ke bilik suara. Lalu muncullah masalah yang saya yakin dialami oleh mayoritas pemilih. Saya bingung untuk memilih siapa atau partai apa. Saya mulai menyadari betapa pentingnya mengenal partai dan calon legilatif sebelum pemilihan.
Surat suaranya demikian besar, sehingga kalau dibuka seluruhnya, meja pada bilik suara ngga cukup. Saya memulai dengan surat suara buat DPD. Sempat bingung sejenak, tapi kemudian saya teringat ada calon DPD yang sudah punya reputasi baik. Saya tidak kenal secara personal, tapi saya cukup percaya dengan track recordnya. Saya jatuhkan pilihan saya ke tokoh itu. Lalu berlanjut ke DPR-RI dan DPRD.
Pilihan semakin membingungkan. Partainya demikian banyak, begitu juga caleg yang harus dipilih. Sangat membingungkan. Siapa yang harus saya pilih? Apa partainya? Apa alasannya? Mengapa harus dia? Tidak adakah yang lebih qualified?
Lihat dari kiri ke kanan, atas ke bawah. Masih bingung. Lalu buka lembar kedua dan ketiga, makin bingung. Akhirnya, saya teringat dua teman saya (saya sih ngga yakin kalau mereka masih kenal saya) yang mencalonkan diri, dan meskipun saya tidak terlalu suka dengan partainya, at least saya punya alasan untuk memilih, "saya kenal mereka.." So, saya putuskan saja untuk memilih mereka...
Akhirnya... tugas saya pun selesai. Keluar dari bilik suara seperti habis menempuh EBTANAS. Lega tapi juga lelah...
Sepanjang jalan pulang, di atas sepeda saya berpikir. Kenapa surat suara begitu besar? berapa banyak kertas dihabiskan untuk mencetak kertas suara? kenapa partai begitu banyak? kenapa caleg juga banyak? berapa biaya yang dikeluarkan untuk kampanye mencetak spanduk, selebaran, bayar iklan di berbagai media?
Saya teringat akan pertanyaan saya ke salah seorang teman yang kandidat doktor ilmu politik. Tak bisakah sistem politik kita dirubah? Tidak bisakah jumlah partai disederhanakan? Mengapa banyak orang yang tiba-tiba merasa pandai dan berbakat untuk menjadi politisi?
Saya ngga menyesal ikut Pemilu, meskipun prosesnya dipertanyakan banyak pihak. Saya senang telah ikut terlibat dalam proses yang membingungkan itu. Sehingga saya bisa menulis artikel ini, dan mengajukan serangkaian pertanyaan di atas.
Saya yakin banyak orang Indonesia bersepakat dengan saya. Jumlah partai harus dikurangi. Jumlah caleg harus dibatasi. Proses penyusunan dan penyampaian DPT harus diperbaiki. Harapan saya, dan mungkin juga anda, akan tertumpu di anggota legislatif yang nanti terpilih. Mudah-mudahan mereka bisa, mampu dan mau bekerja dengan baik.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar