Hari ini secara mendadak saya diminta menggantikan Prof. Dede Rosyada untuk ngajar di kelas "Review Buku Ajar PAI" di Sekolah Pasca Sarjana (SPS) UIN. Sebenarnya ini bukan hal yang aneh, karena saya memang satu tim dengan Prof. Dede dan Prof. Abuddin Nata dalam mengajar mata kuliah ini. Kebetulan Prof. Dede sedang tugas ke Yogyakarta dan Prof. Abuddin sedang di Mataram, dan saya sedang di Ciputat.
Sebenarnya saya agak kurang sreg menggunakan kata mengajar untuk kelas di SPS, karena yang terjadi adalah diskusi dan tukar informasi. Yang membedakan hanyalah karena saya lebih dulu kuliah di tingkat Pasca Sarjana dan mereka baru berkesempatan saat ini. Selebihnya, tergantung siapa yang lebih banyak membaca dan memperkaya diri dengan wawasan.
Hari ini, kami berdiskusi soal review materi PAI untuk siswa kelas XI (2 SMA). Sang penulis, yang kebetulan guru dari Singkawang, menyorot soal adanya materi Khutbah Jumat/Dakwah/Tabligh dalam materi PAI tersebut. Singkatnya, menurut penulis (Zulfiadi), materi tersebut tidak tepat untuk disampaikan ke siswa kelas XI karena dua alasan. Pertama, materi ini tidak menunjang Standar Kompetensi (SK) yang diharapkan. Kedua, dia mengalami sendiri bahwa banyak siswa SMA yang bahkan belum mampu membaca al-Quran dan belum memiliki keyakinan yang baik. Oleh karena itu, penulis berpikir agar materi tentang khutbah ini dihapuskan saja dan diganti dengan materi muraqabah (merasa berada dalam pengawasan Allah).
Pendapat penulis menuai pro dan kontra dari peserta diskusi. Sebagian besar keberatan dengan usul penulis. Mereka menganggap bahwa materi tersebut sangat relevan untuk diajarkan karena berbagai hal. pertama, menyiapkan siswa SMA untuk mengenal pelaksanaan shalat Jumat dan diharapkan bisa melaksanakan khutbah Jumat. Kedua, meskipun mereka tidak melakukan khutbah sendiri, mereka diajarkan untuk menulis materi khutbah, sehingga mereka mampu mengekspresikan diri. Ketiga, kemampuan khutbah/dakwah tidak perlu dihubungkan secara langsung dengan kemampuan baca tulis alQuran, karena untuk bisa menyampaikan ajaran agama, tidak melulu harus fasih membaca Quran, meskipun bukan berarti membaca Quran itu tidak penting. Keempat, materi itu sudah ditentukan dalam standar isi, karenanya tidak boleh dihapuskan, kalau mau ditambahkan saja dengan yang lain.
Pemetaan terhadap dua pendapat pro dan kontra ini menarik, bukan hanya sebagai bukti bahwa materi yang disampaikan kontroversial, tetapi juag sebagai pola berpikir. Artinya, penulisan materi seperti itu, harus mempertimbangkan argumen-argumen yang memadai sehingga diskusi menjadi menarik.
MAsing-masing pihak tidak perlu merasa saling memaksakan atau dipaksakan untuk mengikuti pendapat pihak lain. Justru masing-masing pihak diminta untuk memperhatikan argumen pihak lain. Oleh karena itu, sekali lagi argumen itu harus kuat dan berdasar sehingga bisa dimengerti, meskipun belum tentu diterima.
Dalam hal materi PAI, spesifiknya tentang Khutbah/Dakwah ini, penulis belum mengemukakan materi itu dalam konteksnya. Artinya Standar Kompetensi (yang meskipun perlu dikritik) belum dimunculkan secara speseifik, dan bagaimana hubungan materi itu dengan materi sebelum dan sesudahnya. Mengusulkan untuk merubah sesuatu memang mudah, tetapi agar lebih bermakna dan menemui sasaran, tentu usulan itu harus jelas, terstruktur dan rasional.
Dalam diskusi itu sbenarnya nampak dua hal berkaitan dengan studi tentang buku teks. Pertama, seringkali ada kesenjangan antara kurikulum yang diharapkan dengan kemampuan siswa di lapangan. Sering terjadi siswa belum memenuhi qualifikasi untuk belajar sesuai dengan mandat kurikulum, sehingga tujuan kurikulum tidak tercapai. Contohnya adalah soal khutbah jumat tadi. Banyak siswa yang belum mampu baca Quran, bahkan belum mampu solat secara benar, tetapi mereka sudah harus pandai berdakwah. Kedua, Materi buku ajar sering tidak memperhatikan konteks siswa di sekolah. Dalam upaya menterjemahkan kurikulum, buku ajar sering tidak sesuai dengan kondisi siswa di sekolah. Apalagi jika disadari bahwa antara penulis buku ajar dengan siswa terbentang jarak yang jauh secara geografis.
Nah, oleh karena itu, memang tidak ada salahnya apabila buku ajar dan kurikulum itu tidakdilihat sebagai kitab suci. Mereka justru harus dikritik demi perbaikan kualitas pendidikan di masa mendatang. Menjadi sangat valid ketika kritik itu datang dari guru selaku pelaku implementor dari kurikulum.
Selasa, Maret 24, 2009
Review Buku Ajar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar