Rabu, Maret 11, 2009

Papua


Saya beruntung, minggu lalu berkesempatan mengunjungi tanah Papua. Secara personal, ada beberapa kesan yang saya alami ketika di sana:

Kesan pertama adalah saya serasa berada di luar negeri. Jelas kesan ini sangat personal, karena menyangkut penglaman hidup, tapi perkenankan saya jelaskan mengapa. Ada beberapa alasan mengapa ketika di Papua saya merasa seperti berada di luar negeri.

Pertama, jarak tempuh Jakarta - Jayapura adalah 6 jam. Biasanya penerbangan sejauh itu telah mengantarkan saya ke Hongkong, Jepang atau Sydney. Ternyata setelah etrbang selama itu, saya masih berada di Indonesia.

Kedua, perjalanan dari Bandara Sentani ke kota Jayapura melewati Danau Sentani dan Jalan raya yang berliku-liku mengitari bukit. Indah sekali dipandang. Saya langsung teringat ketika berada di New Zealand dengan pemandangan yang luar biasa indah. Ternyata, tanpa harus ke New Zealand, kita sudah bisa menikmati keindahan alam yang tak kalah hebatnya.

Ketiga, biasanya ketika berkunjung ke negara asing, saya sering bertemu dengan teman-teman dari perwakilan Indonesia di sana dari penjemputan di bandara, mengantar belanja hingga melepas kembali keberangkatan. Di Papua, saya bertemu dengan teman-teman dari kantor BP-PNFI (Balai Penyelenggara Pendidikan Non-formal dan Informal) yang sangat membantu selama saya berada di Papua. Bahkan Pak Ronny Gunarso, Kepala BPPNFI, tidak segan menyediakan kendaraan yang siap mengantar saya (saya jadi tersanjung dan terharu)... Terima kasih Pak Ronny... Selain ketiga hal itu, tentu saya sepenuhnya sadar bahwa saya masih berada di Indonesia, dan tetap merasa nyaman untuk berjalan sendiri dan berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Apalagi di sana-sini bertebaran iklan kampanye caleg yang bagi saya sangat merusak indahnya pemandangan.

Di samping perasaan berada di luar negeri, saya sangat terpesona dengan keindahan alam Papua. Meskipun baru melihat Sentani, Jayapura, Wamena dan Timika. Saya merasakan anugerah Allah yang luar biasa hebatnya di alam ini. Belum berbicara soal kandungan perut buminya yang tak ternilai. Pemandangan alam yang kasat mata, dari danau yang luas, bersih dan dikelilingi bukit. Lembah yang hijau, subur dan diapit gunung. Bukit berpasir putih yang mengundang untuk dikunjungi. Gunung-gunung hijau yang belum terjamah dengan bukit yang meliuk-liuk berpayung awan. Luar biasa... Unimaginable... A real breath-taking experience. Tak berlebihan jika ada seorang missionaris mengatakan bahwa this land is blessed. Tanah yang penuh berkah dengan kekayaan alam yang melimpah ruah.

Kekaguman saya terhadap bumi Papua, sayangnya justru berbanding terbalik dengan kekecewaan saya melihat betapa terbelakanngnya rakyat Papua. Di beberapa tempat, memang fasilitas sudah relatif baik, tapi dibandingkan dengan daerah-daerah lain, jelas jauh dari memadai. Tentu saja ini ironis jika melihat dua kesan pertama di atas. Alam yang indah dan kaya raya dihuni oleh penduduk asli yang kebanyakan miskin dan (maaf) dengan peradaban yang berbeda dengan tipikal masyarakat modern. Jika kita membagi timeline perubahan masyarakat dari zaman batu, agraris, industri ke informasi, maka kebanyakan orang Papua masih berada di masa peralihan antara zaman batu ke agraris. Padahal di daerah lain di Indonesia sudah ada yang beralih dari masa indutsri ke informasi. Tentu saja, ini tidak bisa digeneralisir, tapi inilah kesan yang saya tangkap.

Tentu banyak penjelasan mengapa rakyat Papua begitu tertinggal secara peradaban dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Sekurang-kurangnya ada tiga hal yang menyebabkan keterbelakangan di atas:

Pertama, kondisi geografis Papua yang menyulitkan komunikasi dan transportasi menyebabkan penyebaran informasi, ekonomi, dan pendidikan menjadi sangat lambat, sulit dan mahal. Karenanya, tingkat rata-rata pendidikan rendah, perkembangan teknologi lambat dan pertumbuhan ekonomi juga tidak cepat.

Kedua, Etos kerja orang Papua yang kurang tinggi. Mungkin, sekali lagi mungkin, karena kekayaan alam yang begitu banyak termasuk tanahnya yang subur, orang Papua tidak memiliki tantangan untuk mengembangkan diri lebih lanjut. Toh alam di sekitar mereka tinggal sudah mampu menyediakan apa yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup. Etos kerja yang kurang ini sayangnya dibarengi dengan kultur yang suka menghambur-hamburkan uang. Sejauh yang saya tangkap, masyarakat Papua tidak mengenal tradisi menyimpan uang, sehingga begitu memperoleh uang dalam jumlah besar, uang tersebut akan dihabiskan untuk pesat dan berbagi dengan teman dan saudara. Akibatnya perbaikan kualitas hidup menjadi terhambat.

Ketiga, sulitnya ekonomi dan transportasi menjadikan terbatasnya akses masyarakat Papua ke dunia pendidikan formal. Hal ini menyebabkan tradisi lama yang kurang menguntungkan masih tetap bertahan. Padahal, jika tingkat pendidikan masyarakat Papua meningkat, tentu secara perlahan budaya dan pola hidup akan mengalamai perubahan. Ini jelas nampak di beberapa daerah pesisir yang memiliki tingkat partisipasi pendidikan tinggi.

Ada kesan lain, yang sering orang lupa terhadap orang Papua. Sering orang mengidentikkan perbedaan budaya sebagai keterbelakangan dan permusuhan. Sehingga dikesankan jikalau ke Papua, kita akan berhadapan dengan orang-orang yang menakutkan. Ternyata kesan itu tidak tepat. Masyarakat Papua adalah orang-orang yang ramah dan menghormati orang lain.

Ada kisah seorang guru yang saya jumpai di Jayapura. Suatu hari guru ini makan di warung bakso bersama seorang putrinya. Ketika selesai makan, dia bermaksud membayar, tetapi oleh tukang bakso dibilang,
"bakso ibu sudah ada yang bayar, jadi ibu tidak perlu bayar lagi."
Tentu saja ibu ini kaget, bahkan tidak percaya:
"Pak, mungkin bukan saya yang dimaksud orang itu, karena tidak ada orang yang saya kenal di sini."
Tukang bakso yakin betul bahwa dia tidak salah,
"Orang itu", katanya sambil menunjuk ke arah seorang laki-laki, "memastikan betul bahwa dia memang membayar bakso yang ibu dan anak ibu makan, jadi ibu tidak perlu bayar lagi."
Lalu sang ibu menghampiri orang yang baik hati itu:
"Pak, apa betul Bapak yang telah membayar bakso yang saya makan."
Dengan pasti dia menjawab:
"Betul bu, saya ini dulu murid ibu yang sering ibu bantu, ibu kasih makan. Sekarang saya sudah punya uang saya ingin sesekali berbuat baik sama ibu."
Si ibu pun tersentuh, tapi tidak tega untuk menerimanya, mengingat sang murid itu juga kelihatannya bukan orang kaya. Maka dia bilang,
"Kamu tidak perlu seperti ini, kamau kan pasti masih membutuhkan uang itu untuk keluargamu."
"Tidak apa-apa bu, biarkan saya sesekali membantu ibu, karena saya sekarang sudah bekerja."

Begitulah, akhirnya sang ibu pun tidak sampai hati mengembalikan uang bakso ke muridnya itu. Tapi cerita itu nampak berbekas di hati bu guru. Ada kepuasan manakala sang murid menghargai jerih payahnya meskipun hanya dengan semangkok bakso. Betapa orang Papua ternyata memiliki hati yang lembut dan penuh perhatian.

Tidak ada komentar: