Pagi ini saya beruntung diberi kesempatan menjadi pembicara dalam sebuah diskusi buku yang digelar oleh BEM PAI. Buku yang didiskusikan adalah 7 Laws of Happiness, karya Arvan Pradiansyah. Arvan Pradiansyah adalah salah seorang motivator dan triner SDM yang saat ini memiliki lembaga konsultasi SDM ILM.
Dalam buku ini penulis menjelaskan tentang 7 sikap harus dimiliki oleh setiap orang untuk mencapai hidup bahagia. Ketujuh sikap tersebut adalah Patience (Sabar), Gratefulness (Syukur), Simplicity (Sederhana), Love (Kasih), Giving (Memberi), Forgiving (Memaafkan) dan Surrender (Pasrah). Ketujuh sikap itu terangkum dalam tiga kelompok, yaitu hubungan intra personal (Patience, Gratefulness, dan Simplicity), Interpersonal (Love, Giving dan Forgiving), dan Spiritual (Surrender).
Saya sangat menyenangi buku-buku semcam ini dan menghargai penulisnya. Karena buku-buku seperti ini kita selalu diingatkan akan hakikat dan tujuan hidup kita, sehingga kita tidak terganggu oleh berbagai persoalan kecil yang sebenarnya merupakan kerikil di tengah jalan yang terbentang luas, atau terganggu oleh mimpi akan kebahagiaan semu yang sebenarnya tidak kita butuhkan.
Kunci dari apa yang dibicarakan dalam buku ini sebenarnya adalah mind-management (manajemen otak), tapi ini dalam bahasa saya lho. Otak adalah kunci dari segala tingkah laku, pengalaman hidup, dan perasaan kita. Kebahagian kita akan sangat ditentukan oleh otak kita, dan karena otak kita itu berada dan berfungsi setiap saat, maka sebenarnya kebahagiaan itu bisa diperoleh dan dirasakan setiap saat. Persoalannya adalah kita mau atau tidak.
Kenapa demikian, karena kita seringkali salah dalam memaknai kebahagiaan. Seolah-olah kebahagiaan adalah sesuatu yang harus dicapai dengan bersusah payah dan melalui prosedur tertentu. Kebahagiaan berbeda dengan kesuksesan, karena kesuksesan adalah ukuran keberhasilan dari apa yang diniatkan di masa lalu. Kebahagiaan juga berbeda dengan kesenangan, karena kesenangan biasanya lebih bersifat fisik/material dan temporary sifatnya. Kebahagiaan adalah suasana otak yang mengkondisikan diri kita untuk menerima dengan jiwa terbuka apa yang kita alami dan peroleh. Karena itu, saya sependapat dengan ungkapan Arvan, bahwa kalau kesuksesan adalah getting what we want, sementara kebahagiaan adalah wanting what we get.
Karena berbicara di depan mahasiswa Fakultas Tarbiyah (Pendidikan), maka mau tidak mau saya menghubungkan tujuh sikap itu dengan pendidikan. Tapi sebelum itu, saya share juga beberapa masukan untuk Pak Arvan. Pertama, gratefulness atau syukur bukanlah sikap yang hadir dengan sendirinya, tetapi dia merupakan respon dari perilaku pihak lain (utamanya Tuhan) terhadap kita. Oleh karena itu, saya mengusulkan agar gratefulness ini masuk dalam kategori spirtual atau interpersonal, dan bukan intra personal. Kedua, ketika berbicara tentang hubungan interpersonal, perlu diingat satu hal penting yang mendasari hubungan baik antara seseorang dengan orang lain, yaitu trust. Tanpa trust tidak akan ada love, giving dan forgiving. Oleh karena itu saya usulkan agar trust dimasukkan sebagai salah satu faktor yang berpengaruh pada kebahagiaan. Hemat saya orang yang tidak memiliki trust kepada orang lain, tidak mungkin bahagia ketika berhubungan dengan orang lain.
Nah, masuk ke wilayah pendidikan, saya diingatkan akan sebuah tulisan dari tokoh seorang filosof pendidikan Nel Noddings. Noddings mengatakan bahwa kebahagiaan adalah kebutuhan manusia secara universal. Sementara pendidikan berupaya merubah sikap dan pola pikir manusia menjadi lebih baik. Pendidikan pada hakikatnya bertujuan untuk mengantarkan manusia pada kebahagiaan. Oleh karena itu, Nodding mengusulkan agar happiness bukan hanya dipelajari, tetapi juga menjadi tujuan. Tetapi, Noddings menyadari bahwa menjadikan happiness sebagai tujuan menjadi tidak praktikal dan sulit untuk diterapkan. Namun demikian, ia mengingatkan, bukan berarti kebahagiaan menjadi tidak penting. Paling tidak, para pendidik sadar bahwa apa yang mereka lakukan harus membahagiakan mereka dan anak didik mereka.
Kedekatan pendidikan dengan kebahagiaan ada pada prosesnya. Pendidikan sebenarnya lebih merupakan proses mental (otak). Meskipun dikenal ada tiga ranah dalam pendidikan (kognitif, afektif dan prikomotorik), kesemuanya merujuk kepada proses mental (mind). Hal ini nampak jika kita merujuk ke hasil penelitiannya Howard Gardner dan kawan-kawan. Sementara itu, kebahagiaan, sebagaimana disinggung di atas juga merupakan proses mental. Kebahagiaan, berbeda dengan kesenangan, merujuk pada suasana mental yang menerima dengan terbuka, apa yang dialami oleh seseorang. Oleh karena itu, sudah selayaknya orang-orang yang terlibat dalam pendidikan menjadi orang-orang yang bahagia, karena mental mereka memang dikondisikan untuk itu. Guru dan siswa mestinya sama-sama bahagia, karena mereka secara sadar melakukan hubungan spiritual yang meningkatkan kemampuan otak mereka. Namun demikian, kenyataannya banyak guru dan siswa yang nyata-nyata tidak bahagia.
Jika merujuk kepada apa yang ditulis Arvan, maka guru dan siswa selayaknya dikenalkan kepada tujuh (atau delapan) pra-syarat kebahagiaan untuk diterapkan dalam praktek pendidikan. Jika guru dan siswa menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan peserta didik dengan perasaan bahagia, maka hasil pendidikan tentu akan lebih baik. Karena dia bukan hanya akan melahirkan orang-orang yang cerdas dan terampil, tetapi kecerdasasn dan keterampilan itu juga membawa kepada kedamaian. Sebab hanya orang-orang yang tidak bahagia yang tidak menghendaki kedamaian.
Z
Jumat, Maret 20, 2009
7 Laws of Happiness, Why Not 8?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar