Ketika SBY-JK dilantik bulan Oktober 2004, banyak orang yang harap-harap cemas menanti komposisi kabinet yang mereka bentuk. Berbagai harapan muncul ketika SBY secara terang-terangan menyatakan dan melakukan fit dan proper test terhadap para calon menteri.
Hasilnya, banyak publik yang kecewa bahwa ternyata komposisi kabinetnya lebih banyak merupakan hasil kompromi politik dibandingkan dengan kualifikasi calon menteri. Akibatnya, dalam beberapa kasus SBY seperti tersandera untuk mengambil keputusan. Kasus lumpur lapindo adalah contoh yang paling nyata.
Secara personal, salah satu hal yang mengecewakan buat saya adalah penunjukan menteri pendidikan yang berlatar belakang partai. Dengan segala hormat saya kepada Prof. Bambang Sudibyo, penunjukkan tersebut mengindikasikan kurang kuatnya tekad pemerintah untuk memikirkan dunia pendidikan secara serius. Karena, meskipun menteri pendidikan terpilih merupakan praktisi pendidikan, namun latar belakang beliau yang ahli ekonomi menyebabkan cara pandang terhadap dunia pendidikan seperti menghadapi dunia bisnis.
Persoalan menjadi lebih serius ketika kita ingin melakukan akselerasi di dunia pendidikan. Akselerasi dimaksud berorientasi pada dua hal, yaitu memperluas akses dan meningkatkan kualitas. Pada aspek perluasan akses, pemerintah pusat terbantu oleh adanya undang-undang otonomi daerah yang antara lain menghendaki adanya otonomi di bidang pendidikan. Di sini peran pemerintah pusat dalam hal pendidikan menjadi berkurang. Tanggung jawab pendidikan di daerah lebih besar dibebankan kepada kepala daerah. Oleh karena itu, tidak heran jika kita mendengar berbagai daerah berlomba-lomba dalam melaksanakan program pendidikan gratis.
Persoalan perluasan akses ini juga berimplikasi pada pembangunan sekolah-sekolah baru atau peremajaan sekolah-sekolah lama di berbagai pelosok daerah. Di sini diperlukan koordinasi yang efektif antara pusat dan daerah. Di beberapa wilayah koordinasi ini berjalan dengan efektif, tetapi di sebagian yang lain nampak belum terjadi perubahan yang signifikan. Contoh yang paling ekstrim adalah adanya beberapa kasus sekolah negeri yang roboh. Di samping itu, salah satu kendala perluasan akses adalah kondisi geografis beberapa wilayah di Indonesia. Ketika lokasi satu pemukiman berjarak sangat jauh dengan pemukiman lain, sementara sarana transportasi sangat terbatas tentu akses menjadi sangat sulit. Di sinilah perlunya terobosan-terobosan baru di dunia pendidikan, yang belum nampak banyak dilakukan pemerintah.
Persoalan peningkatan kualitas disikapi oleh pemerintah dengan berbagai kebijakan. Tiga hal yang paling menonjol adalah pemberlakuan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), pemberlakuan ujian nasional dan penyelenggaraan sertifikasi guru. Dalam pengamatan saya, ketiga hal tersebut cukup bermasalah dan perlu dipikirkan secara lebih serius.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Semangat dari model kurikulum semacam ini adalah bahwa sekolah lebih tahu kemampuan dan kebutuhan anak didik mereka, oleh karena itu kewenangan penyusunan kurikulum diberikan kepada pihak sekolah. Sampai di sini kita menghadapi dua persoalan serius. Pertama, setelah berpuluh-puluh tahun sekolah menerima begitu saja kurikulum yang harus mereka ajarkan, mereka gagap ketika diminta untuk menyusun kurikulum sendiri. Akibatnya banyak kurikulum yang disusun secara asal-asalan, atau hanya dengan memindahkan kurikulum lama ke dalam format baru. Kedua, seberapa jauh pemerintah rela memberikan kebebasan kepada sekolah dalam menyusun kurikulum mereka sendiri. Sebab ternyata, ketika kurikulum telah dibebaskan untuk disusun oleh sekolah, sekolah masih dibebani oleh pola kurikulum yang seragam. Walhasil, sekolah belum nampak secara maksimal memanfaatkan peluang yang ditawarkan KTSP ini. Yang terjadi justru banyak sekolah yang bingung untuk menerapkannya. Ketika sekolah bingung, maka yang menjadi korban adalah siswa, karena kurikulum adalah menu yang mesti dinikmati siswa di sekolah.
Ujian Nasional
Ujian nasional dimaksudkan untuk menentukan kualitas lulusan siswa sekolah-sekolah di Indonesia, dengan memberlakukan standar kelulusan tertentu. Sayangnya, berbagai salah kaprah yang terjadi dalam UN, mengakibatkan efek negatif yang ditimbulkannya lebih besar dari manfaat yang diberikan. Manfaat utama yang diberikan adalah pemetaan kemampuan siswa di tiap sekolah dan wilayah, sebagai bahan perbaikan berbagai aspek penyelenggaraan pendidikan di sekolah dan wilayah tersebut. Misalnya jika di satu sekolah rata-rata siswa memiliki nilai matematika yang rendah, maka harus dilakukan perbaikan dalam hal itu.
Ternyata, alih-alih mendapatkan manfaat tersebut, ada berbagai efek negatif dari pelaksanaan UN yang tidak terencana dengan baik itu. Pertama, siswa, guru dan orang tua menyepelekan mata pelajaran yang tidak termasuk dalam UN. Padahal tujuan pendidikan (secara menyeluruh) baru bisa tercapai dengan efektif, apabila semua mata pelajaran dikuasai secara merata oleh siswa. Kedua, Sekolah mengajarkan siswa dengan latihan soal (drilling), dan mengabaikan pemahaman konsep penguasaan ilmu secara integral. Ketiga, siswa diajarkan untuk berbuat tidak jujur dalam ujian. Hal ini dilakukan karena guru dan kepala sekolah ingin agar anak-anak mereka lulus semua dalam ujian. Keempat, banyak siswa mengalami tekanan psikologis yang sangat dahsyat karena tidak siap menghadapi ujian tersebut. (Uraian lebih lanjut dapat dilihat di sini).
Sertifikasi Guru
Ada dua tujuan mulia berkaitan dengan penyelenggaraan sertifikasi ini, yaitu: melakukan seleksi ulang terhadap guru untuk memastikan kualitas mereka selaku pendidik, dan memberikan tunjangan yang memadai kepada para guru sehingga mereka dapat melaksanakan tugas dengan baik.
Sayangnya, tujuan yang pertama belum dapat diwujudkan dengan baik, karena pola sertifikasi yang berlaku belum mampu mengakomodasi kebutuhan tersebut. Persoalan yang mendasar adalah jumlah guru yang sangat banyak dan proses seleksi administrasi yang dilakukan memungkinkan untuk terjadinya penilaian yang tidak proporsional. Artinya, banyak guru yang sebenarnya pantas dianggap berkualitas, tetapi karena lemah dalam hal administrasi maka dia tidak lulus sertifikasi. Sebaliknya, banyak guru yang sebenarnya kemampuan mendidiknya lemah, tetapi karena dengan berbagai cara dia mampu melengkapi syarat administrasi maka dia lulus sertifikasi.
Hampir serupa dengan kasus ujian nasional, sertifikasi guru juga telah banyak menyebabkan guru menghalalkan berbagai macam cara untuk lulus sertifikasi. Salah satunya adalah sertifikasi menuntut dokumen lengkap keterlibatan guru di berbagai kegiatan selama mereka menjadi guru. Tentu saja mereka yang sudah menjadi guru puluhan tahun tidak semuanya menyimpan dokumen dengan baik, karena berbagai alasan. Lalu, muncullah berbagai sertifikat dan surat keterangan aspal. Bukankah ini berarti kita sedang merusak mental guru demi mendapatkan pengakuan dan gaji yang layak.
Padahal, akan jauh lebih bermanfaat jika dana sertifikasi itu dialokasikan untuk pembinaan sumber daya melalui berbagai training sesuai dengan kebutuhan para guru. Pasti hasilnya akan jauh lebih bermanfaat daripada sekedar menilai kertas-kertas yang belum tentu berbicara jujur.
Akhir kata, meningkatnya anggaran pendidikan harus diimbangi secara serius dengan kebijakan pendidikan yang terarah dan terprogram dengan baik. Karena disadari bahwa investasi pendidikan adalah investasi jangka panjang, dan karenanya tidak mungkin mengharapkan hasil yang instan. Apalagi jika berharap hasil pendidikan kita berubah secara drastis dalam lima tahun. Namun demikian, perbaikan terhadap proses pendidikan tentu akan menjadi berita gembira bagi orang tua dan praktisi pendidikan, selama itu semua terprogram dengan baik dan bukan sekedar mengejar target.
Sebagai praktisi dan akademisi pendidikan, tentu tidak berlebihan jika saya berharap pimpinan mendatang lebih serius memikirkan dunia pendidikan. lebih dari sekedar menaikkan anggaran. mz.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
apa yang saya cari, terima kasih
Posting Komentar