Manusia diciptakan Tuhan sebagi makhluk unggul dibanding dengan makhluk lain.
Keunggulan manusia antara lain karena ia memiliki kemampuan untuk berpikir dan berimajinasi. Hal ini dimungkinkan karena Tuhan menciptakan manusia lengkap dengan otak yang memiliki fungsi ganda. Salah satu fungsinya adalah memori.
Memori dalam otak manusia merupakan salah satu modal penting manusia untuk mencapai peradaban yang gemilang. Dengan memori inilah sesungguhnya manusia belajar dan berinteraksi dengan manusia lain serta lingkungannya.
Hasil kajian para ahli di bidang cognitive science menyimpulkan bahwa manusia sekurang-kurangnya memiliki dua fungsi utama dalam memorinya, yaitu memori kerja (working memory) atau sering juga disebut sebagai memori jangka pendek (short-term memory) dan memori jangka panjang atau penyimpan (long term memory).
Memori kerja berfungsi sebagai pengolah informasi yang diterima otak melalui indera. Sebagai pengolah informasi dia tidak memiliki kemampuan untuk menyimpan informasi dalam jumlah yang banyak dan dalam waktu lama. Rata-rata kemampuan memori kerja dalam menyimpan informasi hanyalah 7 s.d. 10 digit. Contohnya, jika kita mendengar orang menyebutkan angka (no telp rumah) sekali saja, maka kemungkinan besar kita mampu mengulangnya. Sementara jika orang menyebutkan no telp genggamnya (gsm), rasanya sulit untuk diingat. Karena, no telpon rumah biasanya antara 6 - 8 digit, sementara telepon genggam antara 10 - 13 digit. Karena keterbatasan inilah memori kerja disebut sebagai memori jangka pendek. Tetapi dibalik keterbatasannya itu, ia memiliki kemampuan luar biasa dalam memproses informasi. Kemampuan inilah yang membuat kita mampu menyelesaikan berbagai masalah secara spontan.
Memori jangka panjang berfungsi sebagai tempat menyimpan informasi yang telah diolah oleh memori kerja. Dia laksana hard disk pada komputer. Jika memori kerja memiliki keterbatasan dalam menyimpan informasi, maka memori jangka panjang memiliki kemampuan yang tak terbatas. Saya sering mencoba bertanya kepada mahasiswa mengenai pengalaman mereka ketika kecil. Dan biasanya mereka akan mampu menjawabnya dengan baik. Padahal, kejadiannya sudah lebih dari 30 tahun berlalu. Ini artinya fungsi memori penyimpan dalam otak manusia memiliki kemampuan yang luar biasa. Bahkan, berbeda dengan hard disk komputer yang jika sering digunakan atau jika digunakan melebihi kapasitas akan rusak, maka memori penyimpan kita justru akan semakin berfungsi dengan baik jika semakin sering digunakan.
Kedua fungsi memori tersebut memiliki peranan penting dalam proses belajar, karena belajar adalah proses penyerapan dan penyimpanan informasi oleh otak manusia. Proses belajar dapat dikatakan berhasil apabila proses penyerapan informasi dilakukan dengan baik dan maksimal, dan informasi yang diperoleh juga tersimpan dengan baik, sehingga sewaktu dibutuhkan informasi itu akan dengan cepat muncul untuk diproses dan direproduksi.
Tantangannya buat guru adalah bagaimana memastikan agar memori kerja dan memori penyimpan dapat berfungsi secara maksimal sehingga siswa atau murid dapat menyerap informasi, mengolah dan menyimpannya secara optimal.
Credit: picture taken from www.copingskills4kids.net
Rabu, Maret 25, 2009
Memori
Selasa, Maret 24, 2009
Review Buku Ajar
Hari ini secara mendadak saya diminta menggantikan Prof. Dede Rosyada untuk ngajar di kelas "Review Buku Ajar PAI" di Sekolah Pasca Sarjana (SPS) UIN. Sebenarnya ini bukan hal yang aneh, karena saya memang satu tim dengan Prof. Dede dan Prof. Abuddin Nata dalam mengajar mata kuliah ini. Kebetulan Prof. Dede sedang tugas ke Yogyakarta dan Prof. Abuddin sedang di Mataram, dan saya sedang di Ciputat.
Sebenarnya saya agak kurang sreg menggunakan kata mengajar untuk kelas di SPS, karena yang terjadi adalah diskusi dan tukar informasi. Yang membedakan hanyalah karena saya lebih dulu kuliah di tingkat Pasca Sarjana dan mereka baru berkesempatan saat ini. Selebihnya, tergantung siapa yang lebih banyak membaca dan memperkaya diri dengan wawasan.
Hari ini, kami berdiskusi soal review materi PAI untuk siswa kelas XI (2 SMA). Sang penulis, yang kebetulan guru dari Singkawang, menyorot soal adanya materi Khutbah Jumat/Dakwah/Tabligh dalam materi PAI tersebut. Singkatnya, menurut penulis (Zulfiadi), materi tersebut tidak tepat untuk disampaikan ke siswa kelas XI karena dua alasan. Pertama, materi ini tidak menunjang Standar Kompetensi (SK) yang diharapkan. Kedua, dia mengalami sendiri bahwa banyak siswa SMA yang bahkan belum mampu membaca al-Quran dan belum memiliki keyakinan yang baik. Oleh karena itu, penulis berpikir agar materi tentang khutbah ini dihapuskan saja dan diganti dengan materi muraqabah (merasa berada dalam pengawasan Allah).
Pendapat penulis menuai pro dan kontra dari peserta diskusi. Sebagian besar keberatan dengan usul penulis. Mereka menganggap bahwa materi tersebut sangat relevan untuk diajarkan karena berbagai hal. pertama, menyiapkan siswa SMA untuk mengenal pelaksanaan shalat Jumat dan diharapkan bisa melaksanakan khutbah Jumat. Kedua, meskipun mereka tidak melakukan khutbah sendiri, mereka diajarkan untuk menulis materi khutbah, sehingga mereka mampu mengekspresikan diri. Ketiga, kemampuan khutbah/dakwah tidak perlu dihubungkan secara langsung dengan kemampuan baca tulis alQuran, karena untuk bisa menyampaikan ajaran agama, tidak melulu harus fasih membaca Quran, meskipun bukan berarti membaca Quran itu tidak penting. Keempat, materi itu sudah ditentukan dalam standar isi, karenanya tidak boleh dihapuskan, kalau mau ditambahkan saja dengan yang lain.
Pemetaan terhadap dua pendapat pro dan kontra ini menarik, bukan hanya sebagai bukti bahwa materi yang disampaikan kontroversial, tetapi juag sebagai pola berpikir. Artinya, penulisan materi seperti itu, harus mempertimbangkan argumen-argumen yang memadai sehingga diskusi menjadi menarik.
MAsing-masing pihak tidak perlu merasa saling memaksakan atau dipaksakan untuk mengikuti pendapat pihak lain. Justru masing-masing pihak diminta untuk memperhatikan argumen pihak lain. Oleh karena itu, sekali lagi argumen itu harus kuat dan berdasar sehingga bisa dimengerti, meskipun belum tentu diterima.
Dalam hal materi PAI, spesifiknya tentang Khutbah/Dakwah ini, penulis belum mengemukakan materi itu dalam konteksnya. Artinya Standar Kompetensi (yang meskipun perlu dikritik) belum dimunculkan secara speseifik, dan bagaimana hubungan materi itu dengan materi sebelum dan sesudahnya. Mengusulkan untuk merubah sesuatu memang mudah, tetapi agar lebih bermakna dan menemui sasaran, tentu usulan itu harus jelas, terstruktur dan rasional.
Dalam diskusi itu sbenarnya nampak dua hal berkaitan dengan studi tentang buku teks. Pertama, seringkali ada kesenjangan antara kurikulum yang diharapkan dengan kemampuan siswa di lapangan. Sering terjadi siswa belum memenuhi qualifikasi untuk belajar sesuai dengan mandat kurikulum, sehingga tujuan kurikulum tidak tercapai. Contohnya adalah soal khutbah jumat tadi. Banyak siswa yang belum mampu baca Quran, bahkan belum mampu solat secara benar, tetapi mereka sudah harus pandai berdakwah. Kedua, Materi buku ajar sering tidak memperhatikan konteks siswa di sekolah. Dalam upaya menterjemahkan kurikulum, buku ajar sering tidak sesuai dengan kondisi siswa di sekolah. Apalagi jika disadari bahwa antara penulis buku ajar dengan siswa terbentang jarak yang jauh secara geografis.
Nah, oleh karena itu, memang tidak ada salahnya apabila buku ajar dan kurikulum itu tidakdilihat sebagai kitab suci. Mereka justru harus dikritik demi perbaikan kualitas pendidikan di masa mendatang. Menjadi sangat valid ketika kritik itu datang dari guru selaku pelaku implementor dari kurikulum.
Jumat, Maret 20, 2009
7 Laws of Happiness, Why Not 8?
Pagi ini saya beruntung diberi kesempatan menjadi pembicara dalam sebuah diskusi buku yang digelar oleh BEM PAI. Buku yang didiskusikan adalah 7 Laws of Happiness, karya Arvan Pradiansyah. Arvan Pradiansyah adalah salah seorang motivator dan triner SDM yang saat ini memiliki lembaga konsultasi SDM ILM.
Dalam buku ini penulis menjelaskan tentang 7 sikap harus dimiliki oleh setiap orang untuk mencapai hidup bahagia. Ketujuh sikap tersebut adalah Patience (Sabar), Gratefulness (Syukur), Simplicity (Sederhana), Love (Kasih), Giving (Memberi), Forgiving (Memaafkan) dan Surrender (Pasrah). Ketujuh sikap itu terangkum dalam tiga kelompok, yaitu hubungan intra personal (Patience, Gratefulness, dan Simplicity), Interpersonal (Love, Giving dan Forgiving), dan Spiritual (Surrender).
Saya sangat menyenangi buku-buku semcam ini dan menghargai penulisnya. Karena buku-buku seperti ini kita selalu diingatkan akan hakikat dan tujuan hidup kita, sehingga kita tidak terganggu oleh berbagai persoalan kecil yang sebenarnya merupakan kerikil di tengah jalan yang terbentang luas, atau terganggu oleh mimpi akan kebahagiaan semu yang sebenarnya tidak kita butuhkan.
Kunci dari apa yang dibicarakan dalam buku ini sebenarnya adalah mind-management (manajemen otak), tapi ini dalam bahasa saya lho. Otak adalah kunci dari segala tingkah laku, pengalaman hidup, dan perasaan kita. Kebahagian kita akan sangat ditentukan oleh otak kita, dan karena otak kita itu berada dan berfungsi setiap saat, maka sebenarnya kebahagiaan itu bisa diperoleh dan dirasakan setiap saat. Persoalannya adalah kita mau atau tidak.
Kenapa demikian, karena kita seringkali salah dalam memaknai kebahagiaan. Seolah-olah kebahagiaan adalah sesuatu yang harus dicapai dengan bersusah payah dan melalui prosedur tertentu. Kebahagiaan berbeda dengan kesuksesan, karena kesuksesan adalah ukuran keberhasilan dari apa yang diniatkan di masa lalu. Kebahagiaan juga berbeda dengan kesenangan, karena kesenangan biasanya lebih bersifat fisik/material dan temporary sifatnya. Kebahagiaan adalah suasana otak yang mengkondisikan diri kita untuk menerima dengan jiwa terbuka apa yang kita alami dan peroleh. Karena itu, saya sependapat dengan ungkapan Arvan, bahwa kalau kesuksesan adalah getting what we want, sementara kebahagiaan adalah wanting what we get.
Karena berbicara di depan mahasiswa Fakultas Tarbiyah (Pendidikan), maka mau tidak mau saya menghubungkan tujuh sikap itu dengan pendidikan. Tapi sebelum itu, saya share juga beberapa masukan untuk Pak Arvan. Pertama, gratefulness atau syukur bukanlah sikap yang hadir dengan sendirinya, tetapi dia merupakan respon dari perilaku pihak lain (utamanya Tuhan) terhadap kita. Oleh karena itu, saya mengusulkan agar gratefulness ini masuk dalam kategori spirtual atau interpersonal, dan bukan intra personal. Kedua, ketika berbicara tentang hubungan interpersonal, perlu diingat satu hal penting yang mendasari hubungan baik antara seseorang dengan orang lain, yaitu trust. Tanpa trust tidak akan ada love, giving dan forgiving. Oleh karena itu saya usulkan agar trust dimasukkan sebagai salah satu faktor yang berpengaruh pada kebahagiaan. Hemat saya orang yang tidak memiliki trust kepada orang lain, tidak mungkin bahagia ketika berhubungan dengan orang lain.
Nah, masuk ke wilayah pendidikan, saya diingatkan akan sebuah tulisan dari tokoh seorang filosof pendidikan Nel Noddings. Noddings mengatakan bahwa kebahagiaan adalah kebutuhan manusia secara universal. Sementara pendidikan berupaya merubah sikap dan pola pikir manusia menjadi lebih baik. Pendidikan pada hakikatnya bertujuan untuk mengantarkan manusia pada kebahagiaan. Oleh karena itu, Nodding mengusulkan agar happiness bukan hanya dipelajari, tetapi juga menjadi tujuan. Tetapi, Noddings menyadari bahwa menjadikan happiness sebagai tujuan menjadi tidak praktikal dan sulit untuk diterapkan. Namun demikian, ia mengingatkan, bukan berarti kebahagiaan menjadi tidak penting. Paling tidak, para pendidik sadar bahwa apa yang mereka lakukan harus membahagiakan mereka dan anak didik mereka.
Kedekatan pendidikan dengan kebahagiaan ada pada prosesnya. Pendidikan sebenarnya lebih merupakan proses mental (otak). Meskipun dikenal ada tiga ranah dalam pendidikan (kognitif, afektif dan prikomotorik), kesemuanya merujuk kepada proses mental (mind). Hal ini nampak jika kita merujuk ke hasil penelitiannya Howard Gardner dan kawan-kawan. Sementara itu, kebahagiaan, sebagaimana disinggung di atas juga merupakan proses mental. Kebahagiaan, berbeda dengan kesenangan, merujuk pada suasana mental yang menerima dengan terbuka, apa yang dialami oleh seseorang. Oleh karena itu, sudah selayaknya orang-orang yang terlibat dalam pendidikan menjadi orang-orang yang bahagia, karena mental mereka memang dikondisikan untuk itu. Guru dan siswa mestinya sama-sama bahagia, karena mereka secara sadar melakukan hubungan spiritual yang meningkatkan kemampuan otak mereka. Namun demikian, kenyataannya banyak guru dan siswa yang nyata-nyata tidak bahagia.
Jika merujuk kepada apa yang ditulis Arvan, maka guru dan siswa selayaknya dikenalkan kepada tujuh (atau delapan) pra-syarat kebahagiaan untuk diterapkan dalam praktek pendidikan. Jika guru dan siswa menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan peserta didik dengan perasaan bahagia, maka hasil pendidikan tentu akan lebih baik. Karena dia bukan hanya akan melahirkan orang-orang yang cerdas dan terampil, tetapi kecerdasasn dan keterampilan itu juga membawa kepada kedamaian. Sebab hanya orang-orang yang tidak bahagia yang tidak menghendaki kedamaian.
Z
Rabu, Maret 11, 2009
Papua
Saya beruntung, minggu lalu berkesempatan mengunjungi tanah Papua. Secara personal, ada beberapa kesan yang saya alami ketika di sana:
Kesan pertama adalah saya serasa berada di luar negeri. Jelas kesan ini sangat personal, karena menyangkut penglaman hidup, tapi perkenankan saya jelaskan mengapa. Ada beberapa alasan mengapa ketika di Papua saya merasa seperti berada di luar negeri.
Pertama, jarak tempuh Jakarta - Jayapura adalah 6 jam. Biasanya penerbangan sejauh itu telah mengantarkan saya ke Hongkong, Jepang atau Sydney. Ternyata setelah etrbang selama itu, saya masih berada di Indonesia.
Kedua, perjalanan dari Bandara Sentani ke kota Jayapura melewati Danau Sentani dan Jalan raya yang berliku-liku mengitari bukit. Indah sekali dipandang. Saya langsung teringat ketika berada di New Zealand dengan pemandangan yang luar biasa indah. Ternyata, tanpa harus ke New Zealand, kita sudah bisa menikmati keindahan alam yang tak kalah hebatnya.
Ketiga, biasanya ketika berkunjung ke negara asing, saya sering bertemu dengan teman-teman dari perwakilan Indonesia di sana dari penjemputan di bandara, mengantar belanja hingga melepas kembali keberangkatan. Di Papua, saya bertemu dengan teman-teman dari kantor BP-PNFI (Balai Penyelenggara Pendidikan Non-formal dan Informal) yang sangat membantu selama saya berada di Papua. Bahkan Pak Ronny Gunarso, Kepala BPPNFI, tidak segan menyediakan kendaraan yang siap mengantar saya (saya jadi tersanjung dan terharu)... Terima kasih Pak Ronny... Selain ketiga hal itu, tentu saya sepenuhnya sadar bahwa saya masih berada di Indonesia, dan tetap merasa nyaman untuk berjalan sendiri dan berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Apalagi di sana-sini bertebaran iklan kampanye caleg yang bagi saya sangat merusak indahnya pemandangan.
Di samping perasaan berada di luar negeri, saya sangat terpesona dengan keindahan alam Papua. Meskipun baru melihat Sentani, Jayapura, Wamena dan Timika. Saya merasakan anugerah Allah yang luar biasa hebatnya di alam ini. Belum berbicara soal kandungan perut buminya yang tak ternilai. Pemandangan alam yang kasat mata, dari danau yang luas, bersih dan dikelilingi bukit. Lembah yang hijau, subur dan diapit gunung. Bukit berpasir putih yang mengundang untuk dikunjungi. Gunung-gunung hijau yang belum terjamah dengan bukit yang meliuk-liuk berpayung awan. Luar biasa... Unimaginable... A real breath-taking experience. Tak berlebihan jika ada seorang missionaris mengatakan bahwa this land is blessed. Tanah yang penuh berkah dengan kekayaan alam yang melimpah ruah.
Kekaguman saya terhadap bumi Papua, sayangnya justru berbanding terbalik dengan kekecewaan saya melihat betapa terbelakanngnya rakyat Papua. Di beberapa tempat, memang fasilitas sudah relatif baik, tapi dibandingkan dengan daerah-daerah lain, jelas jauh dari memadai. Tentu saja ini ironis jika melihat dua kesan pertama di atas. Alam yang indah dan kaya raya dihuni oleh penduduk asli yang kebanyakan miskin dan (maaf) dengan peradaban yang berbeda dengan tipikal masyarakat modern. Jika kita membagi timeline perubahan masyarakat dari zaman batu, agraris, industri ke informasi, maka kebanyakan orang Papua masih berada di masa peralihan antara zaman batu ke agraris. Padahal di daerah lain di Indonesia sudah ada yang beralih dari masa indutsri ke informasi. Tentu saja, ini tidak bisa digeneralisir, tapi inilah kesan yang saya tangkap.
Tentu banyak penjelasan mengapa rakyat Papua begitu tertinggal secara peradaban dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Sekurang-kurangnya ada tiga hal yang menyebabkan keterbelakangan di atas:
Pertama, kondisi geografis Papua yang menyulitkan komunikasi dan transportasi menyebabkan penyebaran informasi, ekonomi, dan pendidikan menjadi sangat lambat, sulit dan mahal. Karenanya, tingkat rata-rata pendidikan rendah, perkembangan teknologi lambat dan pertumbuhan ekonomi juga tidak cepat.
Kedua, Etos kerja orang Papua yang kurang tinggi. Mungkin, sekali lagi mungkin, karena kekayaan alam yang begitu banyak termasuk tanahnya yang subur, orang Papua tidak memiliki tantangan untuk mengembangkan diri lebih lanjut. Toh alam di sekitar mereka tinggal sudah mampu menyediakan apa yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup. Etos kerja yang kurang ini sayangnya dibarengi dengan kultur yang suka menghambur-hamburkan uang. Sejauh yang saya tangkap, masyarakat Papua tidak mengenal tradisi menyimpan uang, sehingga begitu memperoleh uang dalam jumlah besar, uang tersebut akan dihabiskan untuk pesat dan berbagi dengan teman dan saudara. Akibatnya perbaikan kualitas hidup menjadi terhambat.
Ketiga, sulitnya ekonomi dan transportasi menjadikan terbatasnya akses masyarakat Papua ke dunia pendidikan formal. Hal ini menyebabkan tradisi lama yang kurang menguntungkan masih tetap bertahan. Padahal, jika tingkat pendidikan masyarakat Papua meningkat, tentu secara perlahan budaya dan pola hidup akan mengalamai perubahan. Ini jelas nampak di beberapa daerah pesisir yang memiliki tingkat partisipasi pendidikan tinggi.
Ada kesan lain, yang sering orang lupa terhadap orang Papua. Sering orang mengidentikkan perbedaan budaya sebagai keterbelakangan dan permusuhan. Sehingga dikesankan jikalau ke Papua, kita akan berhadapan dengan orang-orang yang menakutkan. Ternyata kesan itu tidak tepat. Masyarakat Papua adalah orang-orang yang ramah dan menghormati orang lain.
Ada kisah seorang guru yang saya jumpai di Jayapura. Suatu hari guru ini makan di warung bakso bersama seorang putrinya. Ketika selesai makan, dia bermaksud membayar, tetapi oleh tukang bakso dibilang,
"bakso ibu sudah ada yang bayar, jadi ibu tidak perlu bayar lagi."
Tentu saja ibu ini kaget, bahkan tidak percaya:
"Pak, mungkin bukan saya yang dimaksud orang itu, karena tidak ada orang yang saya kenal di sini."
Tukang bakso yakin betul bahwa dia tidak salah,
"Orang itu", katanya sambil menunjuk ke arah seorang laki-laki, "memastikan betul bahwa dia memang membayar bakso yang ibu dan anak ibu makan, jadi ibu tidak perlu bayar lagi."
Lalu sang ibu menghampiri orang yang baik hati itu:
"Pak, apa betul Bapak yang telah membayar bakso yang saya makan."
Dengan pasti dia menjawab:
"Betul bu, saya ini dulu murid ibu yang sering ibu bantu, ibu kasih makan. Sekarang saya sudah punya uang saya ingin sesekali berbuat baik sama ibu."
Si ibu pun tersentuh, tapi tidak tega untuk menerimanya, mengingat sang murid itu juga kelihatannya bukan orang kaya. Maka dia bilang,
"Kamu tidak perlu seperti ini, kamau kan pasti masih membutuhkan uang itu untuk keluargamu."
"Tidak apa-apa bu, biarkan saya sesekali membantu ibu, karena saya sekarang sudah bekerja."
Begitulah, akhirnya sang ibu pun tidak sampai hati mengembalikan uang bakso ke muridnya itu. Tapi cerita itu nampak berbekas di hati bu guru. Ada kepuasan manakala sang murid menghargai jerih payahnya meskipun hanya dengan semangkok bakso. Betapa orang Papua ternyata memiliki hati yang lembut dan penuh perhatian.