Rabu, Januari 21, 2015
Bahasa Asing, Mengapa Perlu?
“The limit of my language means the limit of my world”, demikian dikatakan oleh Ludwig Wittgenstein, seorang filosof Inggris-Austria. Ungkapan yang sangat populer di kalangan pemerhati bahasa tersebut secara implisit mengatakan bahwa dunia kita akan terasa sangat sempit, jika kita tidak menguasai bahasa.
Bahasa memang jendela dunia. Keluasan wawasan seseorang dapat diukur antara lain dengan bahasa yang dikuasainya. Begitu juga dengan keluasan pergaulan seseorang. Sulit bagi orang yang tidak menguasai bahasa selain bahasa ibunya, untuk dapat bergaul dengan orang dari Negara yang berbeda.
Bahasa juga jendela ilmu pengetahuan. Transmisi ilmu dari satu negara atau kawasan ke negara atau kawasan lain terjadi seiring dengan adanya pertukaran bahasa. Penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam Bahasa Arab dan penerjemahan buku-buku berbahasa Arab ke dalam Bahasa Inggris telah memungkinkan terjadinya pertukaran dan pengembangan ilmu pengetahuan. Tanpa ada orang Arab yang mampu berbahasa Yunani dan orang Barat yang berbahasa Arab, tentu transmisi ilmu itu tidak terjadi dengan baik.
Dewasa ini ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dengan sangat cepat. Berbagai penelitian dan eksperimen yang menghasilkan temuan dan teknologi baru terus terjadi di berbagai belahan dunia. Para ilmuan, peneliti dan praktisi sering berbagi tentang karya-karya mereka melalui berbagai cara. Cara yang paling populer adalah publikasi lewat media dan pertemuan-pertemuan ilmiah. Hanya mereka yang bisa mengakses berbagai publikasi dan menghadiri berbagai forum pertemuan ilmiah itu yang dapat memperoleh hal-hal mutakhir yang dilakukan atau ditemukan para ahli. Tentu saja publikasi dan pertemuan dimaksud dilakukan dengan menggunakan bahasa tertentu yang dikenal secara internasional.
Bahasa juga berkaitan dengan ekonomi dan dunia kerja. Perkembangan ekonomi dunia saat ini mengarah kepada regionalisasi ekonomi. Negara-negara di kawasan tertentu membuat kesepakatan pembangunan ekonomi dengan menipiskan batas antar negara. Hal ini ditandai antara lain dengan kesepakatan negara-negara Eropa untuk memberlakukan kawasan perdagangan bebas Eropa (1993) dan mata uang tunggal (2002). Tidak mau ketinggalan, negara-negara di kawasan Asia Tenggara juga memiliki komitmen yang sama dengan melahirkan AEC (ASEAN Economic Community) atau MEA (Masyarakat Ekonomi Asia Tenggara).
Kehadiran MEA yang mulai berlaku di tahun 2015, merupakan peluang, tantangan sekaligus juga ancaman buat masyarakat Indonesia, tidak terkecuali mahasiswa di berbagai perguruan tinggi di tanah air. Dikatakan peluang, karena pasar Asia Tenggara akan terbuka luas bagi masyarakat Indonesia untuk mengembangkan karir dan usaha mereka. Pasar kerja dan bisnis semakin terbuka lebar. Tantangannya adalah bagaimana membuat peluang-peluang tersebut menjadi aksi nyata yang menghasilkan keuntungan. Tentu, baik pekerja maupun pengusaha, harus mampu membaca potensi kerja dan potensi pasar di negara-negara ASEAN. Untuk itu, mereka harus mampu menguasai bahasa yang dapat dimengerti oleh semua pihak yang terkait.
MEA juga dapat menjadi ancaman, ketika masyarakat Indonesia tidak mampu memanfaatkan berbagai peluang sebagaimana disebutkan di atas. Sebaliknya, para pekerja dan pengusaha ASEAN-lah yang justru hadir di Indonesia dan mengembangkan karir atau bisnis mereka di tanah air. Jika ini terjadi, alih-alih mendapat keuntungan, MEA justru memberikan kerugian bagi masyarakat Indonesia.
Mencermati dua fenomena di atas: perkembangan ilmu pengetahuan dan dinamika ekonomi dunia; Indonesia dituntut untuk meningkatkan kemampuan sumberdaya manusianya. Salah satu unsur penting dalam pengembangan SDM tersebut adalah penguasaan bahasa asing. Penguasaan bahasa asing, terutama Inggris adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh mahasiswa, baik sebagai ilmuwan muda maupun sebagai calon pelaku bisnis atau professional.
UIN syarif Hidayatullah Jakarta sadar betul akan tantangan tersebut. UIN Jakarta menginginkan agar mahasiswa dan lulusannya mampu menjadi bagian penting dari perkembangan ilmu pengetahuan dan pertumbuhan ekonomi. Lebih dari itu UIN Jakarta juga menginginkan agar lulusannya menjadi pelaku utama bagia kemajuan bangsa, agama dan kemanusiaan. Oleh sebab itu, sejak tahun 2005, UIN Jakarta menuntut mahasiswanya untuk menguasai bahasa Arab dan Inggris, selain bahasa Indonesia sebagai bahasa utama.
Bagi sebagian mahasiswa tuntutan ini dirasakan cukup memberatkan, terutama mereka yang hendak mengikuti ujian skripsi. Banyak mahasiswa yang mengeluh tidak bisa mengikuti ujian skripsi karena nilai kompetensi bahasa mereka belum memenuhi persyaratan. Padahal sejak awal mengikuti perkuliahan di UIN Jakarta mereka tahu bahwa kompetensi bahasa merupakan salah satu syarat mutlak untuk lulus dari UIN Jakarta.
Menurut hemat saya ada tiga penyebab utama sulitnya mahasiswa dalam memenuhi syarat kompetensi bahasa.
Pertama, input yang rendah. Penguasaan bahasa asing, baik Arab maupun Inggris di kalangan mahasiswa UIN Jakarta terbilang kurang menggembirakan. Data dari hasil ujian mahasiswa baru tahun 2013, misalnya, menunjukkan bahwa 74% mahasiswa baru UIN Jakarta memiliki kemampuan bahasa Inggris di bawah level pre-intermediate (diperkirakan skornya lebih rendah dari 450 PBT). Sementara mereka yang berada di atas level 500 hanya berkisar 6% saja.
Kedua, pola pembelajaran yang bervariasi. Pembelajaran bahasa di UIN Jakarta merupakan tanggungjawab fakultas dan program studi (prodi) di mana mahasiswa belajar. Setiap fakultas dan prodi memiliki kewenangan dan kebijakan masing-masing dalam hal pembelajaran bahasa asing, baik dari segi jumlah sks, tujuan pembelajaran, maupun standar kompetensi dosen. Keberagaman ini memiliki dampak yang cukup besar bagi keberhasilan mahasiswa dalam menguasai bahasa asing. Hanya fakultas dan program studi yang serius menguasai bahasa asing mampu mengantarkan mahasiswanya memiliki kemampuan berbahasa asing yang memadai.
Ketiga, motivasi belajar yang rendah. Meskipun perlu pembuktian secara akademik mengenai rendahnya motivasi belajar bahasa asing di kalangan mahasiswa, saya menduga faktor ini memiliki pengaruh yang tidak kalah besarnya bagi peningkatan kompetensi bahasa mahasiswa. Berdasarkan pengalaman pribadi sebagai pengajar, saya menjumpai sejumlah mahasiswa yang sangat termotivasi untuk menguasai bahasa asing. Mereka rela meluangkan waktu, bahkan menyisihkan uang jajan, untuk dapat menguasai bahasa asing yang mereka inginkan. Ada yang belajar secara mandiri, ada yang ikut kursus, bahkan hingga mengikuti program khusus bahasa di tempat lain, seperti di Pare, Kediri. Sayangnya, jumlah mahasiswa yang memiliki motivasi besar ini tidak sebanyak mereka yang hanya belajar bahasa seadanya. Yang terakhir inilah yang mengalami kesulitan ketika harus mengikuti tes bahasa asing di Pusat Pengembangan Bahasa.
(Bersambung)
Minggu, April 07, 2013
Penandatanganan Pembukaan Cabang IFI di Kampus UIN Jakarta
Sebagai tindak lanjut dari perjanjian kerjasama antara IFI dan UIN yang telah diresmikan oleh Yang Mulia Duta Besar Prancis untuk Indonesia, Bapak Bertrand Lortholary, dan Rektor UIN Jakarta, Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat pada akhir Mei lalu, IFI kembali melaksanakan pertemuan dengan UIN untuk membicarakan tentang program dan aktivitas yang akan dilakukan bersama. Pertemuan ini dihadiri oleh Direktur Pusat Bahasa UIN, Bapak Muhammad Zuhdi, dan Konselor Kerjasama dan Kebudayaan Kedutaan Besar Prancis di Indonesia / Direktur IFI, Bapak Bertrand de Hartingh.
Pertemuan ini diakhiri dengan penandatanganan pembukaan cabang IFI untuk lembaga kursus bahasa Prancis di komplek Kampus UIN Ciputat, dimana bentuk kerjasama seperti ini adalah hal yang pertama kali dilakukan di Indonesia. IFI merasa senang dan bangga dapat memperoleh kesempatan untuk bekerjasama dengan salah satu universitas Islam terbesar di Indonesia.
Pada minggu kedua September 2012, IFI akan melangsungkan beberapa kegiatan sebagai langkah awal untuk memperkenalkan bahasa Prancis di kalangan mahasiswa UIN dan masyarakat luas. Adapun jenis kegiatan tersebut adalah kelas inisiasi bahasa Prancis yang akan dipandu langsung oleh para pengajar profesional dan berpengalaman di IFI. Dengan menggunakan metode yang menyenangkan dan bahan ajar yang inovatif, diyakini dapat menarik minat masyarakat, khususnya mahasiswa, untuk mengikuti kursus bahasa Prancis di cabang UIN. Berbagai permainan edukatif dan pengenalan lagu-lagu Prancis juga akan disajikan secara interaktif tanpa dipungut biaya.
Selain itu, tentu saja akan dibuka sesi pendaftaran kursus untuk kelas intensif, semi-intensif, ekstensif, dan juga kelas persiapan untuk mengikuti ujian internasional DELF (Sertifikat Kemampuan Berbahasa Prancis) dan DALF (Sertifikat Kemampuan Berbahasa Prancis Tingkat Mahir). Seluruh rangkaian kegiatan akan berlangsung di lokasi Kampus 2 UIN. Sedangkan kegiatan Kursus bahasa Prancis ini dibuka untuk mahasiswa UIN dan masyarakat umum terhitung mulai 1 Oktober 2012.
Selasa, Desember 27, 2011
NTB Desember 2011
Jalan Sesama mengadakan pelatihan media outreach (penjangkauan) bagi guru-guru PAUD di Provinsi Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat. Lokasi yang ditentukan adalah Kabupaten Sumedang, Majalengka, Subang, Garut dan Sukabumi di Jawa Barat, serta Lombok Tengah, Sumbawa, dan Doompu di Nusa Tenggara Barat. Training dilakukan secara berkelanjutan mulai tanggal 5 Desember 2011 di Sumedang. Di masing-masing lokasi training berlangsung selama 2 hari.
Saya sendiri sempat ikut setengah hari di Sumedang dan setengah hari di Sukabumi, karena sulit meninggalkan pekerjaan di Jakarta. Beruntungnya, saya bisa cuti satu minggu penuh sehingga bisa hadir di Mataram (untuk Lombok Tengah), Sumbawa Besar (untuk Sumbawa) dan Dompu.
Di Mataram, pelatihan dilaksanakan di kampus BPPNFI Regional VII dengan melibatkan 12 tendik (tenaga pendidik) PAUD dimulai tanggal 19 Desember 2011 hingga tanggal 20 Desember 2011. Di sini saya mendampingi Rara (Dina Mairawati) yang meskipun baru pertama kali melakukan training, tapi sangat meyakinkan. Sayangnya Rara harus kembali ke Jakarta keesokan harinya, karena harus menyelesaikan script Radio bersama Key.
Selesai pelatihan di Mataram, sorenya saya berangkat ke Sumbawa Besar bersama Tri Susatyo (Jambul). Diantar oleh Rohimin dan ikut pula Mbak Desy (salah seorang fasilitator PAUD di Lombok Tengah), kami berangkat dari Praya, Lombok Tengah (tempat tinggal Mbak Desy) sekitar jam 21.00 WITA. Kami langsung menuju pelabuhan Ferry yang menyeberangkan kami ke Pulau Sumbawa. Setelah melalui perjalanan sekitar lima jam, kami tiba di Sumbawa Besar sekitar jam 02.00 WITA, menemui Reni dan Intan Maharani yang telah duluan ke sana. Sayangnya penginapan di Sumbawa penuh, sehingga kami menginap di tempat terpisah. Reni, Intan, Desi dan Jambul ditemani Iwan (sopir) menginap di Hotel Cirebon, sedangkan saya dan Rohimin menginap di Hotel Tambora, Sumbawa Besar. Esoknya setelah ada kamar, saya bergabung ke hotel Cirebon, tempat pelatihan berlangsung, sementara Rohimin ke salah satu resor yang merupakan jaringan kerjanya.
Diiringi oleh cuaca Sumbawa yang panas menyengat, namun lembab, pelatihan di Sumbawa Besar berlangsung tgl 21-22 Desember 2011, sedianya diikuti oleh 120 Tendik se kabupaten Sumbawa. Namun, sampai terakhir ada dua tendik yang berhalangan. Peserta dibagi menjadi dua kelompok besar, masing-masing 60 orang, sebutlah kelas A dan B. Saya menemani Reni di Kelas A, dan Intan didampingi Mbak Desi di kelas B. Sementara Mas Tri Susatyo setia dengan kamera foto dan handycam-nya.
Selesai dua hari pelatihan di Sumbawa Besar, kami langsung menuju ke Dompu, dengan menumpang dua mobil Avanza yang dikemudikan Iwan dan Yanto. Kami berangkat dari Sumbawa Besar sekitar jam 16.00 dan tiba di Dompu jam 21.00, setelah melewati perjalanan panjang yang diwarnai oleh jalan rusak namun disertai pemandangan indah.
Setiba di Dompu, kami menginap di hotel Sama Da pada malam pertama, lalu pindah ke hotel Rinjani. Karena hotel-hotel dio Dompu memiliki kapasitas yang terbatas, peserta pelatihan terpaksa menginap di empat hotel yang berbeda. Tempa pelatihan sendiri dilakukan di ruang pertemuan hotel Rinjani dan aula Sama Kai milik Pemda Dompu. Kali ini Reni didampingi mbak Desi di Rinjani dan saya mendampingi Intan di Sama Kai. Sementara Mas Jambul tetpa setia dengan kamera-kameranya, dan harus bolak-balik ke Sama Kai dan Rinjani. Pelatihan di Dompu ini berlangung tanggal 23-24 Desember 2011.
Dari Dompu, kami ke Bima untuk terbang kembali Ke Mataram. Namun sebelum ke Bima, kami sempat mampir di Pantai Lakey, yang menurut kami tidak terkenal, tetapi setelah saya berselancar di Internet, diketahui ternyata Pantai Lakey merupakan salah satu tempat berselancar terbaik di Dunia. Dari Lakey kami kembali ke Dompu untuk makan malam di Rinjani dan langsung berangkat ke Bima. Setelah melihat-lihat Kota Bima di malam hari dan singgah di Istana Bima di pagi hari, serta beli oleh-oleh di Hotel Mutmainah (atas rekomendasi Prof. Thib Raya), kami kembali ke Mataram tgl 25 Desember 2011.
Sampai di Mataram, kami dijemput oleh Rohimin dan Mbak Desi yang sudah duluan kembali dari Mataram, lalu menginap di Hotel Handika (?). Saya kembali ke Jakarta tgl. 26 Desember 2011. ...
Senin, Juli 04, 2011
Muhammad Zuhdi, Tokoh Penting di Balik Tayangan Serial "Jalan Sesama"
FEATURES
Senin, 04 Juli 2011 , 00:04:00
Jika di Amerika ada boneka-boneka lucu Sesame Street, untuk versi Indonesia-nya, ada Jalan Sesama. Selama tiga tahun terakhir, serial yang diputar di salah satu stasiun televisi swasta itu menjadi alternatif tayangan pendidikan bagi anak-anak. Sosok penting yang memberikan sentuhan edukatif pada Jalan Sesama itu adalah Muhammad Zuhdi.
M. Hilmi Setiawan, Jakarta
PENCINTA serial Jalan Sesama pasti sudah bertanya-tanya, kapan tayangan tersebut kembali diputar. Penikmat serial edukasi itu mungkin sudah kangen kepada Tatan, Jabrik, Momon, dan Putri. Mereka adalah karakter utama serial Jalan Sesama.
Serial edukasi sekaligus menghibur tersebut merupakan hasil kerja sama Sesame Workshop, si pemilik lisensi Sesame Street, dengan PT Creative Indigo Production.
Ditemui di kantor Indigo pada Rabu lalu (22/6), Zuhdi langsung menyapa dengan senyum khas. Pria yang hingga kini aktif menjadi PNS dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, itu tidak menampakkan raut muka lelah, meski bekerja di dua tempat.
Ngobrol ringan sambil ditemani teh hangat, Zuhdi menuturkan bahwa produksi Jalan Sesama sudah masuk tahun atau season keempat. Tiga musim pertama sudah ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta nasional. Penayangan perdana dimulai 2008. Untuk season keempat, produksinya sudah rampung. Tapi, sementara disimpan dulu karena Zuhdi bersama timnya masih mencari kerja sama dengan stasiun televisi yang cocok untuk penayangannya.
Zuhdi menjelaskan, dalam setiap musim, tema utama pendidikan yang ingin disampaikan kepada anak-anak sasaran Jalan Sesama selalu berbeda. Dalam satu musim ada 52 episode. Dia menuturkan, untuk musim pertama dulu, tema utama yang ingin disampaikan adalah tentang keragaman. "Lahir di Indonesia, anak-anak harus mulai diberi wawasan bahwa kita hidup beragam," jelas pria kelahiran Jakarta, 4 Juli 1972, tersebut.
Tahun berikutnya, Zuhdi menjelaskan, tema utama Jalan Sesama adalah pembentukan karakter. Dia menuturkan, tidak perlu memberikan contoh yang muluk-muluk kepada anak untuk menanamkan karakter yang baik dan mulia. Membiasakan anak untuk mengucapkan terima kasih kepada siapa pun, termasuk kepada pembantu rumah tangga, sudah menjadi bagian dari penanaman karakter.
Sementara itu, untuk musim ketiga yang ditayangkan tahun lalu, Jalan Sesama mengambil tema utama kesadaran menjaga lingkungan hidup. Tema tersebut berkaitan dengan isu pemanasan global yang sudah menjadi isu dunia.
Musim keempat yang belum ditayangkan mengambil tema utama inclusiveness atau keterbukaan. Menurut dia, anak-anak terlahir dengan fitrah bisa bergaul dengan siapa pun. ’’Peran keluargalah yang akhirnya membuat anak-anak cenderung bersifat eksklusif,’’ ucap alumnus pesantren Al Masthuriyah, Sukabumi, tersebut.
Dalam setiap episode yang terdiri atas beberapa segmen, kata Zuhdi, pesan-pesan atau muatan pendidikan dibuat sevisual mungkin. Pria yang bergelar doktor dan menekuni disiplin ilmu pendidikan itu menjelaskan, pada fase anak-anak, pesan bisa tersampaikan dengan optimal jika banyak visualisasinya. Sebaliknya, jika disampaikan secara lisan atau pitutur oleh karakter-karakter Jalan Sesama, pesan pendidikan tersebut bakal sulit diserap anak-anak.
Saking bersemangatnya menggarap visualisasi Jalan Sesama untuk menanamkan pesan pendidikan, pernah suatu ketika pesan yang diterima anak-anak salah. Saat itu, jelas Zuhdi, pesan yang ingin disampaikan dalam salah satu segmen Jalan Sesama adalah pelajaran huruf P. Supaya pemirsa anak-anak cepat paham, tim menentukan pisang sebagai contoh benda yang berawalan huruf P.
Nah, visualisasi adegan tersebut berlebihan hingga pesan belajar huruf P itu tidak tersampaikan kepada pemirsa. Saat itu, ceritanya, si Tatan (sosok orang utan betina) menunjukkan sekaligus berteriak: ini pisang! Selanjutnya, Tatan mengupas lalu memakan pisang itu. Kemudian, kulit pisang ia lempar begitu saja. Akibatnya, teman Tatan terpeleset. ’’Saya kira adegan tersebut tidak akan membuat anak-anak berpaling,’’ ucap Zuhdi.
Tapi, setelah dilakukan penelitian terhadap beberapa anak usia 3–6 tahun sebagai sampel, Zuhdi tercengang. Ternyata, anak-anak tidak menyerap pesan belajar huruf P. Sebaliknya, mereka seperti mendapat wejangan bahwa boleh membuang sampah sembarangan. Akhirnya, Zuhdi bersama tim kreatif mengolah kembali adegan tersebut.
Dia menjelaskan, pengerjaan Jalan Sesama berbeda dari serial-serial umumnya. Terutama sinetron. Menurut dia, setelah beberapa episode Jalan Sesama diproduksi, dirinya dan tim langsung mengadakan penelitian atau riset formatif.
Riset tersebut dilakuan untuk menguji apakah pesan-pesan atau muatan pendidikan tersampaikan kepada pemirsa. Selain itu, Zuhdi menguji seberapa kuat tayangan tersebut. ’’Intinya, pertanyaan anak itu suka atau tidak harus terjawab. Jika sudah tidak suka, percuma ditayangkan,’’ tegas suami Sri Wijayaningrum tersebut.
Secara teknis, riset itu melibatkan 20–30 anak dari kelas ekonomi yang beragam. Mereka ditempatkan dalam satu ruangan untuk menonton salah satu episode Jalan Sesama. Dalam ruangan tersebut, anak-anak benar-benar bebas. Tidak ada intervensi dari orang tua atau guru. Mereka bebas, apakah mau menonton Jalan Sesama atau tidak. Menurut Zuhdi, jika anak-anak tertarik, berarti tayangan sudah baik. Jika pesan-pesan yang ingin disampaikan sudah dipahami anak, tayangan itu pun siap ditayangkan di televisi.
Zuhdi lantas menceritakan, awal keterlibatan dirinya dengan produksi Jalan Sesama dimulai pada pengujung 2006. Saat itu, dia sedang merampungkan kuliah doktoral di McGill University, Kanada. Dia mendapat informasi bahwa Sesame Street bersiap mengembangkan sayap di Indonesia. ’’Saat itu, ada kesempatan bagi para ahli pendidikan,’’ kenang Zuhdi. Dia pun mengirimkan lamaran dan akhirnya diterima.
Sebelum memulai proses produksi untuk musim pertama, kata Zuhdi, dirinya sempat melakukan riset di beberapa pulau besar di Indonesia. Riset itu diperlukan untuk mengetahui potensi serta kebiasaan sasaran tayangan Jalan Sesama.
Selain itu, riset tersebut digunakan Zuhdi untuk lebih menghidupkan beberapa karakter Jalan Sesama. Contohnya, untuk menghidupkan karakter Tatan, si orang utan, dia dan timnya meluncur ke Sumatera guna mengetahui langsung perilaku orang utan.
Pascariset lapangan tersebut, Zuhdi menggali ilmu sebanyak-banyaknya dari beberapa kali seminar. Salah satu seminar itu diikuti unsur guru, ahli pendidikan, pemerhati pendidikan, orang tua siswa, dan unsur-unsur lain. Tujuan seminar tersebut, Zuhdi mendapat masukan ide-ide dan gagasan pesan pendidikan yang bakal ditanamkan di Jalan Sesama.
Setelah semua terkumpul, produksi season pertama Jalan Sesama dimulai pada 2007 dan kemudian ditayangkan pada 2008. Hingga tiga tahun penayangan, Zuhdi menyebutkan bahwa sambutan pemirsa cukup hangat. Saat ini, kata dia, ketika Jalan Sesama tidak lagi nongol di layar kaca, banyak fans yang menyatakan rindu dan bertanya kapan ditayangkan lagi. ’’Unek-unek itu juga terekam di Facebook Jalan Sesama,’’ jelas bapak dua anak tersebut.
Terkait dengan belum ditayangkannya season keempat Jalan Sesama, Zuhdi menjelaskan, hal itu sudah menjadi PR bagi dirinya dan tim Indigo. Dia optimistis, memasuki paro kedua tahun ini, ada stasiun televisi yang bersedia membeli hak tayang Jalan Sesama.
Keyakinan Zuhdi tersebut didasari sambutan pihak-pihak lain terhadap Jalan Sesama. Selama tayang dalam tempo tiga tahun itu, ada beberapa penghargaan yang berhasil disabet Jalan Sesama. Di antaranya, piala emas dalam World Media Festival di Jerman dan Cine Golden Eagle Award di AS untuk kategori children’s entertainment. Di dalam negeri, penghargaan pernah diberikan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) sebagai tayangan pendidikan.
Untuk bisa segera tayang, Zuhdi terus menjajaki beberapa stasiun televisi. Selain itu, berusaha meminta pertimbangan ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Upaya tersebut dilakukan supaya lebih meyakinkan bahwa Jalan Sesama adalah program edukasi sekaligus menghibur untuk anak-anak.
Usaha tersebut beradu kuat dengan kecenderungan televisi yang lebih mengutamakan penayangan acara-acara bersifat komersial. Celakanya, sulit menemukan muatan-muatan pendidikan, terutama untuk anak-anak, dalam tayangan yang cenderung bersifat komersial tersebut.
Selain bersaing dengan tayangan lain, Zuhdi menegaskan bahwa tim Jalan Sesama butuh sponsor. Selama ini, proses produksi masih ditopang donatur dari AS.
Dia menjelaskan, untungnya, tim produksi bisa menghemat. Dengan demikian, anggaran dari donatur yang dialokasikan untuk tiga musim bisa ditekan. Anggaran tersebut masih cukup untuk proses produksi Jalan Sesama satu hingga dua tahun ke depan. (c5/kum)
Senin, 04 Juli 2011 , 00:04:00
Jika di Amerika ada boneka-boneka lucu Sesame Street, untuk versi Indonesia-nya, ada Jalan Sesama. Selama tiga tahun terakhir, serial yang diputar di salah satu stasiun televisi swasta itu menjadi alternatif tayangan pendidikan bagi anak-anak. Sosok penting yang memberikan sentuhan edukatif pada Jalan Sesama itu adalah Muhammad Zuhdi.
M. Hilmi Setiawan, Jakarta
PENCINTA serial Jalan Sesama pasti sudah bertanya-tanya, kapan tayangan tersebut kembali diputar. Penikmat serial edukasi itu mungkin sudah kangen kepada Tatan, Jabrik, Momon, dan Putri. Mereka adalah karakter utama serial Jalan Sesama.
Serial edukasi sekaligus menghibur tersebut merupakan hasil kerja sama Sesame Workshop, si pemilik lisensi Sesame Street, dengan PT Creative Indigo Production.
Ditemui di kantor Indigo pada Rabu lalu (22/6), Zuhdi langsung menyapa dengan senyum khas. Pria yang hingga kini aktif menjadi PNS dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, itu tidak menampakkan raut muka lelah, meski bekerja di dua tempat.
Ngobrol ringan sambil ditemani teh hangat, Zuhdi menuturkan bahwa produksi Jalan Sesama sudah masuk tahun atau season keempat. Tiga musim pertama sudah ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta nasional. Penayangan perdana dimulai 2008. Untuk season keempat, produksinya sudah rampung. Tapi, sementara disimpan dulu karena Zuhdi bersama timnya masih mencari kerja sama dengan stasiun televisi yang cocok untuk penayangannya.
Zuhdi menjelaskan, dalam setiap musim, tema utama pendidikan yang ingin disampaikan kepada anak-anak sasaran Jalan Sesama selalu berbeda. Dalam satu musim ada 52 episode. Dia menuturkan, untuk musim pertama dulu, tema utama yang ingin disampaikan adalah tentang keragaman. "Lahir di Indonesia, anak-anak harus mulai diberi wawasan bahwa kita hidup beragam," jelas pria kelahiran Jakarta, 4 Juli 1972, tersebut.
Tahun berikutnya, Zuhdi menjelaskan, tema utama Jalan Sesama adalah pembentukan karakter. Dia menuturkan, tidak perlu memberikan contoh yang muluk-muluk kepada anak untuk menanamkan karakter yang baik dan mulia. Membiasakan anak untuk mengucapkan terima kasih kepada siapa pun, termasuk kepada pembantu rumah tangga, sudah menjadi bagian dari penanaman karakter.
Sementara itu, untuk musim ketiga yang ditayangkan tahun lalu, Jalan Sesama mengambil tema utama kesadaran menjaga lingkungan hidup. Tema tersebut berkaitan dengan isu pemanasan global yang sudah menjadi isu dunia.
Musim keempat yang belum ditayangkan mengambil tema utama inclusiveness atau keterbukaan. Menurut dia, anak-anak terlahir dengan fitrah bisa bergaul dengan siapa pun. ’’Peran keluargalah yang akhirnya membuat anak-anak cenderung bersifat eksklusif,’’ ucap alumnus pesantren Al Masthuriyah, Sukabumi, tersebut.
Dalam setiap episode yang terdiri atas beberapa segmen, kata Zuhdi, pesan-pesan atau muatan pendidikan dibuat sevisual mungkin. Pria yang bergelar doktor dan menekuni disiplin ilmu pendidikan itu menjelaskan, pada fase anak-anak, pesan bisa tersampaikan dengan optimal jika banyak visualisasinya. Sebaliknya, jika disampaikan secara lisan atau pitutur oleh karakter-karakter Jalan Sesama, pesan pendidikan tersebut bakal sulit diserap anak-anak.
Saking bersemangatnya menggarap visualisasi Jalan Sesama untuk menanamkan pesan pendidikan, pernah suatu ketika pesan yang diterima anak-anak salah. Saat itu, jelas Zuhdi, pesan yang ingin disampaikan dalam salah satu segmen Jalan Sesama adalah pelajaran huruf P. Supaya pemirsa anak-anak cepat paham, tim menentukan pisang sebagai contoh benda yang berawalan huruf P.
Nah, visualisasi adegan tersebut berlebihan hingga pesan belajar huruf P itu tidak tersampaikan kepada pemirsa. Saat itu, ceritanya, si Tatan (sosok orang utan betina) menunjukkan sekaligus berteriak: ini pisang! Selanjutnya, Tatan mengupas lalu memakan pisang itu. Kemudian, kulit pisang ia lempar begitu saja. Akibatnya, teman Tatan terpeleset. ’’Saya kira adegan tersebut tidak akan membuat anak-anak berpaling,’’ ucap Zuhdi.
Tapi, setelah dilakukan penelitian terhadap beberapa anak usia 3–6 tahun sebagai sampel, Zuhdi tercengang. Ternyata, anak-anak tidak menyerap pesan belajar huruf P. Sebaliknya, mereka seperti mendapat wejangan bahwa boleh membuang sampah sembarangan. Akhirnya, Zuhdi bersama tim kreatif mengolah kembali adegan tersebut.
Dia menjelaskan, pengerjaan Jalan Sesama berbeda dari serial-serial umumnya. Terutama sinetron. Menurut dia, setelah beberapa episode Jalan Sesama diproduksi, dirinya dan tim langsung mengadakan penelitian atau riset formatif.
Riset tersebut dilakuan untuk menguji apakah pesan-pesan atau muatan pendidikan tersampaikan kepada pemirsa. Selain itu, Zuhdi menguji seberapa kuat tayangan tersebut. ’’Intinya, pertanyaan anak itu suka atau tidak harus terjawab. Jika sudah tidak suka, percuma ditayangkan,’’ tegas suami Sri Wijayaningrum tersebut.
Secara teknis, riset itu melibatkan 20–30 anak dari kelas ekonomi yang beragam. Mereka ditempatkan dalam satu ruangan untuk menonton salah satu episode Jalan Sesama. Dalam ruangan tersebut, anak-anak benar-benar bebas. Tidak ada intervensi dari orang tua atau guru. Mereka bebas, apakah mau menonton Jalan Sesama atau tidak. Menurut Zuhdi, jika anak-anak tertarik, berarti tayangan sudah baik. Jika pesan-pesan yang ingin disampaikan sudah dipahami anak, tayangan itu pun siap ditayangkan di televisi.
Zuhdi lantas menceritakan, awal keterlibatan dirinya dengan produksi Jalan Sesama dimulai pada pengujung 2006. Saat itu, dia sedang merampungkan kuliah doktoral di McGill University, Kanada. Dia mendapat informasi bahwa Sesame Street bersiap mengembangkan sayap di Indonesia. ’’Saat itu, ada kesempatan bagi para ahli pendidikan,’’ kenang Zuhdi. Dia pun mengirimkan lamaran dan akhirnya diterima.
Sebelum memulai proses produksi untuk musim pertama, kata Zuhdi, dirinya sempat melakukan riset di beberapa pulau besar di Indonesia. Riset itu diperlukan untuk mengetahui potensi serta kebiasaan sasaran tayangan Jalan Sesama.
Selain itu, riset tersebut digunakan Zuhdi untuk lebih menghidupkan beberapa karakter Jalan Sesama. Contohnya, untuk menghidupkan karakter Tatan, si orang utan, dia dan timnya meluncur ke Sumatera guna mengetahui langsung perilaku orang utan.
Pascariset lapangan tersebut, Zuhdi menggali ilmu sebanyak-banyaknya dari beberapa kali seminar. Salah satu seminar itu diikuti unsur guru, ahli pendidikan, pemerhati pendidikan, orang tua siswa, dan unsur-unsur lain. Tujuan seminar tersebut, Zuhdi mendapat masukan ide-ide dan gagasan pesan pendidikan yang bakal ditanamkan di Jalan Sesama.
Setelah semua terkumpul, produksi season pertama Jalan Sesama dimulai pada 2007 dan kemudian ditayangkan pada 2008. Hingga tiga tahun penayangan, Zuhdi menyebutkan bahwa sambutan pemirsa cukup hangat. Saat ini, kata dia, ketika Jalan Sesama tidak lagi nongol di layar kaca, banyak fans yang menyatakan rindu dan bertanya kapan ditayangkan lagi. ’’Unek-unek itu juga terekam di Facebook Jalan Sesama,’’ jelas bapak dua anak tersebut.
Terkait dengan belum ditayangkannya season keempat Jalan Sesama, Zuhdi menjelaskan, hal itu sudah menjadi PR bagi dirinya dan tim Indigo. Dia optimistis, memasuki paro kedua tahun ini, ada stasiun televisi yang bersedia membeli hak tayang Jalan Sesama.
Keyakinan Zuhdi tersebut didasari sambutan pihak-pihak lain terhadap Jalan Sesama. Selama tayang dalam tempo tiga tahun itu, ada beberapa penghargaan yang berhasil disabet Jalan Sesama. Di antaranya, piala emas dalam World Media Festival di Jerman dan Cine Golden Eagle Award di AS untuk kategori children’s entertainment. Di dalam negeri, penghargaan pernah diberikan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) sebagai tayangan pendidikan.
Untuk bisa segera tayang, Zuhdi terus menjajaki beberapa stasiun televisi. Selain itu, berusaha meminta pertimbangan ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Upaya tersebut dilakukan supaya lebih meyakinkan bahwa Jalan Sesama adalah program edukasi sekaligus menghibur untuk anak-anak.
Usaha tersebut beradu kuat dengan kecenderungan televisi yang lebih mengutamakan penayangan acara-acara bersifat komersial. Celakanya, sulit menemukan muatan-muatan pendidikan, terutama untuk anak-anak, dalam tayangan yang cenderung bersifat komersial tersebut.
Selain bersaing dengan tayangan lain, Zuhdi menegaskan bahwa tim Jalan Sesama butuh sponsor. Selama ini, proses produksi masih ditopang donatur dari AS.
Dia menjelaskan, untungnya, tim produksi bisa menghemat. Dengan demikian, anggaran dari donatur yang dialokasikan untuk tiga musim bisa ditekan. Anggaran tersebut masih cukup untuk proses produksi Jalan Sesama satu hingga dua tahun ke depan. (c5/kum)
Kamis, Juni 30, 2011
Pemenang Penghargaan Australian Alumni Award Winners 2011 Diumumkan
Siaran Media
11 Juni 2011
Duta Besar Australia untuk Indonesia, Greg Moriarty, mengucapkan selamat kepada para pemenang penghargaan Australian Alumni Awards keempat yang diumumkan pada 11 Juni 2011 di Jakarta.
“Saya gembira merayakan penghargaan Australian Alumni Awards keempat, suatu kegiatan yang mengakui prestasi luar biasa oleh sekelompok warga Indonesia yang menonjol dalam bidang pilihan mereka. Ini merupakan pengalaman yang mengesankan bagi kami untuk menyaksikan begitu banyak warga Indonesia yang kembali dari studi mereka di Australia dan membuat sumbangsih yang signifikan bagi kemajuan Indonesia,” tutur Dubes Moriarty.
Para pemenang pada 2011, yang diputuskan oleh panel independen sesama alumni, adalah:
Australian Alumni Award for Excellence in Education (Keunggulan dalam Pendidikan): Dr. Muhammad Zuhdi
Australian Alumni Award for Research and Innovation (Penelitian dan Inovasi): Professor Endang Sukara
Australian Alumni Award for Sustainable Economic and Social Development (Pembangunan Berkelanjutan dan Ekonomi): Dr. Ahmad Agus Setiawan
Australian Alumni Award for Culture and the Arts (Budaya dan Seni): Ibu Kestity A. Pringgoharjono
Australian Alumni Award for Journalism and Media (Jurnalisme dan Media): Ibu Valerina Daniel
Australian Alumni Award for Excellence in National Defence (Keunggulan dalam Pertahanan Nasional): Marsdya TNI Eris Herryanto
Australian Alumni Award for Excellence in National Security (Keunggulan dalam Keamanan Nasional): Laksdya TNI Y. Didik Heru Purnomo
Australian Alumni Award for Entrepreneurship (Kewirausahaan): Ibu Ligwina Poerwo-Hananto
Australian Alumni Award for Business Leadership (Kepemimpinan Bisnis): Ibu Amalia Fahmi
Outstanding Young Alumni Award (Alumni Muda Yang Menonjol): Ibu Kamila Andini
Penghargaan Distinguished Alumni Award diberikan kepada Wakil Presiden Prof. Dr. Boediono dan Wakil Menteri Perdagangan Bapak Mahendra Siregar
Penghargaan Australian Alumni Awards mengakui sumbangsih terhadap kemajuan Indonesia yang dilakukan oleh puluhan ribu warga Indonesia yang telah menuntut ilmu di sekolah, universitas dan akademi teknik Australia. Lebih dari 300 orang menghadiri acara tersebut dengan pertunjukan oleh Nengah & Nanda.
11 Juni 2011
Duta Besar Australia untuk Indonesia, Greg Moriarty, mengucapkan selamat kepada para pemenang penghargaan Australian Alumni Awards keempat yang diumumkan pada 11 Juni 2011 di Jakarta.
“Saya gembira merayakan penghargaan Australian Alumni Awards keempat, suatu kegiatan yang mengakui prestasi luar biasa oleh sekelompok warga Indonesia yang menonjol dalam bidang pilihan mereka. Ini merupakan pengalaman yang mengesankan bagi kami untuk menyaksikan begitu banyak warga Indonesia yang kembali dari studi mereka di Australia dan membuat sumbangsih yang signifikan bagi kemajuan Indonesia,” tutur Dubes Moriarty.
Para pemenang pada 2011, yang diputuskan oleh panel independen sesama alumni, adalah:
Australian Alumni Award for Excellence in Education (Keunggulan dalam Pendidikan): Dr. Muhammad Zuhdi
Australian Alumni Award for Research and Innovation (Penelitian dan Inovasi): Professor Endang Sukara
Australian Alumni Award for Sustainable Economic and Social Development (Pembangunan Berkelanjutan dan Ekonomi): Dr. Ahmad Agus Setiawan
Australian Alumni Award for Culture and the Arts (Budaya dan Seni): Ibu Kestity A. Pringgoharjono
Australian Alumni Award for Journalism and Media (Jurnalisme dan Media): Ibu Valerina Daniel
Australian Alumni Award for Excellence in National Defence (Keunggulan dalam Pertahanan Nasional): Marsdya TNI Eris Herryanto
Australian Alumni Award for Excellence in National Security (Keunggulan dalam Keamanan Nasional): Laksdya TNI Y. Didik Heru Purnomo
Australian Alumni Award for Entrepreneurship (Kewirausahaan): Ibu Ligwina Poerwo-Hananto
Australian Alumni Award for Business Leadership (Kepemimpinan Bisnis): Ibu Amalia Fahmi
Outstanding Young Alumni Award (Alumni Muda Yang Menonjol): Ibu Kamila Andini
Penghargaan Distinguished Alumni Award diberikan kepada Wakil Presiden Prof. Dr. Boediono dan Wakil Menteri Perdagangan Bapak Mahendra Siregar
Penghargaan Australian Alumni Awards mengakui sumbangsih terhadap kemajuan Indonesia yang dilakukan oleh puluhan ribu warga Indonesia yang telah menuntut ilmu di sekolah, universitas dan akademi teknik Australia. Lebih dari 300 orang menghadiri acara tersebut dengan pertunjukan oleh Nengah & Nanda.
Penghargaan buat Pencetus "Jalan Sesama"
Indra | Tri Wahono | Minggu, 12 Juni 2011 | 08:29 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Muhammad Zuhdi berhasil meraih penghargaan dari Pemerintah Australia dalam Australian Alumni Award for Excellence in Education 2011. Ia telah bertahun-tahun menceburkan diri di dunia pendidikan, baik sebagai dosen di Fakultas Ilmu Tarbiyah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah maaupun sebagai praktisi pendidikan anak usia dini dengan memproduksi film Jalan Sesama (Sesame Street versi Indonesia).
Kepada Kompas.com, pria ramah ini bercerita tentang pengalamannya menghadapi tantangan ketika memproduksi film tersebut. "Saya berkecimpung di dua pendidikan yang secara jenjang memiliki perbedaan. Pertama saya adalah dosen di Fakultas Ilmu Tarbiyah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, saya mengajar para calon guru. Selain itu, saya juga berkecimpung di dunia PAUD (pendidikan anak usia dini), saya terlibat dalam produksi film Jalan Sesama sejak tahun 2006. Tugas saya dan tim (team education and research) adalah meramu dan merumuskan pesan pendidikan yang akan dimasukkan ke dalam film tersebut. Jadi selain menghibur, ada pesan pendidikannya juga," tutur Zuhdi, sesaat setelah menerima Australian Alumni Award, Sabtu (11/6/2011) malam di Ballroom Hotel Four Season, Jakarta.
"Tantangan utamanya adalah bagaimana mengemas sebuah program yang menarik, tetapi juga mendidik," ujarnya. Atas segala upaya kerasnya, film Jalan Sesama berhasil meraih beberapa penghargaan. Penghargaan tersebut antara lain Golden Award dari World Media Festival di Jerman pada tahun 2009 dan penghargaan dari Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2010 dengan kategori Program yang Peduli terhadap Pendidikan Anak-anak.
"Yang menarik, ada penelitian yang dilakukan oleh Dr Dina Borzekowsky dari John Hopkins University, Amerika Serikat. Ia melakukan penelitian di beberapa daerah di Banten, mereka melihat impact dari film Jalan Sesama ini terhadap anak-anak dan terbukti cukup signifikan. Jadi materi yang diberikan melalui film ini cukup berpengaruh untuk anak-anak meskipun mereka tidak pergi ke TK. Mereka, anak-anak yang berasal dari golongan kurang mampu, dapat mengambil ilmu yang dibawa oleh film ini," ujarnya.
Meski begitu, Zuhdi mengakui banyak sekali kendala dalam memproduksi dan mengembangkan film Jalan Sesama. salah satunya adalah keterbatasan teknologi dan sumber daya. Itulah alasan yang mendorongnya terus berdiskusi dengan berbagai pihak demi memenuhi hasrat memproduksi film anak-anak yang sarat dengan muatan pendidikan dan potensi lokal.
"Memang kita masih kekurangan teknologi dan kepakaran, tidak banyak yang memproduksi film seperti ini. Karena itu, tidak ada salahnya kita membuka diri dengan mereka yang sudah berpengalaman karena Sesame Street sudah ada sejak tahun 1960-an. Film ini tidak hanya berhasil di Amerika saja, tetapi juga di banyak negara lain," katanya.
Jalan Sesama memang adaptasi dari Sesame Street. Dalam program tersebut, Sesame Street International bekerjasama dengan produser lokal untuk menciptakan program TV untuk anak-anak yang bernuansa lokal. Walaupun ilmunya dari sana, kontennya tetap disesuaikan dengan kebutuhan anak-anak di Indonesia.
"Untuk ide cerita, terkadang kami berdiskusi juga dengan para pakar, dan semua penulis ceritanya adalah murni orang Indonesia. Kemudian pesan-pesan pendidikannya kami sesuaikan dengan kurikulum dan kami juga kerap mengundang pakar-pakar pendidikan, khususnya PAUD," ungkapnya.
JAKARTA, KOMPAS.com — Muhammad Zuhdi berhasil meraih penghargaan dari Pemerintah Australia dalam Australian Alumni Award for Excellence in Education 2011. Ia telah bertahun-tahun menceburkan diri di dunia pendidikan, baik sebagai dosen di Fakultas Ilmu Tarbiyah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah maaupun sebagai praktisi pendidikan anak usia dini dengan memproduksi film Jalan Sesama (Sesame Street versi Indonesia).
Kepada Kompas.com, pria ramah ini bercerita tentang pengalamannya menghadapi tantangan ketika memproduksi film tersebut. "Saya berkecimpung di dua pendidikan yang secara jenjang memiliki perbedaan. Pertama saya adalah dosen di Fakultas Ilmu Tarbiyah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, saya mengajar para calon guru. Selain itu, saya juga berkecimpung di dunia PAUD (pendidikan anak usia dini), saya terlibat dalam produksi film Jalan Sesama sejak tahun 2006. Tugas saya dan tim (team education and research) adalah meramu dan merumuskan pesan pendidikan yang akan dimasukkan ke dalam film tersebut. Jadi selain menghibur, ada pesan pendidikannya juga," tutur Zuhdi, sesaat setelah menerima Australian Alumni Award, Sabtu (11/6/2011) malam di Ballroom Hotel Four Season, Jakarta.
"Tantangan utamanya adalah bagaimana mengemas sebuah program yang menarik, tetapi juga mendidik," ujarnya. Atas segala upaya kerasnya, film Jalan Sesama berhasil meraih beberapa penghargaan. Penghargaan tersebut antara lain Golden Award dari World Media Festival di Jerman pada tahun 2009 dan penghargaan dari Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2010 dengan kategori Program yang Peduli terhadap Pendidikan Anak-anak.
"Yang menarik, ada penelitian yang dilakukan oleh Dr Dina Borzekowsky dari John Hopkins University, Amerika Serikat. Ia melakukan penelitian di beberapa daerah di Banten, mereka melihat impact dari film Jalan Sesama ini terhadap anak-anak dan terbukti cukup signifikan. Jadi materi yang diberikan melalui film ini cukup berpengaruh untuk anak-anak meskipun mereka tidak pergi ke TK. Mereka, anak-anak yang berasal dari golongan kurang mampu, dapat mengambil ilmu yang dibawa oleh film ini," ujarnya.
Meski begitu, Zuhdi mengakui banyak sekali kendala dalam memproduksi dan mengembangkan film Jalan Sesama. salah satunya adalah keterbatasan teknologi dan sumber daya. Itulah alasan yang mendorongnya terus berdiskusi dengan berbagai pihak demi memenuhi hasrat memproduksi film anak-anak yang sarat dengan muatan pendidikan dan potensi lokal.
"Memang kita masih kekurangan teknologi dan kepakaran, tidak banyak yang memproduksi film seperti ini. Karena itu, tidak ada salahnya kita membuka diri dengan mereka yang sudah berpengalaman karena Sesame Street sudah ada sejak tahun 1960-an. Film ini tidak hanya berhasil di Amerika saja, tetapi juga di banyak negara lain," katanya.
Jalan Sesama memang adaptasi dari Sesame Street. Dalam program tersebut, Sesame Street International bekerjasama dengan produser lokal untuk menciptakan program TV untuk anak-anak yang bernuansa lokal. Walaupun ilmunya dari sana, kontennya tetap disesuaikan dengan kebutuhan anak-anak di Indonesia.
"Untuk ide cerita, terkadang kami berdiskusi juga dengan para pakar, dan semua penulis ceritanya adalah murni orang Indonesia. Kemudian pesan-pesan pendidikannya kami sesuaikan dengan kurikulum dan kami juga kerap mengundang pakar-pakar pendidikan, khususnya PAUD," ungkapnya.
Zuhdi Raih Penghargaan Excellence in Education
Australian Alumni Award 2011
Indra | A. Wisnubrata | Minggu, 12 Juni 2011 | 00:58 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Bahasa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Muhammad Zuhdi, mendapatkan penghargaan Excellence in Education dalam acara Australian Alumni Award 2011.
Penghargaan tersebut diserahkan langsung oleh Duta Besar Australia untuk Indonesia, Greg Moriarty, Sabtu (11/6/2011) malam, di Ballroom Hotel Four Seasons, Jakarta. "Ini suatu kegiatan yang mengakui prestasi luar biasa oleh sekelompok warga Indonesia yang menonjol dalam bidang pilihan mereka. Merupakan pengalaman yang mengesankan bagi kami untuk menyaksikan begitu banyak warga Indonesia yang kembali dari studi mereka di Australia dan memberikan sumbangsih yang signifikan bagi kemajuan Indonesia," kata Greg saat memberikan sambutan.
Dalam kesempatan terpisah, Muhammad Zuhdi mengaku sangat terkejut menerima penghargaan tersebut. Ia berharap, penghargaan yang diterimanya dapat membuat dirinya lebih tertantang untuk memberikan sumbangsih yang lebih signifikan terhadap dunia pendidikan di Indonesia.
"Tentu saya senang, tetapi lebih kepada surprise. Penghargaan ini merupakan tantangan, mudah-mudahan ke depan saya bisa berpikir lebih kreatif dan menawarkan sesuatu yang lebih produktif lagi," ujar pria yang juga berkecimpung di dunia pendidikan anak usia dini (PAUD) dengan memproduksi film Jalan Sesama (Sesame Street versi Indonesia) ini.
Australian Alumni Award adalah sebuah penghargaan yang diberikan oleh Pemerintah Australia atas sumbangan signifikan dari warga Indonesia yang telah menuntut ilmu di sekolah, universitas, dan akademi teknik Australia ketika mereka kembali ke Tanah Air. Semua nominasi dalam penghargaan ini sepenuhnya ditentukan oleh masyarakat melalui www.ozmate.org dan pemenangnya diputuskan oleh panel independen sesama alumni yang akuntabel.
"Rasanya film itulah (Jalan Sesama) yang memberikan nilai lebih kepada saya. Dan, saya kira Pemerintah Australia sangat menghargai potensi lokal sehingga bukan lagi sekadar mendapatkan ilmu lalu ditelan mentah-mentah untuk diterapkan di sini, tapi bagaimana mempertimbangkan muatan lokal untuk disertakan dalam film ini. Mungkin itulah salah satu pertimbangan mereka (tim panelis) memilih saya sebagai penerima penghargaan ini," ujar Zuhdi.
Indra | A. Wisnubrata | Minggu, 12 Juni 2011 | 00:58 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Bahasa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Muhammad Zuhdi, mendapatkan penghargaan Excellence in Education dalam acara Australian Alumni Award 2011.
Penghargaan tersebut diserahkan langsung oleh Duta Besar Australia untuk Indonesia, Greg Moriarty, Sabtu (11/6/2011) malam, di Ballroom Hotel Four Seasons, Jakarta. "Ini suatu kegiatan yang mengakui prestasi luar biasa oleh sekelompok warga Indonesia yang menonjol dalam bidang pilihan mereka. Merupakan pengalaman yang mengesankan bagi kami untuk menyaksikan begitu banyak warga Indonesia yang kembali dari studi mereka di Australia dan memberikan sumbangsih yang signifikan bagi kemajuan Indonesia," kata Greg saat memberikan sambutan.
Dalam kesempatan terpisah, Muhammad Zuhdi mengaku sangat terkejut menerima penghargaan tersebut. Ia berharap, penghargaan yang diterimanya dapat membuat dirinya lebih tertantang untuk memberikan sumbangsih yang lebih signifikan terhadap dunia pendidikan di Indonesia.
"Tentu saya senang, tetapi lebih kepada surprise. Penghargaan ini merupakan tantangan, mudah-mudahan ke depan saya bisa berpikir lebih kreatif dan menawarkan sesuatu yang lebih produktif lagi," ujar pria yang juga berkecimpung di dunia pendidikan anak usia dini (PAUD) dengan memproduksi film Jalan Sesama (Sesame Street versi Indonesia) ini.
Australian Alumni Award adalah sebuah penghargaan yang diberikan oleh Pemerintah Australia atas sumbangan signifikan dari warga Indonesia yang telah menuntut ilmu di sekolah, universitas, dan akademi teknik Australia ketika mereka kembali ke Tanah Air. Semua nominasi dalam penghargaan ini sepenuhnya ditentukan oleh masyarakat melalui www.ozmate.org dan pemenangnya diputuskan oleh panel independen sesama alumni yang akuntabel.
"Rasanya film itulah (Jalan Sesama) yang memberikan nilai lebih kepada saya. Dan, saya kira Pemerintah Australia sangat menghargai potensi lokal sehingga bukan lagi sekadar mendapatkan ilmu lalu ditelan mentah-mentah untuk diterapkan di sini, tapi bagaimana mempertimbangkan muatan lokal untuk disertakan dalam film ini. Mungkin itulah salah satu pertimbangan mereka (tim panelis) memilih saya sebagai penerima penghargaan ini," ujar Zuhdi.
Selasa, Juni 14, 2011
#Indonesia Jujur: Ny. Siami benar, tapi di mana kesalahan masyarakat?
Kasus yang menimpa Ibu Siami dan putranya Al membuka mata kita bahwa ada persoalan serius dengan dunia pendidikan kita, dan itu adalah cerminan masyarakat kita yang konon sedang sakit.
Al adalah putra Ibu Siami yang bersekolah di SDN Gadel 2 Tandes, Surabaya. Menurut beberapa sumber, Al adalah seorang anak cerdas yang membanggakan orangtua dan gurunya. Pada saat Ujian Nasional beberapa waktu lalu, Al mendapatkan "tugas mulia" dari sekolahnya untuk menbantu teman-teman sekelasnya lulus ujian nasional. Tugasnya sederhana, cukup memberikan jawaban atas soal-soal UN kepada teman-temannya di saat ujian, maka diyakini mereka akan lulus, karena para guru yakin bahwa Al pasti mampu menjawab soal-soal ujian dengan baik.
Ujian telah selesai, dan Al telah melaksanakan tugas dengan baik. Tetapi ia terngiang-ngiang dengan nasehat ibunya untuk berlaku jujur. Dia sadar bahwa memberikan jawaban ke teman-teman saat ujian adalah perilaku dan tidak jujur. I adihantui rasa bersalah telah melakukan hal yang dilarang oleh sang ibu. Maka ia pun mengadu kepada ibunya, bahwa ia telah diminta untuk berlaku tidak jujur, dan ia melakukannya.
Sebagai orang tua yang tahu akan pentingnya integritas diri, jiwa Ny. Siami terusik. Ia tidak rela sekolah yang mestinya menjadi benteng kejujuran justru menjadi tempat penyemaian benih-benih penghancur moral dengan praktek yang nyata. Ia pun melayangkan protes ke sekolah, bahkan lebih dari itu, ia juga mengadu ke dinas pendidikan. Hasilnya, dia menang. Dinas pendidikan langsung mengambil tindakan kepada Kepala sekolah dan guru yang terlibat dalam kasus Al.
Ny. Siami boleh merasa bangga bahwa pihak yang berwenang telah mendengar suara hatinya, tetapi ia tentu tidak menyangkan bahwa perbuatannya justru dianggap merugikan oleh sebagian masyarakat di mana dia tinggal. Mayoritas masyarakat justru menganggap apa yang dilakukan Ny. Siami adalah tindakan yang salah, karena hanya akan merugikan anak-anak mereka. Apalah jadinya jika kemudian ujian nasional harus diulang dan anak-anak mereka menjadi tidak lulus. Ny. Siami dianggap membuat keresahan di tengah-tengah masyarakat, karena akibat perbuatannya orangtua dan anak-anak yang ikut ujian nasional menjadi resah. Akibatnya ia diusir dari tempat tinggalnya...
Kenapa ini terjadi? Apakah masyarakat kita sudah mengabaikan nilai-nilai kejujuran dan tidak mementingkan lagi integritas diri?
Kita yang berada di luar kasus itu, mungkin secara mudah mengatakan bahwa Ny. Siami benar dan masyarakat salah. Ny. Siami telah memperjuangkan kejujuran dan berhasil menunjukkan bahwa kejujuran masih dihargai oleh birokrasi pendidikan. Sementara masyarakat yang mengukum Ny. Siami dan keluarganya adalah masyarakat yang tidak menghargai kejujuran.
Sesederhana itu kah? Benarkah masyarakat tersebut sudah tidak menghargai kejujuran? Saya yakin jawabannya tidak sesederhana itu. Mungkin kita akan melakukan hal yang sama jika berada di tengah-tengah masyarakat itu.
Saya melihat ada persoalan besar yang dialami masyarakat, sehingga mengabaikan pentingnya nilai-nilai kejujuran:
1. Tidak Percaya Sistem
Saya yakin jika masyarakat ditanya satu persatu, bahkan secara kolektif, pasti mereka meyakini bahwa kejujuran itu baik. Mungkin hati kecil mereka mengakui apa yang dilakukan Ny. Siami benar, tetapi persoalan yang mereka hadapi adalah anak-anak mereka HARUS lulus ujian nasional agar bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Memang pemerintah telah menjelaskan bahwa hasil ujian tidak menentukan kelulusan, tapi apakah mereka percaya?
Di sinilah masalahnya, masyarakat tidak percaya bahwa sistem berjalan dengan baik. Toh mereka tidak buta dan tuli ketika media masa cetak dan elektronik memberitakan berbagai kecurangan saat Ujian Nasional. Mereka bahkan menyaksikan dan mengalami sendiri bahwa banyak sekolah melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh sekolahnya Al, tapi tidak apa-apa, yang penting siswa lulus.
Kalau mereka harus melakukannya dengan jujur dan hasilnya anak-anak tidak lulus, sementara ada sekolah lain (ini asumsi saja) yang melakukan pelanggaran tetapi tidak dihukum, di mana letak keadilan? Maka mereka beranggapan bahwa hal yang dilakukan sekolah adalah lumrah, karena hal itu terjadi dan diberlakukan dibanyak tempat. Sama lumrahnya dengan memberi uang kepada polisi ketika mau ditilang atau memberi upeti kepada pejabat ketika mendapat proyek. Salah? iya. Tetapi toh harus dilakukan, dan masih terus berlangungsung, meskipun dinyatakan melanggar. Sebab kalau tidak begitu anak-anak yang jadi korban...
Singkatnya, masyarakat merasa sistem tidak berjalan dengan baik. Mereka yakin betul bahwa siswa-siswi yang dinyatakan lulus UN tidak seluruhnya layak lulus, karena sebagian "dibantu" sekolah dan guru. Kalau orang lain bisa ikut ujian dengan resiko ketidak lulusan "nol", maka anak mereka pun berhak untuk
Rusaknya sistem pendidikan ini disebabkan oleh perilaku oknum-oknum di masa lalu yang suka membocorkan soal ujian, memperdaya pengawas dari luar, dan menagabaikan sistem. dan mental-mental seperti itu, baik di sekolah maupun birokrasi tidak bisa hilang begitu saja. Akibatnya, meskipun sistem pengamanan soal ujian dan pelaksanaan ujian kian diperketat, masyarakat masih tidak yakin bahwa sistem berjalan. Buktinya, tanpa pengaduan Ny. Siami, sekolah tersebut tidak akan pernah dianggap salah. Bukankah itu menunjukkan bahwa sistemnya memang lemah. Jika begitu, tentu bisa dimengerti jika masrakat tidak percaya sistem.
2. Budaya Short-Cut atau Instan
Dampak dari industrialisasi, modernisasi dan kemajuan teknologi antara lain adalah terciptanya budaya baru masysrakat era teknologi. Segala sesuatu seringkali terjadi dengan sangat cepat. bahkan dalam komputer dikenal istilah short-cut, yaitu icon di desktop yang bisa langsung mengantarkan seseorang ke file atau folder yang diinginkan tanpa harus mencari dengan sulit.
Budaya serba cepat dan instan telah melahirkan generasi yang tidak menghargai proses. Seolah-olah semua taken for granted. Wisata kuliner yang saat ini menjadi tren baru, sering hanya menampilkan bentuk akhir dari sebuah makanan, tanpa memperhatikan proses panjang pembuatannya. Hal ini juga terjadi di dunia pendidikan.
Sudah bukan hal yang baru jika kita mendengar ada orang yang membeli gelar, membayar orang lain mengerjakan skripsi, menggunakan joki ketika ujian masuk, dan memplagiat karya orang lain untuk diakui sebagai karya sendiri. Semua ini terjadi di dunia pendidikan, dan semua ini menunjukkan bahwa banyak orang tidak lagi menghargai pendidikan sebegai sebuah proses, mereka hanya ingin hasil. Tidak mau lama-lama menunggu proses. Karena itu, jika ada sekolah yang bisa menawarkan program pendidikan berijazah, dengan cara yang singkat dan mudah, dijamin laku. Karena masyarakat tdiak peduli dengan proses, yang penting hasil.
3. Dis-orientasi Pendidikan
Ketika dikatakan Bahwa mereka berorientasi pada hasil, sebenarnya ada nilai positifnya. Ada kemungkinan hasil itu adalah kualitas lulusan. Sayangnya kenyatannya tidak demikian. Hasil pendidikan telah dipersempit maknanya menjadi ijazah dan transkrip nilai. Selama ijazah dan transkrip nilainya baik dan menguntungkan, banyak orang tidak peduli dengan kehampaan pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki.
Lembaga-lembaga pendidikan sebenarnya dilahirkan untuk melaksanakan proses pendidikan, yaitu proses yang mengashilkan individu-individu yang berkualitas. ketika definisi individu yang berkualitas disimbolkan dengan ijazah dan transkrip, maka orientasi pun berubah, yaitu bagaimana memperoleh ijazah dan transkrip yang baik.
Perubahan orientasi pendidikan ini mengakibatkan banyak lembaga pendidikan yang melakukan malpraktik dan banyak orangtua yang memanfaatkan malpraktik itu. Persoalannya, malpraktik itu berlangsung di banyak tempat, sehingga seolah-olah itu adalah kawajaran.
4. Penyakit Standar-ganda
Banyak orang Indonesia yang menerapkan standar ganda dalam hidupnya. Jika da satu peraturan yang fair dan itu menguntungkan, maka ia akan ikut. tetapi jika peraturan yang fair itu merugikan dia maka dia akan mengelak.
Contoh kasus adalah perilaku pengguna jalan raya. Ketika lampu lalu lintas menyala hijau seharusnya seorang pengemudi menjalankan kendaraannya, ketika dia melihat dari arah lain ada yang melintas dan merugikan dia, tentu ia akan marah. Sebaliknya, jika ia berhadapan dengan lampu merah dan pengemudi di jalur lain belum bergerak maju, tentu dia akan melaju terus, tidak peduli bahwa lampu sudah merah.
Contoh lain adalah antrian. Jika seseorang sedang antri, tiba-tiba ada orang yang menyela, tentu dia akan marah. tetapi di kesempatan lain ketika dia punya peluang untuk menyela antrian, tentu dia akan melakukakannya.
Masih banyak contoh lain, di mana kita sering menerapkan standar ganda. Tidak terkecuali dengan kasus di SDN Gadel 2 Tandes, Surabaya. Saya yakin pasti para orangtua siswa amsih memiliki nurani untuk mengatakan bahwa kejujuran adalah kebaikan dan perbuatan curang adalah tidak baik. Tetapi, apa akibatnya jika kejujuran itu diterapkan? Kemungkinan besar mereka akan "rugi". So, kalau begitu, lebih baik kejujuran jangan diterapkan dulu. Tetapi bagaimana jika ada sekolah lain yang diberikan penghargaan karena jujur dan dihukum karena tidak jujur, mereka pasti mendukung.
Dengan kata lain, orang atau masayarakat yang memiliki stdanr ganda adalah orang yang berprinsip bahwa peraturan boleh/harus ditegakkan selama itu tidak merugikan dia. tetapi jika peraturan itu terbukti menganggu kepentingannya, maka peraturan itu akan diabaikan/dihilangkan/dianggap tidak ada.
So... gimana memperbaikinya?
Al adalah putra Ibu Siami yang bersekolah di SDN Gadel 2 Tandes, Surabaya. Menurut beberapa sumber, Al adalah seorang anak cerdas yang membanggakan orangtua dan gurunya. Pada saat Ujian Nasional beberapa waktu lalu, Al mendapatkan "tugas mulia" dari sekolahnya untuk menbantu teman-teman sekelasnya lulus ujian nasional. Tugasnya sederhana, cukup memberikan jawaban atas soal-soal UN kepada teman-temannya di saat ujian, maka diyakini mereka akan lulus, karena para guru yakin bahwa Al pasti mampu menjawab soal-soal ujian dengan baik.
Ujian telah selesai, dan Al telah melaksanakan tugas dengan baik. Tetapi ia terngiang-ngiang dengan nasehat ibunya untuk berlaku jujur. Dia sadar bahwa memberikan jawaban ke teman-teman saat ujian adalah perilaku dan tidak jujur. I adihantui rasa bersalah telah melakukan hal yang dilarang oleh sang ibu. Maka ia pun mengadu kepada ibunya, bahwa ia telah diminta untuk berlaku tidak jujur, dan ia melakukannya.
Sebagai orang tua yang tahu akan pentingnya integritas diri, jiwa Ny. Siami terusik. Ia tidak rela sekolah yang mestinya menjadi benteng kejujuran justru menjadi tempat penyemaian benih-benih penghancur moral dengan praktek yang nyata. Ia pun melayangkan protes ke sekolah, bahkan lebih dari itu, ia juga mengadu ke dinas pendidikan. Hasilnya, dia menang. Dinas pendidikan langsung mengambil tindakan kepada Kepala sekolah dan guru yang terlibat dalam kasus Al.
Ny. Siami boleh merasa bangga bahwa pihak yang berwenang telah mendengar suara hatinya, tetapi ia tentu tidak menyangkan bahwa perbuatannya justru dianggap merugikan oleh sebagian masyarakat di mana dia tinggal. Mayoritas masyarakat justru menganggap apa yang dilakukan Ny. Siami adalah tindakan yang salah, karena hanya akan merugikan anak-anak mereka. Apalah jadinya jika kemudian ujian nasional harus diulang dan anak-anak mereka menjadi tidak lulus. Ny. Siami dianggap membuat keresahan di tengah-tengah masyarakat, karena akibat perbuatannya orangtua dan anak-anak yang ikut ujian nasional menjadi resah. Akibatnya ia diusir dari tempat tinggalnya...
Kenapa ini terjadi? Apakah masyarakat kita sudah mengabaikan nilai-nilai kejujuran dan tidak mementingkan lagi integritas diri?
Kita yang berada di luar kasus itu, mungkin secara mudah mengatakan bahwa Ny. Siami benar dan masyarakat salah. Ny. Siami telah memperjuangkan kejujuran dan berhasil menunjukkan bahwa kejujuran masih dihargai oleh birokrasi pendidikan. Sementara masyarakat yang mengukum Ny. Siami dan keluarganya adalah masyarakat yang tidak menghargai kejujuran.
Sesederhana itu kah? Benarkah masyarakat tersebut sudah tidak menghargai kejujuran? Saya yakin jawabannya tidak sesederhana itu. Mungkin kita akan melakukan hal yang sama jika berada di tengah-tengah masyarakat itu.
Saya melihat ada persoalan besar yang dialami masyarakat, sehingga mengabaikan pentingnya nilai-nilai kejujuran:
1. Tidak Percaya Sistem
Saya yakin jika masyarakat ditanya satu persatu, bahkan secara kolektif, pasti mereka meyakini bahwa kejujuran itu baik. Mungkin hati kecil mereka mengakui apa yang dilakukan Ny. Siami benar, tetapi persoalan yang mereka hadapi adalah anak-anak mereka HARUS lulus ujian nasional agar bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Memang pemerintah telah menjelaskan bahwa hasil ujian tidak menentukan kelulusan, tapi apakah mereka percaya?
Di sinilah masalahnya, masyarakat tidak percaya bahwa sistem berjalan dengan baik. Toh mereka tidak buta dan tuli ketika media masa cetak dan elektronik memberitakan berbagai kecurangan saat Ujian Nasional. Mereka bahkan menyaksikan dan mengalami sendiri bahwa banyak sekolah melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh sekolahnya Al, tapi tidak apa-apa, yang penting siswa lulus.
Kalau mereka harus melakukannya dengan jujur dan hasilnya anak-anak tidak lulus, sementara ada sekolah lain (ini asumsi saja) yang melakukan pelanggaran tetapi tidak dihukum, di mana letak keadilan? Maka mereka beranggapan bahwa hal yang dilakukan sekolah adalah lumrah, karena hal itu terjadi dan diberlakukan dibanyak tempat. Sama lumrahnya dengan memberi uang kepada polisi ketika mau ditilang atau memberi upeti kepada pejabat ketika mendapat proyek. Salah? iya. Tetapi toh harus dilakukan, dan masih terus berlangungsung, meskipun dinyatakan melanggar. Sebab kalau tidak begitu anak-anak yang jadi korban...
Singkatnya, masyarakat merasa sistem tidak berjalan dengan baik. Mereka yakin betul bahwa siswa-siswi yang dinyatakan lulus UN tidak seluruhnya layak lulus, karena sebagian "dibantu" sekolah dan guru. Kalau orang lain bisa ikut ujian dengan resiko ketidak lulusan "nol", maka anak mereka pun berhak untuk
Rusaknya sistem pendidikan ini disebabkan oleh perilaku oknum-oknum di masa lalu yang suka membocorkan soal ujian, memperdaya pengawas dari luar, dan menagabaikan sistem. dan mental-mental seperti itu, baik di sekolah maupun birokrasi tidak bisa hilang begitu saja. Akibatnya, meskipun sistem pengamanan soal ujian dan pelaksanaan ujian kian diperketat, masyarakat masih tidak yakin bahwa sistem berjalan. Buktinya, tanpa pengaduan Ny. Siami, sekolah tersebut tidak akan pernah dianggap salah. Bukankah itu menunjukkan bahwa sistemnya memang lemah. Jika begitu, tentu bisa dimengerti jika masrakat tidak percaya sistem.
2. Budaya Short-Cut atau Instan
Dampak dari industrialisasi, modernisasi dan kemajuan teknologi antara lain adalah terciptanya budaya baru masysrakat era teknologi. Segala sesuatu seringkali terjadi dengan sangat cepat. bahkan dalam komputer dikenal istilah short-cut, yaitu icon di desktop yang bisa langsung mengantarkan seseorang ke file atau folder yang diinginkan tanpa harus mencari dengan sulit.
Budaya serba cepat dan instan telah melahirkan generasi yang tidak menghargai proses. Seolah-olah semua taken for granted. Wisata kuliner yang saat ini menjadi tren baru, sering hanya menampilkan bentuk akhir dari sebuah makanan, tanpa memperhatikan proses panjang pembuatannya. Hal ini juga terjadi di dunia pendidikan.
Sudah bukan hal yang baru jika kita mendengar ada orang yang membeli gelar, membayar orang lain mengerjakan skripsi, menggunakan joki ketika ujian masuk, dan memplagiat karya orang lain untuk diakui sebagai karya sendiri. Semua ini terjadi di dunia pendidikan, dan semua ini menunjukkan bahwa banyak orang tidak lagi menghargai pendidikan sebegai sebuah proses, mereka hanya ingin hasil. Tidak mau lama-lama menunggu proses. Karena itu, jika ada sekolah yang bisa menawarkan program pendidikan berijazah, dengan cara yang singkat dan mudah, dijamin laku. Karena masyarakat tdiak peduli dengan proses, yang penting hasil.
3. Dis-orientasi Pendidikan
Ketika dikatakan Bahwa mereka berorientasi pada hasil, sebenarnya ada nilai positifnya. Ada kemungkinan hasil itu adalah kualitas lulusan. Sayangnya kenyatannya tidak demikian. Hasil pendidikan telah dipersempit maknanya menjadi ijazah dan transkrip nilai. Selama ijazah dan transkrip nilainya baik dan menguntungkan, banyak orang tidak peduli dengan kehampaan pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki.
Lembaga-lembaga pendidikan sebenarnya dilahirkan untuk melaksanakan proses pendidikan, yaitu proses yang mengashilkan individu-individu yang berkualitas. ketika definisi individu yang berkualitas disimbolkan dengan ijazah dan transkrip, maka orientasi pun berubah, yaitu bagaimana memperoleh ijazah dan transkrip yang baik.
Perubahan orientasi pendidikan ini mengakibatkan banyak lembaga pendidikan yang melakukan malpraktik dan banyak orangtua yang memanfaatkan malpraktik itu. Persoalannya, malpraktik itu berlangsung di banyak tempat, sehingga seolah-olah itu adalah kawajaran.
4. Penyakit Standar-ganda
Banyak orang Indonesia yang menerapkan standar ganda dalam hidupnya. Jika da satu peraturan yang fair dan itu menguntungkan, maka ia akan ikut. tetapi jika peraturan yang fair itu merugikan dia maka dia akan mengelak.
Contoh kasus adalah perilaku pengguna jalan raya. Ketika lampu lalu lintas menyala hijau seharusnya seorang pengemudi menjalankan kendaraannya, ketika dia melihat dari arah lain ada yang melintas dan merugikan dia, tentu ia akan marah. Sebaliknya, jika ia berhadapan dengan lampu merah dan pengemudi di jalur lain belum bergerak maju, tentu dia akan melaju terus, tidak peduli bahwa lampu sudah merah.
Contoh lain adalah antrian. Jika seseorang sedang antri, tiba-tiba ada orang yang menyela, tentu dia akan marah. tetapi di kesempatan lain ketika dia punya peluang untuk menyela antrian, tentu dia akan melakukakannya.
Masih banyak contoh lain, di mana kita sering menerapkan standar ganda. Tidak terkecuali dengan kasus di SDN Gadel 2 Tandes, Surabaya. Saya yakin pasti para orangtua siswa amsih memiliki nurani untuk mengatakan bahwa kejujuran adalah kebaikan dan perbuatan curang adalah tidak baik. Tetapi, apa akibatnya jika kejujuran itu diterapkan? Kemungkinan besar mereka akan "rugi". So, kalau begitu, lebih baik kejujuran jangan diterapkan dulu. Tetapi bagaimana jika ada sekolah lain yang diberikan penghargaan karena jujur dan dihukum karena tidak jujur, mereka pasti mendukung.
Dengan kata lain, orang atau masayarakat yang memiliki stdanr ganda adalah orang yang berprinsip bahwa peraturan boleh/harus ditegakkan selama itu tidak merugikan dia. tetapi jika peraturan itu terbukti menganggu kepentingannya, maka peraturan itu akan diabaikan/dihilangkan/dianggap tidak ada.
So... gimana memperbaikinya?
Kamis, Desember 30, 2010
Indonesia Sesame Street 'makes kids smarter'
Updated December 28, 2010 21:19:32
There are about 20 countries that have their own version of the classic American children's show, Sesame Street, and Indonesia's version, Jalan Sesama, has had a remarkable first two years. A recent study has suggested that children who watch Jalan Sesama have more advanced educational skills and social awareness than others.
Presenter: Sajithra Nithi
Speakers: Dina Borzekowski, associate professor, health communication, Johns Hopkins University, Baltimore, United States, and lead author of the 'Jalan Sesama' study; Dr Muhammad Zuhdi, director, department for education, research and outreach, Jalan Sesama
Listen: Windows Media
[Sound of Sesame Street's US theme song]
NITHI: Sesame Street has been a favourite television programme of children for more than 40 years.
And since 2008 Indonesia has had its own version of the show called Jalan Sesama.
[Sound of Jalan Sesama theme song]
NITHI: Jalan Sesama means 'street for all' in Indonesian.
American researchers recently looked into the impacts of the programme on young children over a course of 14 weeks.
BORZEKOWSKI: Kids in Indonesia watch a huge amount of television. So one of the interesting things that we were trying to get at was 'Does this show have any sort of differential impact on the children compared to some of the other shows that they were watching?'
NITHI: That's Dina Borzekowski, the study's lead author and associate professor in health communication at the Johns Hopkins University.
One hundred and sixty children aged between 3 and 6 years were divided in to three groups for the study.
The first was a control group, which watched an assortment of television programmes. The second group was shown an episode of Jalan Sesama once a week. And the third group watched the show four times a week.
The children were all questioned on their skills, knowledge, and beliefs before the study and at the end of the 14 weeks.
Lead researcher Professor Borzekowski says the biggest improvements were seen in the group that received the highest exposure.
BORZEKOWSKI: What we saw was that watching Jalan Sesama above and beyond other programmes that they see had a significant impact on their scores for literacy, numeracy, for social development, cultural awareness, and for health and safety issues.
NITHI: Traffic safety was one of the issues the children were questioned on.
BORZEKOWSKI: Kids in Indonesia are at great risk from traffic issues, the majority of kids don't wear seat belts, they don't wear helmets when they're on motorcycles with their parents, and following exposure to the show, kids were much more aware about wearing helmets when riding on a motorcycle and they knew about the stripes for crosswalks, so those were nice outcomes.
NITHI: Dr Muhammad Zuhdi is the director of education, research and outreach for Jalan Sesama.
He explains why the show's grown to be popular.
ZUHDI: First of all, it's created for a young audience and we have very few shows targeted to a young audience. Secondly, we produce this programme based on Indonesian characters. We use Indonesian actors, Indonesian talents, the stories are written in Indonesia by Indonesians and the settings are all Indonesia. So it's close to the audience.
NITHI: This year saw the occasional appearance of the classic Sesame Street character, Elmo. But for the most part, the stars of Jalan Sesama are muppets tailored to an Indonesian audience - like Jabrik, a creative white rhinoceros, and Tantan, an environmentally conscious orangutan.
And then there are also characters like Agent 123, who teaches basic numbers, and Gatot Kata, who helps with words and pronunciation.
[Sound from scene from Jalan Sesama in Indonesian]
NITHI: In addition to the show's puppets are human characters like the storyteller, Pak Dalang, and Dr Susan.
Jalan Sesama continues to air in Indonesia, but there are concerns about access.
Dr Muhammad Zudhi says [the show's producers] are now working on an outreach programme, providing children in low access areas with educational material and toys.
ZUHDI: Our show is educative enough but we know that only limited children can watch. So we initiated this outreach programme to let more children learn with Jalan Sesama.
NITHI: While the study focused on Indonesia, several other countries, including India, Egypt, Tanzania and Brazil, have their own local versions of Sesame Street.
And the original American version is still broadcast around the world to an audience of millions of children.
There are about 20 countries that have their own version of the classic American children's show, Sesame Street, and Indonesia's version, Jalan Sesama, has had a remarkable first two years. A recent study has suggested that children who watch Jalan Sesama have more advanced educational skills and social awareness than others.
Presenter: Sajithra Nithi
Speakers: Dina Borzekowski, associate professor, health communication, Johns Hopkins University, Baltimore, United States, and lead author of the 'Jalan Sesama' study; Dr Muhammad Zuhdi, director, department for education, research and outreach, Jalan Sesama
Listen: Windows Media
[Sound of Sesame Street's US theme song]
NITHI: Sesame Street has been a favourite television programme of children for more than 40 years.
And since 2008 Indonesia has had its own version of the show called Jalan Sesama.
[Sound of Jalan Sesama theme song]
NITHI: Jalan Sesama means 'street for all' in Indonesian.
American researchers recently looked into the impacts of the programme on young children over a course of 14 weeks.
BORZEKOWSKI: Kids in Indonesia watch a huge amount of television. So one of the interesting things that we were trying to get at was 'Does this show have any sort of differential impact on the children compared to some of the other shows that they were watching?'
NITHI: That's Dina Borzekowski, the study's lead author and associate professor in health communication at the Johns Hopkins University.
One hundred and sixty children aged between 3 and 6 years were divided in to three groups for the study.
The first was a control group, which watched an assortment of television programmes. The second group was shown an episode of Jalan Sesama once a week. And the third group watched the show four times a week.
The children were all questioned on their skills, knowledge, and beliefs before the study and at the end of the 14 weeks.
Lead researcher Professor Borzekowski says the biggest improvements were seen in the group that received the highest exposure.
BORZEKOWSKI: What we saw was that watching Jalan Sesama above and beyond other programmes that they see had a significant impact on their scores for literacy, numeracy, for social development, cultural awareness, and for health and safety issues.
NITHI: Traffic safety was one of the issues the children were questioned on.
BORZEKOWSKI: Kids in Indonesia are at great risk from traffic issues, the majority of kids don't wear seat belts, they don't wear helmets when they're on motorcycles with their parents, and following exposure to the show, kids were much more aware about wearing helmets when riding on a motorcycle and they knew about the stripes for crosswalks, so those were nice outcomes.
NITHI: Dr Muhammad Zuhdi is the director of education, research and outreach for Jalan Sesama.
He explains why the show's grown to be popular.
ZUHDI: First of all, it's created for a young audience and we have very few shows targeted to a young audience. Secondly, we produce this programme based on Indonesian characters. We use Indonesian actors, Indonesian talents, the stories are written in Indonesia by Indonesians and the settings are all Indonesia. So it's close to the audience.
NITHI: This year saw the occasional appearance of the classic Sesame Street character, Elmo. But for the most part, the stars of Jalan Sesama are muppets tailored to an Indonesian audience - like Jabrik, a creative white rhinoceros, and Tantan, an environmentally conscious orangutan.
And then there are also characters like Agent 123, who teaches basic numbers, and Gatot Kata, who helps with words and pronunciation.
[Sound from scene from Jalan Sesama in Indonesian]
NITHI: In addition to the show's puppets are human characters like the storyteller, Pak Dalang, and Dr Susan.
Jalan Sesama continues to air in Indonesia, but there are concerns about access.
Dr Muhammad Zudhi says [the show's producers] are now working on an outreach programme, providing children in low access areas with educational material and toys.
ZUHDI: Our show is educative enough but we know that only limited children can watch. So we initiated this outreach programme to let more children learn with Jalan Sesama.
NITHI: While the study focused on Indonesia, several other countries, including India, Egypt, Tanzania and Brazil, have their own local versions of Sesame Street.
And the original American version is still broadcast around the world to an audience of millions of children.
Minggu, Agustus 23, 2009
Social Insurance
A few weeks ago, an insurance salesgirl came to visit me in the office. It was actually not I expected. Initially, someone from the company contacted me and asked my 30-minutes time to be interviewed. She told me that they were doing a market survey. I was reluctant to accept the request at the beginning, considering a lot of things were due. But after postponing it, I eventually accepted a representative to meet. However, the one who came, did not exactly doing a survey (although she did in the beginning of the interview), she mostly explained to me their new product and tried to convince me to join, and here come my points.
As any insurance sales will do, the representative explained about the risks that we are all facing: if we loose our job, if we suddenly pass-away, or if we have an accident that make us disable to work, etc. In short, they want us to be prepared to face all bad possibilities that we may encounter. And, by preparation means joining the insurance programs. There are a lot of insurance programs offered: wealth insurance, property insurance, health insurance, fire insurance, education insurance, and life insurance.
All these insurance programs are created to make the customers feel secured about their lives and families. However, considering the variety of programs that insurance companies offer, a customer may join more than one program. This means he/she has to pay monthly or annual premiums that most of the time not that cheap. Sometimes, this can cost him/her more than a half of the salary.
After patiently listened to what the representative had to say, I shared my thoughts with her. Some thoughts that suddenly came to my mind, and I effortlessly explained. I didn't know exactly where they came from, but let me share them with you.
So, I explained that I can understand the reasons why the insurance companies exist. I can see the potential benefits that customers, like me, can get. That is why I join some insurance programs. However, I don't want any insurance company to dictate my spending, although they offer reasonable considerations for that.
I believe that insurance alone will not help too much when we experience difficult times in our lives. The insurance companies concern only with the value of money and wealth, and modern people feel that these are very important in their lives. However, remember that every insurance program has terms and conditions that a customer have to carefully read and clearly understand. And the returns of what a customer invests in an insurance program sometimes does not come exactly at time when he/she needs. There is a certain bureaucratic process within the insurance company that we should be aware of. And, money is not everything we need when we experienced difficulties.
So, what do we need then? We all need good neighbors, caring-families, and beloved friends, and this is what I called social insurance. But how do we get that?
Last night, as a friend and I were on our way back home from Makasar, we took a taxi ride. The driver was talkative (but helpful to mentally escape from the traffic jam), and told many stories of his own life. He shared about how he spent his salary as a taxi driver and how to get higher income than his colleagues.
One of the interesting points that he shared was he feels blessed to have a lot of helpful friends when he needs supports. When his father passed-away, the company gave him some money to help his family, but his friends contributed more than what the company gave, and the contributions were not necessarily money.
Why were his friends so keen to help him? That's because he becomes friend to everybody. He chats and shares experiences with new as well as old friends, he asks questions if wants to know new things and answers even naive questions when asked, and he will be among the firsts to contribute when friends are in need. In short, he always maintain good relationship with everybody he knows. He may have some problems with some people, as all will do, but he takes the problems as part of life and think positively about them.
Having good friends, helpful neighbors, and caring families are very important when we are in needs. However, we will not have them unless we are nice, helpful and care with them. That's why the Prophet said: "Treat other people as you will like to be treated".
Good relationship with colleagues, friends and families is a long-term investment that one may not count. Because those who maintain good social relationship are doing so not for the shake of the returns, rather enjoying them as part of daily lives. We will never know when we need the return, but I strongly believe that if we have good social relationships with people we know we will always receive the returns whenever we need.
Remember, if we socially invest good deeds to those who need, don't ever expect them to return to what we have done. if we do that sincerely, we will receive the returns from people that may not expect. This reminds me to a film called "Pay It Forward": If some one helps you, pay it back to someone else who needs your help.
So, in addition to any financial-insurance program that we join, it is very important to join the social insurance program. The real social insurance is not about money that some people effortlessly receive from the government, rather maintaining good relationship with neighbors, friends, and families. Trust me, it costs us less than joining all the insurance programs that any company offers. Moreover, we could enjoy the program as we joining it.
Have a blessed Ramadhan.
As any insurance sales will do, the representative explained about the risks that we are all facing: if we loose our job, if we suddenly pass-away, or if we have an accident that make us disable to work, etc. In short, they want us to be prepared to face all bad possibilities that we may encounter. And, by preparation means joining the insurance programs. There are a lot of insurance programs offered: wealth insurance, property insurance, health insurance, fire insurance, education insurance, and life insurance.
All these insurance programs are created to make the customers feel secured about their lives and families. However, considering the variety of programs that insurance companies offer, a customer may join more than one program. This means he/she has to pay monthly or annual premiums that most of the time not that cheap. Sometimes, this can cost him/her more than a half of the salary.
After patiently listened to what the representative had to say, I shared my thoughts with her. Some thoughts that suddenly came to my mind, and I effortlessly explained. I didn't know exactly where they came from, but let me share them with you.
So, I explained that I can understand the reasons why the insurance companies exist. I can see the potential benefits that customers, like me, can get. That is why I join some insurance programs. However, I don't want any insurance company to dictate my spending, although they offer reasonable considerations for that.
I believe that insurance alone will not help too much when we experience difficult times in our lives. The insurance companies concern only with the value of money and wealth, and modern people feel that these are very important in their lives. However, remember that every insurance program has terms and conditions that a customer have to carefully read and clearly understand. And the returns of what a customer invests in an insurance program sometimes does not come exactly at time when he/she needs. There is a certain bureaucratic process within the insurance company that we should be aware of. And, money is not everything we need when we experienced difficulties.
So, what do we need then? We all need good neighbors, caring-families, and beloved friends, and this is what I called social insurance. But how do we get that?
Last night, as a friend and I were on our way back home from Makasar, we took a taxi ride. The driver was talkative (but helpful to mentally escape from the traffic jam), and told many stories of his own life. He shared about how he spent his salary as a taxi driver and how to get higher income than his colleagues.
One of the interesting points that he shared was he feels blessed to have a lot of helpful friends when he needs supports. When his father passed-away, the company gave him some money to help his family, but his friends contributed more than what the company gave, and the contributions were not necessarily money.
Why were his friends so keen to help him? That's because he becomes friend to everybody. He chats and shares experiences with new as well as old friends, he asks questions if wants to know new things and answers even naive questions when asked, and he will be among the firsts to contribute when friends are in need. In short, he always maintain good relationship with everybody he knows. He may have some problems with some people, as all will do, but he takes the problems as part of life and think positively about them.
Having good friends, helpful neighbors, and caring families are very important when we are in needs. However, we will not have them unless we are nice, helpful and care with them. That's why the Prophet said: "Treat other people as you will like to be treated".
Good relationship with colleagues, friends and families is a long-term investment that one may not count. Because those who maintain good social relationship are doing so not for the shake of the returns, rather enjoying them as part of daily lives. We will never know when we need the return, but I strongly believe that if we have good social relationships with people we know we will always receive the returns whenever we need.
Remember, if we socially invest good deeds to those who need, don't ever expect them to return to what we have done. if we do that sincerely, we will receive the returns from people that may not expect. This reminds me to a film called "Pay It Forward": If some one helps you, pay it back to someone else who needs your help.
So, in addition to any financial-insurance program that we join, it is very important to join the social insurance program. The real social insurance is not about money that some people effortlessly receive from the government, rather maintaining good relationship with neighbors, friends, and families. Trust me, it costs us less than joining all the insurance programs that any company offers. Moreover, we could enjoy the program as we joining it.
Have a blessed Ramadhan.
Langganan:
Postingan (Atom)