Rabu, Januari 21, 2015

Bahasa Asing, Mengapa Perlu?



“The limit of my language means the limit of my world”, demikian dikatakan oleh Ludwig Wittgenstein, seorang filosof Inggris-Austria. Ungkapan yang sangat populer di kalangan pemerhati bahasa tersebut secara implisit mengatakan bahwa dunia kita akan terasa sangat sempit, jika kita tidak menguasai bahasa.

Bahasa memang jendela dunia. Keluasan wawasan seseorang dapat diukur antara lain dengan bahasa yang dikuasainya. Begitu juga dengan keluasan pergaulan seseorang. Sulit bagi orang yang tidak menguasai bahasa selain bahasa ibunya, untuk dapat bergaul dengan orang dari Negara yang berbeda.

Bahasa juga jendela ilmu pengetahuan. Transmisi ilmu dari satu negara atau kawasan ke negara atau kawasan lain terjadi seiring dengan adanya pertukaran bahasa. Penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam Bahasa Arab dan penerjemahan buku-buku berbahasa Arab ke dalam Bahasa Inggris telah memungkinkan terjadinya pertukaran dan pengembangan ilmu pengetahuan. Tanpa ada orang Arab yang mampu berbahasa Yunani dan orang Barat yang berbahasa Arab, tentu transmisi ilmu itu tidak terjadi dengan baik.

Dewasa ini ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dengan sangat cepat. Berbagai penelitian dan eksperimen yang menghasilkan temuan dan teknologi baru terus terjadi di berbagai belahan dunia. Para ilmuan, peneliti dan praktisi sering berbagi tentang karya-karya mereka melalui berbagai cara. Cara yang paling populer adalah publikasi lewat media dan pertemuan-pertemuan ilmiah. Hanya mereka yang bisa mengakses berbagai publikasi dan menghadiri berbagai forum pertemuan ilmiah itu yang dapat memperoleh hal-hal mutakhir yang dilakukan atau ditemukan para ahli. Tentu saja publikasi dan pertemuan dimaksud dilakukan dengan menggunakan bahasa tertentu yang dikenal secara internasional.

Bahasa juga berkaitan dengan ekonomi dan dunia kerja. Perkembangan ekonomi dunia saat ini mengarah kepada regionalisasi ekonomi. Negara-negara di kawasan tertentu membuat kesepakatan pembangunan ekonomi dengan menipiskan batas antar negara. Hal ini ditandai antara lain dengan kesepakatan negara-negara Eropa untuk memberlakukan kawasan perdagangan bebas Eropa (1993) dan mata uang tunggal (2002). Tidak mau ketinggalan, negara-negara di kawasan Asia Tenggara juga memiliki komitmen yang sama dengan melahirkan AEC (ASEAN Economic Community) atau MEA (Masyarakat Ekonomi Asia Tenggara).

Kehadiran MEA yang mulai berlaku di tahun 2015, merupakan peluang, tantangan sekaligus juga ancaman buat masyarakat Indonesia, tidak terkecuali mahasiswa di berbagai perguruan tinggi di tanah air. Dikatakan peluang, karena pasar Asia Tenggara akan terbuka luas bagi masyarakat Indonesia untuk mengembangkan karir dan usaha mereka. Pasar kerja dan bisnis semakin terbuka lebar. Tantangannya adalah bagaimana membuat peluang-peluang tersebut menjadi aksi nyata yang menghasilkan keuntungan. Tentu, baik pekerja maupun pengusaha, harus mampu membaca potensi kerja dan potensi pasar di negara-negara ASEAN. Untuk itu, mereka harus mampu menguasai bahasa yang dapat dimengerti oleh semua pihak yang terkait.

MEA juga dapat menjadi ancaman, ketika masyarakat Indonesia tidak mampu memanfaatkan berbagai peluang sebagaimana disebutkan di atas. Sebaliknya, para pekerja dan pengusaha ASEAN-lah yang justru hadir di Indonesia dan mengembangkan karir atau bisnis mereka di tanah air. Jika ini terjadi, alih-alih mendapat keuntungan, MEA justru memberikan kerugian bagi masyarakat Indonesia.

Mencermati dua fenomena di atas: perkembangan ilmu pengetahuan dan dinamika ekonomi dunia; Indonesia dituntut untuk meningkatkan kemampuan sumberdaya manusianya. Salah satu unsur penting dalam pengembangan SDM tersebut adalah penguasaan bahasa asing. Penguasaan bahasa asing, terutama Inggris adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh mahasiswa, baik sebagai ilmuwan muda maupun sebagai calon pelaku bisnis atau professional.

UIN syarif Hidayatullah Jakarta sadar betul akan tantangan tersebut. UIN Jakarta menginginkan agar mahasiswa dan lulusannya mampu menjadi bagian penting dari perkembangan ilmu pengetahuan dan pertumbuhan ekonomi. Lebih dari itu UIN Jakarta juga menginginkan agar lulusannya menjadi pelaku utama bagia kemajuan bangsa, agama dan kemanusiaan. Oleh sebab itu, sejak tahun 2005, UIN Jakarta menuntut mahasiswanya untuk menguasai bahasa Arab dan Inggris, selain bahasa Indonesia sebagai bahasa utama.

Bagi sebagian mahasiswa tuntutan ini dirasakan cukup memberatkan, terutama mereka yang hendak mengikuti ujian skripsi. Banyak mahasiswa yang mengeluh tidak bisa mengikuti ujian skripsi karena nilai kompetensi bahasa mereka belum memenuhi persyaratan. Padahal sejak awal mengikuti perkuliahan di UIN Jakarta mereka tahu bahwa kompetensi bahasa merupakan salah satu syarat mutlak untuk lulus dari UIN Jakarta.

Menurut hemat saya ada tiga penyebab utama sulitnya mahasiswa dalam memenuhi syarat kompetensi bahasa.

Pertama, input yang rendah. Penguasaan bahasa asing, baik Arab maupun Inggris di kalangan mahasiswa UIN Jakarta terbilang kurang menggembirakan. Data dari hasil ujian mahasiswa baru tahun 2013, misalnya, menunjukkan bahwa 74% mahasiswa baru UIN Jakarta memiliki kemampuan bahasa Inggris di bawah level pre-intermediate (diperkirakan skornya lebih rendah dari 450 PBT). Sementara mereka yang berada di atas level 500 hanya berkisar 6% saja.

Kedua, pola pembelajaran yang bervariasi. Pembelajaran bahasa di UIN Jakarta merupakan tanggungjawab fakultas dan program studi (prodi) di mana mahasiswa belajar. Setiap fakultas dan prodi memiliki kewenangan dan kebijakan masing-masing dalam hal pembelajaran bahasa asing, baik dari segi jumlah sks, tujuan pembelajaran, maupun standar kompetensi dosen. Keberagaman ini memiliki dampak yang cukup besar bagi keberhasilan mahasiswa dalam menguasai bahasa asing. Hanya fakultas dan program studi yang serius menguasai bahasa asing mampu mengantarkan mahasiswanya memiliki kemampuan berbahasa asing yang memadai.

Ketiga, motivasi belajar yang rendah. Meskipun perlu pembuktian secara akademik mengenai rendahnya motivasi belajar bahasa asing di kalangan mahasiswa, saya menduga faktor ini memiliki pengaruh yang tidak kalah besarnya bagi peningkatan kompetensi bahasa mahasiswa. Berdasarkan pengalaman pribadi sebagai pengajar, saya menjumpai sejumlah mahasiswa yang sangat termotivasi untuk menguasai bahasa asing. Mereka rela meluangkan waktu, bahkan menyisihkan uang jajan, untuk dapat menguasai bahasa asing yang mereka inginkan. Ada yang belajar secara mandiri, ada yang ikut kursus, bahkan hingga mengikuti program khusus bahasa di tempat lain, seperti di Pare, Kediri. Sayangnya, jumlah mahasiswa yang memiliki motivasi besar ini tidak sebanyak mereka yang hanya belajar bahasa seadanya. Yang terakhir inilah yang mengalami kesulitan ketika harus mengikuti tes bahasa asing di Pusat Pengembangan Bahasa.

(Bersambung)

Tidak ada komentar: