Kasus yang menimpa Ibu Siami dan putranya Al membuka mata kita bahwa ada persoalan serius dengan dunia pendidikan kita, dan itu adalah cerminan masyarakat kita yang konon sedang sakit.
Al adalah putra Ibu Siami yang bersekolah di SDN Gadel 2 Tandes, Surabaya. Menurut beberapa sumber, Al adalah seorang anak cerdas yang membanggakan orangtua dan gurunya. Pada saat Ujian Nasional beberapa waktu lalu, Al mendapatkan "tugas mulia" dari sekolahnya untuk menbantu teman-teman sekelasnya lulus ujian nasional. Tugasnya sederhana, cukup memberikan jawaban atas soal-soal UN kepada teman-temannya di saat ujian, maka diyakini mereka akan lulus, karena para guru yakin bahwa Al pasti mampu menjawab soal-soal ujian dengan baik.
Ujian telah selesai, dan Al telah melaksanakan tugas dengan baik. Tetapi ia terngiang-ngiang dengan nasehat ibunya untuk berlaku jujur. Dia sadar bahwa memberikan jawaban ke teman-teman saat ujian adalah perilaku dan tidak jujur. I adihantui rasa bersalah telah melakukan hal yang dilarang oleh sang ibu. Maka ia pun mengadu kepada ibunya, bahwa ia telah diminta untuk berlaku tidak jujur, dan ia melakukannya.
Sebagai orang tua yang tahu akan pentingnya integritas diri, jiwa Ny. Siami terusik. Ia tidak rela sekolah yang mestinya menjadi benteng kejujuran justru menjadi tempat penyemaian benih-benih penghancur moral dengan praktek yang nyata. Ia pun melayangkan protes ke sekolah, bahkan lebih dari itu, ia juga mengadu ke dinas pendidikan. Hasilnya, dia menang. Dinas pendidikan langsung mengambil tindakan kepada Kepala sekolah dan guru yang terlibat dalam kasus Al.
Ny. Siami boleh merasa bangga bahwa pihak yang berwenang telah mendengar suara hatinya, tetapi ia tentu tidak menyangkan bahwa perbuatannya justru dianggap merugikan oleh sebagian masyarakat di mana dia tinggal. Mayoritas masyarakat justru menganggap apa yang dilakukan Ny. Siami adalah tindakan yang salah, karena hanya akan merugikan anak-anak mereka. Apalah jadinya jika kemudian ujian nasional harus diulang dan anak-anak mereka menjadi tidak lulus. Ny. Siami dianggap membuat keresahan di tengah-tengah masyarakat, karena akibat perbuatannya orangtua dan anak-anak yang ikut ujian nasional menjadi resah. Akibatnya ia diusir dari tempat tinggalnya...
Kenapa ini terjadi? Apakah masyarakat kita sudah mengabaikan nilai-nilai kejujuran dan tidak mementingkan lagi integritas diri?
Kita yang berada di luar kasus itu, mungkin secara mudah mengatakan bahwa Ny. Siami benar dan masyarakat salah. Ny. Siami telah memperjuangkan kejujuran dan berhasil menunjukkan bahwa kejujuran masih dihargai oleh birokrasi pendidikan. Sementara masyarakat yang mengukum Ny. Siami dan keluarganya adalah masyarakat yang tidak menghargai kejujuran.
Sesederhana itu kah? Benarkah masyarakat tersebut sudah tidak menghargai kejujuran? Saya yakin jawabannya tidak sesederhana itu. Mungkin kita akan melakukan hal yang sama jika berada di tengah-tengah masyarakat itu.
Saya melihat ada persoalan besar yang dialami masyarakat, sehingga mengabaikan pentingnya nilai-nilai kejujuran:
1. Tidak Percaya Sistem
Saya yakin jika masyarakat ditanya satu persatu, bahkan secara kolektif, pasti mereka meyakini bahwa kejujuran itu baik. Mungkin hati kecil mereka mengakui apa yang dilakukan Ny. Siami benar, tetapi persoalan yang mereka hadapi adalah anak-anak mereka HARUS lulus ujian nasional agar bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Memang pemerintah telah menjelaskan bahwa hasil ujian tidak menentukan kelulusan, tapi apakah mereka percaya?
Di sinilah masalahnya, masyarakat tidak percaya bahwa sistem berjalan dengan baik. Toh mereka tidak buta dan tuli ketika media masa cetak dan elektronik memberitakan berbagai kecurangan saat Ujian Nasional. Mereka bahkan menyaksikan dan mengalami sendiri bahwa banyak sekolah melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh sekolahnya Al, tapi tidak apa-apa, yang penting siswa lulus.
Kalau mereka harus melakukannya dengan jujur dan hasilnya anak-anak tidak lulus, sementara ada sekolah lain (ini asumsi saja) yang melakukan pelanggaran tetapi tidak dihukum, di mana letak keadilan? Maka mereka beranggapan bahwa hal yang dilakukan sekolah adalah lumrah, karena hal itu terjadi dan diberlakukan dibanyak tempat. Sama lumrahnya dengan memberi uang kepada polisi ketika mau ditilang atau memberi upeti kepada pejabat ketika mendapat proyek. Salah? iya. Tetapi toh harus dilakukan, dan masih terus berlangungsung, meskipun dinyatakan melanggar. Sebab kalau tidak begitu anak-anak yang jadi korban...
Singkatnya, masyarakat merasa sistem tidak berjalan dengan baik. Mereka yakin betul bahwa siswa-siswi yang dinyatakan lulus UN tidak seluruhnya layak lulus, karena sebagian "dibantu" sekolah dan guru. Kalau orang lain bisa ikut ujian dengan resiko ketidak lulusan "nol", maka anak mereka pun berhak untuk
Rusaknya sistem pendidikan ini disebabkan oleh perilaku oknum-oknum di masa lalu yang suka membocorkan soal ujian, memperdaya pengawas dari luar, dan menagabaikan sistem. dan mental-mental seperti itu, baik di sekolah maupun birokrasi tidak bisa hilang begitu saja. Akibatnya, meskipun sistem pengamanan soal ujian dan pelaksanaan ujian kian diperketat, masyarakat masih tidak yakin bahwa sistem berjalan. Buktinya, tanpa pengaduan Ny. Siami, sekolah tersebut tidak akan pernah dianggap salah. Bukankah itu menunjukkan bahwa sistemnya memang lemah. Jika begitu, tentu bisa dimengerti jika masrakat tidak percaya sistem.
2. Budaya Short-Cut atau Instan
Dampak dari industrialisasi, modernisasi dan kemajuan teknologi antara lain adalah terciptanya budaya baru masysrakat era teknologi. Segala sesuatu seringkali terjadi dengan sangat cepat. bahkan dalam komputer dikenal istilah short-cut, yaitu icon di desktop yang bisa langsung mengantarkan seseorang ke file atau folder yang diinginkan tanpa harus mencari dengan sulit.
Budaya serba cepat dan instan telah melahirkan generasi yang tidak menghargai proses. Seolah-olah semua taken for granted. Wisata kuliner yang saat ini menjadi tren baru, sering hanya menampilkan bentuk akhir dari sebuah makanan, tanpa memperhatikan proses panjang pembuatannya. Hal ini juga terjadi di dunia pendidikan.
Sudah bukan hal yang baru jika kita mendengar ada orang yang membeli gelar, membayar orang lain mengerjakan skripsi, menggunakan joki ketika ujian masuk, dan memplagiat karya orang lain untuk diakui sebagai karya sendiri. Semua ini terjadi di dunia pendidikan, dan semua ini menunjukkan bahwa banyak orang tidak lagi menghargai pendidikan sebegai sebuah proses, mereka hanya ingin hasil. Tidak mau lama-lama menunggu proses. Karena itu, jika ada sekolah yang bisa menawarkan program pendidikan berijazah, dengan cara yang singkat dan mudah, dijamin laku. Karena masyarakat tdiak peduli dengan proses, yang penting hasil.
3. Dis-orientasi Pendidikan
Ketika dikatakan Bahwa mereka berorientasi pada hasil, sebenarnya ada nilai positifnya. Ada kemungkinan hasil itu adalah kualitas lulusan. Sayangnya kenyatannya tidak demikian. Hasil pendidikan telah dipersempit maknanya menjadi ijazah dan transkrip nilai. Selama ijazah dan transkrip nilainya baik dan menguntungkan, banyak orang tidak peduli dengan kehampaan pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki.
Lembaga-lembaga pendidikan sebenarnya dilahirkan untuk melaksanakan proses pendidikan, yaitu proses yang mengashilkan individu-individu yang berkualitas. ketika definisi individu yang berkualitas disimbolkan dengan ijazah dan transkrip, maka orientasi pun berubah, yaitu bagaimana memperoleh ijazah dan transkrip yang baik.
Perubahan orientasi pendidikan ini mengakibatkan banyak lembaga pendidikan yang melakukan malpraktik dan banyak orangtua yang memanfaatkan malpraktik itu. Persoalannya, malpraktik itu berlangsung di banyak tempat, sehingga seolah-olah itu adalah kawajaran.
4. Penyakit Standar-ganda
Banyak orang Indonesia yang menerapkan standar ganda dalam hidupnya. Jika da satu peraturan yang fair dan itu menguntungkan, maka ia akan ikut. tetapi jika peraturan yang fair itu merugikan dia maka dia akan mengelak.
Contoh kasus adalah perilaku pengguna jalan raya. Ketika lampu lalu lintas menyala hijau seharusnya seorang pengemudi menjalankan kendaraannya, ketika dia melihat dari arah lain ada yang melintas dan merugikan dia, tentu ia akan marah. Sebaliknya, jika ia berhadapan dengan lampu merah dan pengemudi di jalur lain belum bergerak maju, tentu dia akan melaju terus, tidak peduli bahwa lampu sudah merah.
Contoh lain adalah antrian. Jika seseorang sedang antri, tiba-tiba ada orang yang menyela, tentu dia akan marah. tetapi di kesempatan lain ketika dia punya peluang untuk menyela antrian, tentu dia akan melakukakannya.
Masih banyak contoh lain, di mana kita sering menerapkan standar ganda. Tidak terkecuali dengan kasus di SDN Gadel 2 Tandes, Surabaya. Saya yakin pasti para orangtua siswa amsih memiliki nurani untuk mengatakan bahwa kejujuran adalah kebaikan dan perbuatan curang adalah tidak baik. Tetapi, apa akibatnya jika kejujuran itu diterapkan? Kemungkinan besar mereka akan "rugi". So, kalau begitu, lebih baik kejujuran jangan diterapkan dulu. Tetapi bagaimana jika ada sekolah lain yang diberikan penghargaan karena jujur dan dihukum karena tidak jujur, mereka pasti mendukung.
Dengan kata lain, orang atau masayarakat yang memiliki stdanr ganda adalah orang yang berprinsip bahwa peraturan boleh/harus ditegakkan selama itu tidak merugikan dia. tetapi jika peraturan itu terbukti menganggu kepentingannya, maka peraturan itu akan diabaikan/dihilangkan/dianggap tidak ada.
So... gimana memperbaikinya?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar