Siaran Media
11 Juni 2011
Duta Besar Australia untuk Indonesia, Greg Moriarty, mengucapkan selamat kepada para pemenang penghargaan Australian Alumni Awards keempat yang diumumkan pada 11 Juni 2011 di Jakarta.
“Saya gembira merayakan penghargaan Australian Alumni Awards keempat, suatu kegiatan yang mengakui prestasi luar biasa oleh sekelompok warga Indonesia yang menonjol dalam bidang pilihan mereka. Ini merupakan pengalaman yang mengesankan bagi kami untuk menyaksikan begitu banyak warga Indonesia yang kembali dari studi mereka di Australia dan membuat sumbangsih yang signifikan bagi kemajuan Indonesia,” tutur Dubes Moriarty.
Para pemenang pada 2011, yang diputuskan oleh panel independen sesama alumni, adalah:
Australian Alumni Award for Excellence in Education (Keunggulan dalam Pendidikan): Dr. Muhammad Zuhdi
Australian Alumni Award for Research and Innovation (Penelitian dan Inovasi): Professor Endang Sukara
Australian Alumni Award for Sustainable Economic and Social Development (Pembangunan Berkelanjutan dan Ekonomi): Dr. Ahmad Agus Setiawan
Australian Alumni Award for Culture and the Arts (Budaya dan Seni): Ibu Kestity A. Pringgoharjono
Australian Alumni Award for Journalism and Media (Jurnalisme dan Media): Ibu Valerina Daniel
Australian Alumni Award for Excellence in National Defence (Keunggulan dalam Pertahanan Nasional): Marsdya TNI Eris Herryanto
Australian Alumni Award for Excellence in National Security (Keunggulan dalam Keamanan Nasional): Laksdya TNI Y. Didik Heru Purnomo
Australian Alumni Award for Entrepreneurship (Kewirausahaan): Ibu Ligwina Poerwo-Hananto
Australian Alumni Award for Business Leadership (Kepemimpinan Bisnis): Ibu Amalia Fahmi
Outstanding Young Alumni Award (Alumni Muda Yang Menonjol): Ibu Kamila Andini
Penghargaan Distinguished Alumni Award diberikan kepada Wakil Presiden Prof. Dr. Boediono dan Wakil Menteri Perdagangan Bapak Mahendra Siregar
Penghargaan Australian Alumni Awards mengakui sumbangsih terhadap kemajuan Indonesia yang dilakukan oleh puluhan ribu warga Indonesia yang telah menuntut ilmu di sekolah, universitas dan akademi teknik Australia. Lebih dari 300 orang menghadiri acara tersebut dengan pertunjukan oleh Nengah & Nanda.
Kamis, Juni 30, 2011
Penghargaan buat Pencetus "Jalan Sesama"
Indra | Tri Wahono | Minggu, 12 Juni 2011 | 08:29 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Muhammad Zuhdi berhasil meraih penghargaan dari Pemerintah Australia dalam Australian Alumni Award for Excellence in Education 2011. Ia telah bertahun-tahun menceburkan diri di dunia pendidikan, baik sebagai dosen di Fakultas Ilmu Tarbiyah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah maaupun sebagai praktisi pendidikan anak usia dini dengan memproduksi film Jalan Sesama (Sesame Street versi Indonesia).
Kepada Kompas.com, pria ramah ini bercerita tentang pengalamannya menghadapi tantangan ketika memproduksi film tersebut. "Saya berkecimpung di dua pendidikan yang secara jenjang memiliki perbedaan. Pertama saya adalah dosen di Fakultas Ilmu Tarbiyah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, saya mengajar para calon guru. Selain itu, saya juga berkecimpung di dunia PAUD (pendidikan anak usia dini), saya terlibat dalam produksi film Jalan Sesama sejak tahun 2006. Tugas saya dan tim (team education and research) adalah meramu dan merumuskan pesan pendidikan yang akan dimasukkan ke dalam film tersebut. Jadi selain menghibur, ada pesan pendidikannya juga," tutur Zuhdi, sesaat setelah menerima Australian Alumni Award, Sabtu (11/6/2011) malam di Ballroom Hotel Four Season, Jakarta.
"Tantangan utamanya adalah bagaimana mengemas sebuah program yang menarik, tetapi juga mendidik," ujarnya. Atas segala upaya kerasnya, film Jalan Sesama berhasil meraih beberapa penghargaan. Penghargaan tersebut antara lain Golden Award dari World Media Festival di Jerman pada tahun 2009 dan penghargaan dari Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2010 dengan kategori Program yang Peduli terhadap Pendidikan Anak-anak.
"Yang menarik, ada penelitian yang dilakukan oleh Dr Dina Borzekowsky dari John Hopkins University, Amerika Serikat. Ia melakukan penelitian di beberapa daerah di Banten, mereka melihat impact dari film Jalan Sesama ini terhadap anak-anak dan terbukti cukup signifikan. Jadi materi yang diberikan melalui film ini cukup berpengaruh untuk anak-anak meskipun mereka tidak pergi ke TK. Mereka, anak-anak yang berasal dari golongan kurang mampu, dapat mengambil ilmu yang dibawa oleh film ini," ujarnya.
Meski begitu, Zuhdi mengakui banyak sekali kendala dalam memproduksi dan mengembangkan film Jalan Sesama. salah satunya adalah keterbatasan teknologi dan sumber daya. Itulah alasan yang mendorongnya terus berdiskusi dengan berbagai pihak demi memenuhi hasrat memproduksi film anak-anak yang sarat dengan muatan pendidikan dan potensi lokal.
"Memang kita masih kekurangan teknologi dan kepakaran, tidak banyak yang memproduksi film seperti ini. Karena itu, tidak ada salahnya kita membuka diri dengan mereka yang sudah berpengalaman karena Sesame Street sudah ada sejak tahun 1960-an. Film ini tidak hanya berhasil di Amerika saja, tetapi juga di banyak negara lain," katanya.
Jalan Sesama memang adaptasi dari Sesame Street. Dalam program tersebut, Sesame Street International bekerjasama dengan produser lokal untuk menciptakan program TV untuk anak-anak yang bernuansa lokal. Walaupun ilmunya dari sana, kontennya tetap disesuaikan dengan kebutuhan anak-anak di Indonesia.
"Untuk ide cerita, terkadang kami berdiskusi juga dengan para pakar, dan semua penulis ceritanya adalah murni orang Indonesia. Kemudian pesan-pesan pendidikannya kami sesuaikan dengan kurikulum dan kami juga kerap mengundang pakar-pakar pendidikan, khususnya PAUD," ungkapnya.
JAKARTA, KOMPAS.com — Muhammad Zuhdi berhasil meraih penghargaan dari Pemerintah Australia dalam Australian Alumni Award for Excellence in Education 2011. Ia telah bertahun-tahun menceburkan diri di dunia pendidikan, baik sebagai dosen di Fakultas Ilmu Tarbiyah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah maaupun sebagai praktisi pendidikan anak usia dini dengan memproduksi film Jalan Sesama (Sesame Street versi Indonesia).
Kepada Kompas.com, pria ramah ini bercerita tentang pengalamannya menghadapi tantangan ketika memproduksi film tersebut. "Saya berkecimpung di dua pendidikan yang secara jenjang memiliki perbedaan. Pertama saya adalah dosen di Fakultas Ilmu Tarbiyah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, saya mengajar para calon guru. Selain itu, saya juga berkecimpung di dunia PAUD (pendidikan anak usia dini), saya terlibat dalam produksi film Jalan Sesama sejak tahun 2006. Tugas saya dan tim (team education and research) adalah meramu dan merumuskan pesan pendidikan yang akan dimasukkan ke dalam film tersebut. Jadi selain menghibur, ada pesan pendidikannya juga," tutur Zuhdi, sesaat setelah menerima Australian Alumni Award, Sabtu (11/6/2011) malam di Ballroom Hotel Four Season, Jakarta.
"Tantangan utamanya adalah bagaimana mengemas sebuah program yang menarik, tetapi juga mendidik," ujarnya. Atas segala upaya kerasnya, film Jalan Sesama berhasil meraih beberapa penghargaan. Penghargaan tersebut antara lain Golden Award dari World Media Festival di Jerman pada tahun 2009 dan penghargaan dari Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2010 dengan kategori Program yang Peduli terhadap Pendidikan Anak-anak.
"Yang menarik, ada penelitian yang dilakukan oleh Dr Dina Borzekowsky dari John Hopkins University, Amerika Serikat. Ia melakukan penelitian di beberapa daerah di Banten, mereka melihat impact dari film Jalan Sesama ini terhadap anak-anak dan terbukti cukup signifikan. Jadi materi yang diberikan melalui film ini cukup berpengaruh untuk anak-anak meskipun mereka tidak pergi ke TK. Mereka, anak-anak yang berasal dari golongan kurang mampu, dapat mengambil ilmu yang dibawa oleh film ini," ujarnya.
Meski begitu, Zuhdi mengakui banyak sekali kendala dalam memproduksi dan mengembangkan film Jalan Sesama. salah satunya adalah keterbatasan teknologi dan sumber daya. Itulah alasan yang mendorongnya terus berdiskusi dengan berbagai pihak demi memenuhi hasrat memproduksi film anak-anak yang sarat dengan muatan pendidikan dan potensi lokal.
"Memang kita masih kekurangan teknologi dan kepakaran, tidak banyak yang memproduksi film seperti ini. Karena itu, tidak ada salahnya kita membuka diri dengan mereka yang sudah berpengalaman karena Sesame Street sudah ada sejak tahun 1960-an. Film ini tidak hanya berhasil di Amerika saja, tetapi juga di banyak negara lain," katanya.
Jalan Sesama memang adaptasi dari Sesame Street. Dalam program tersebut, Sesame Street International bekerjasama dengan produser lokal untuk menciptakan program TV untuk anak-anak yang bernuansa lokal. Walaupun ilmunya dari sana, kontennya tetap disesuaikan dengan kebutuhan anak-anak di Indonesia.
"Untuk ide cerita, terkadang kami berdiskusi juga dengan para pakar, dan semua penulis ceritanya adalah murni orang Indonesia. Kemudian pesan-pesan pendidikannya kami sesuaikan dengan kurikulum dan kami juga kerap mengundang pakar-pakar pendidikan, khususnya PAUD," ungkapnya.
Zuhdi Raih Penghargaan Excellence in Education
Australian Alumni Award 2011
Indra | A. Wisnubrata | Minggu, 12 Juni 2011 | 00:58 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Bahasa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Muhammad Zuhdi, mendapatkan penghargaan Excellence in Education dalam acara Australian Alumni Award 2011.
Penghargaan tersebut diserahkan langsung oleh Duta Besar Australia untuk Indonesia, Greg Moriarty, Sabtu (11/6/2011) malam, di Ballroom Hotel Four Seasons, Jakarta. "Ini suatu kegiatan yang mengakui prestasi luar biasa oleh sekelompok warga Indonesia yang menonjol dalam bidang pilihan mereka. Merupakan pengalaman yang mengesankan bagi kami untuk menyaksikan begitu banyak warga Indonesia yang kembali dari studi mereka di Australia dan memberikan sumbangsih yang signifikan bagi kemajuan Indonesia," kata Greg saat memberikan sambutan.
Dalam kesempatan terpisah, Muhammad Zuhdi mengaku sangat terkejut menerima penghargaan tersebut. Ia berharap, penghargaan yang diterimanya dapat membuat dirinya lebih tertantang untuk memberikan sumbangsih yang lebih signifikan terhadap dunia pendidikan di Indonesia.
"Tentu saya senang, tetapi lebih kepada surprise. Penghargaan ini merupakan tantangan, mudah-mudahan ke depan saya bisa berpikir lebih kreatif dan menawarkan sesuatu yang lebih produktif lagi," ujar pria yang juga berkecimpung di dunia pendidikan anak usia dini (PAUD) dengan memproduksi film Jalan Sesama (Sesame Street versi Indonesia) ini.
Australian Alumni Award adalah sebuah penghargaan yang diberikan oleh Pemerintah Australia atas sumbangan signifikan dari warga Indonesia yang telah menuntut ilmu di sekolah, universitas, dan akademi teknik Australia ketika mereka kembali ke Tanah Air. Semua nominasi dalam penghargaan ini sepenuhnya ditentukan oleh masyarakat melalui www.ozmate.org dan pemenangnya diputuskan oleh panel independen sesama alumni yang akuntabel.
"Rasanya film itulah (Jalan Sesama) yang memberikan nilai lebih kepada saya. Dan, saya kira Pemerintah Australia sangat menghargai potensi lokal sehingga bukan lagi sekadar mendapatkan ilmu lalu ditelan mentah-mentah untuk diterapkan di sini, tapi bagaimana mempertimbangkan muatan lokal untuk disertakan dalam film ini. Mungkin itulah salah satu pertimbangan mereka (tim panelis) memilih saya sebagai penerima penghargaan ini," ujar Zuhdi.
Indra | A. Wisnubrata | Minggu, 12 Juni 2011 | 00:58 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Bahasa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Muhammad Zuhdi, mendapatkan penghargaan Excellence in Education dalam acara Australian Alumni Award 2011.
Penghargaan tersebut diserahkan langsung oleh Duta Besar Australia untuk Indonesia, Greg Moriarty, Sabtu (11/6/2011) malam, di Ballroom Hotel Four Seasons, Jakarta. "Ini suatu kegiatan yang mengakui prestasi luar biasa oleh sekelompok warga Indonesia yang menonjol dalam bidang pilihan mereka. Merupakan pengalaman yang mengesankan bagi kami untuk menyaksikan begitu banyak warga Indonesia yang kembali dari studi mereka di Australia dan memberikan sumbangsih yang signifikan bagi kemajuan Indonesia," kata Greg saat memberikan sambutan.
Dalam kesempatan terpisah, Muhammad Zuhdi mengaku sangat terkejut menerima penghargaan tersebut. Ia berharap, penghargaan yang diterimanya dapat membuat dirinya lebih tertantang untuk memberikan sumbangsih yang lebih signifikan terhadap dunia pendidikan di Indonesia.
"Tentu saya senang, tetapi lebih kepada surprise. Penghargaan ini merupakan tantangan, mudah-mudahan ke depan saya bisa berpikir lebih kreatif dan menawarkan sesuatu yang lebih produktif lagi," ujar pria yang juga berkecimpung di dunia pendidikan anak usia dini (PAUD) dengan memproduksi film Jalan Sesama (Sesame Street versi Indonesia) ini.
Australian Alumni Award adalah sebuah penghargaan yang diberikan oleh Pemerintah Australia atas sumbangan signifikan dari warga Indonesia yang telah menuntut ilmu di sekolah, universitas, dan akademi teknik Australia ketika mereka kembali ke Tanah Air. Semua nominasi dalam penghargaan ini sepenuhnya ditentukan oleh masyarakat melalui www.ozmate.org dan pemenangnya diputuskan oleh panel independen sesama alumni yang akuntabel.
"Rasanya film itulah (Jalan Sesama) yang memberikan nilai lebih kepada saya. Dan, saya kira Pemerintah Australia sangat menghargai potensi lokal sehingga bukan lagi sekadar mendapatkan ilmu lalu ditelan mentah-mentah untuk diterapkan di sini, tapi bagaimana mempertimbangkan muatan lokal untuk disertakan dalam film ini. Mungkin itulah salah satu pertimbangan mereka (tim panelis) memilih saya sebagai penerima penghargaan ini," ujar Zuhdi.
Selasa, Juni 14, 2011
#Indonesia Jujur: Ny. Siami benar, tapi di mana kesalahan masyarakat?
Kasus yang menimpa Ibu Siami dan putranya Al membuka mata kita bahwa ada persoalan serius dengan dunia pendidikan kita, dan itu adalah cerminan masyarakat kita yang konon sedang sakit.
Al adalah putra Ibu Siami yang bersekolah di SDN Gadel 2 Tandes, Surabaya. Menurut beberapa sumber, Al adalah seorang anak cerdas yang membanggakan orangtua dan gurunya. Pada saat Ujian Nasional beberapa waktu lalu, Al mendapatkan "tugas mulia" dari sekolahnya untuk menbantu teman-teman sekelasnya lulus ujian nasional. Tugasnya sederhana, cukup memberikan jawaban atas soal-soal UN kepada teman-temannya di saat ujian, maka diyakini mereka akan lulus, karena para guru yakin bahwa Al pasti mampu menjawab soal-soal ujian dengan baik.
Ujian telah selesai, dan Al telah melaksanakan tugas dengan baik. Tetapi ia terngiang-ngiang dengan nasehat ibunya untuk berlaku jujur. Dia sadar bahwa memberikan jawaban ke teman-teman saat ujian adalah perilaku dan tidak jujur. I adihantui rasa bersalah telah melakukan hal yang dilarang oleh sang ibu. Maka ia pun mengadu kepada ibunya, bahwa ia telah diminta untuk berlaku tidak jujur, dan ia melakukannya.
Sebagai orang tua yang tahu akan pentingnya integritas diri, jiwa Ny. Siami terusik. Ia tidak rela sekolah yang mestinya menjadi benteng kejujuran justru menjadi tempat penyemaian benih-benih penghancur moral dengan praktek yang nyata. Ia pun melayangkan protes ke sekolah, bahkan lebih dari itu, ia juga mengadu ke dinas pendidikan. Hasilnya, dia menang. Dinas pendidikan langsung mengambil tindakan kepada Kepala sekolah dan guru yang terlibat dalam kasus Al.
Ny. Siami boleh merasa bangga bahwa pihak yang berwenang telah mendengar suara hatinya, tetapi ia tentu tidak menyangkan bahwa perbuatannya justru dianggap merugikan oleh sebagian masyarakat di mana dia tinggal. Mayoritas masyarakat justru menganggap apa yang dilakukan Ny. Siami adalah tindakan yang salah, karena hanya akan merugikan anak-anak mereka. Apalah jadinya jika kemudian ujian nasional harus diulang dan anak-anak mereka menjadi tidak lulus. Ny. Siami dianggap membuat keresahan di tengah-tengah masyarakat, karena akibat perbuatannya orangtua dan anak-anak yang ikut ujian nasional menjadi resah. Akibatnya ia diusir dari tempat tinggalnya...
Kenapa ini terjadi? Apakah masyarakat kita sudah mengabaikan nilai-nilai kejujuran dan tidak mementingkan lagi integritas diri?
Kita yang berada di luar kasus itu, mungkin secara mudah mengatakan bahwa Ny. Siami benar dan masyarakat salah. Ny. Siami telah memperjuangkan kejujuran dan berhasil menunjukkan bahwa kejujuran masih dihargai oleh birokrasi pendidikan. Sementara masyarakat yang mengukum Ny. Siami dan keluarganya adalah masyarakat yang tidak menghargai kejujuran.
Sesederhana itu kah? Benarkah masyarakat tersebut sudah tidak menghargai kejujuran? Saya yakin jawabannya tidak sesederhana itu. Mungkin kita akan melakukan hal yang sama jika berada di tengah-tengah masyarakat itu.
Saya melihat ada persoalan besar yang dialami masyarakat, sehingga mengabaikan pentingnya nilai-nilai kejujuran:
1. Tidak Percaya Sistem
Saya yakin jika masyarakat ditanya satu persatu, bahkan secara kolektif, pasti mereka meyakini bahwa kejujuran itu baik. Mungkin hati kecil mereka mengakui apa yang dilakukan Ny. Siami benar, tetapi persoalan yang mereka hadapi adalah anak-anak mereka HARUS lulus ujian nasional agar bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Memang pemerintah telah menjelaskan bahwa hasil ujian tidak menentukan kelulusan, tapi apakah mereka percaya?
Di sinilah masalahnya, masyarakat tidak percaya bahwa sistem berjalan dengan baik. Toh mereka tidak buta dan tuli ketika media masa cetak dan elektronik memberitakan berbagai kecurangan saat Ujian Nasional. Mereka bahkan menyaksikan dan mengalami sendiri bahwa banyak sekolah melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh sekolahnya Al, tapi tidak apa-apa, yang penting siswa lulus.
Kalau mereka harus melakukannya dengan jujur dan hasilnya anak-anak tidak lulus, sementara ada sekolah lain (ini asumsi saja) yang melakukan pelanggaran tetapi tidak dihukum, di mana letak keadilan? Maka mereka beranggapan bahwa hal yang dilakukan sekolah adalah lumrah, karena hal itu terjadi dan diberlakukan dibanyak tempat. Sama lumrahnya dengan memberi uang kepada polisi ketika mau ditilang atau memberi upeti kepada pejabat ketika mendapat proyek. Salah? iya. Tetapi toh harus dilakukan, dan masih terus berlangungsung, meskipun dinyatakan melanggar. Sebab kalau tidak begitu anak-anak yang jadi korban...
Singkatnya, masyarakat merasa sistem tidak berjalan dengan baik. Mereka yakin betul bahwa siswa-siswi yang dinyatakan lulus UN tidak seluruhnya layak lulus, karena sebagian "dibantu" sekolah dan guru. Kalau orang lain bisa ikut ujian dengan resiko ketidak lulusan "nol", maka anak mereka pun berhak untuk
Rusaknya sistem pendidikan ini disebabkan oleh perilaku oknum-oknum di masa lalu yang suka membocorkan soal ujian, memperdaya pengawas dari luar, dan menagabaikan sistem. dan mental-mental seperti itu, baik di sekolah maupun birokrasi tidak bisa hilang begitu saja. Akibatnya, meskipun sistem pengamanan soal ujian dan pelaksanaan ujian kian diperketat, masyarakat masih tidak yakin bahwa sistem berjalan. Buktinya, tanpa pengaduan Ny. Siami, sekolah tersebut tidak akan pernah dianggap salah. Bukankah itu menunjukkan bahwa sistemnya memang lemah. Jika begitu, tentu bisa dimengerti jika masrakat tidak percaya sistem.
2. Budaya Short-Cut atau Instan
Dampak dari industrialisasi, modernisasi dan kemajuan teknologi antara lain adalah terciptanya budaya baru masysrakat era teknologi. Segala sesuatu seringkali terjadi dengan sangat cepat. bahkan dalam komputer dikenal istilah short-cut, yaitu icon di desktop yang bisa langsung mengantarkan seseorang ke file atau folder yang diinginkan tanpa harus mencari dengan sulit.
Budaya serba cepat dan instan telah melahirkan generasi yang tidak menghargai proses. Seolah-olah semua taken for granted. Wisata kuliner yang saat ini menjadi tren baru, sering hanya menampilkan bentuk akhir dari sebuah makanan, tanpa memperhatikan proses panjang pembuatannya. Hal ini juga terjadi di dunia pendidikan.
Sudah bukan hal yang baru jika kita mendengar ada orang yang membeli gelar, membayar orang lain mengerjakan skripsi, menggunakan joki ketika ujian masuk, dan memplagiat karya orang lain untuk diakui sebagai karya sendiri. Semua ini terjadi di dunia pendidikan, dan semua ini menunjukkan bahwa banyak orang tidak lagi menghargai pendidikan sebegai sebuah proses, mereka hanya ingin hasil. Tidak mau lama-lama menunggu proses. Karena itu, jika ada sekolah yang bisa menawarkan program pendidikan berijazah, dengan cara yang singkat dan mudah, dijamin laku. Karena masyarakat tdiak peduli dengan proses, yang penting hasil.
3. Dis-orientasi Pendidikan
Ketika dikatakan Bahwa mereka berorientasi pada hasil, sebenarnya ada nilai positifnya. Ada kemungkinan hasil itu adalah kualitas lulusan. Sayangnya kenyatannya tidak demikian. Hasil pendidikan telah dipersempit maknanya menjadi ijazah dan transkrip nilai. Selama ijazah dan transkrip nilainya baik dan menguntungkan, banyak orang tidak peduli dengan kehampaan pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki.
Lembaga-lembaga pendidikan sebenarnya dilahirkan untuk melaksanakan proses pendidikan, yaitu proses yang mengashilkan individu-individu yang berkualitas. ketika definisi individu yang berkualitas disimbolkan dengan ijazah dan transkrip, maka orientasi pun berubah, yaitu bagaimana memperoleh ijazah dan transkrip yang baik.
Perubahan orientasi pendidikan ini mengakibatkan banyak lembaga pendidikan yang melakukan malpraktik dan banyak orangtua yang memanfaatkan malpraktik itu. Persoalannya, malpraktik itu berlangsung di banyak tempat, sehingga seolah-olah itu adalah kawajaran.
4. Penyakit Standar-ganda
Banyak orang Indonesia yang menerapkan standar ganda dalam hidupnya. Jika da satu peraturan yang fair dan itu menguntungkan, maka ia akan ikut. tetapi jika peraturan yang fair itu merugikan dia maka dia akan mengelak.
Contoh kasus adalah perilaku pengguna jalan raya. Ketika lampu lalu lintas menyala hijau seharusnya seorang pengemudi menjalankan kendaraannya, ketika dia melihat dari arah lain ada yang melintas dan merugikan dia, tentu ia akan marah. Sebaliknya, jika ia berhadapan dengan lampu merah dan pengemudi di jalur lain belum bergerak maju, tentu dia akan melaju terus, tidak peduli bahwa lampu sudah merah.
Contoh lain adalah antrian. Jika seseorang sedang antri, tiba-tiba ada orang yang menyela, tentu dia akan marah. tetapi di kesempatan lain ketika dia punya peluang untuk menyela antrian, tentu dia akan melakukakannya.
Masih banyak contoh lain, di mana kita sering menerapkan standar ganda. Tidak terkecuali dengan kasus di SDN Gadel 2 Tandes, Surabaya. Saya yakin pasti para orangtua siswa amsih memiliki nurani untuk mengatakan bahwa kejujuran adalah kebaikan dan perbuatan curang adalah tidak baik. Tetapi, apa akibatnya jika kejujuran itu diterapkan? Kemungkinan besar mereka akan "rugi". So, kalau begitu, lebih baik kejujuran jangan diterapkan dulu. Tetapi bagaimana jika ada sekolah lain yang diberikan penghargaan karena jujur dan dihukum karena tidak jujur, mereka pasti mendukung.
Dengan kata lain, orang atau masayarakat yang memiliki stdanr ganda adalah orang yang berprinsip bahwa peraturan boleh/harus ditegakkan selama itu tidak merugikan dia. tetapi jika peraturan itu terbukti menganggu kepentingannya, maka peraturan itu akan diabaikan/dihilangkan/dianggap tidak ada.
So... gimana memperbaikinya?
Al adalah putra Ibu Siami yang bersekolah di SDN Gadel 2 Tandes, Surabaya. Menurut beberapa sumber, Al adalah seorang anak cerdas yang membanggakan orangtua dan gurunya. Pada saat Ujian Nasional beberapa waktu lalu, Al mendapatkan "tugas mulia" dari sekolahnya untuk menbantu teman-teman sekelasnya lulus ujian nasional. Tugasnya sederhana, cukup memberikan jawaban atas soal-soal UN kepada teman-temannya di saat ujian, maka diyakini mereka akan lulus, karena para guru yakin bahwa Al pasti mampu menjawab soal-soal ujian dengan baik.
Ujian telah selesai, dan Al telah melaksanakan tugas dengan baik. Tetapi ia terngiang-ngiang dengan nasehat ibunya untuk berlaku jujur. Dia sadar bahwa memberikan jawaban ke teman-teman saat ujian adalah perilaku dan tidak jujur. I adihantui rasa bersalah telah melakukan hal yang dilarang oleh sang ibu. Maka ia pun mengadu kepada ibunya, bahwa ia telah diminta untuk berlaku tidak jujur, dan ia melakukannya.
Sebagai orang tua yang tahu akan pentingnya integritas diri, jiwa Ny. Siami terusik. Ia tidak rela sekolah yang mestinya menjadi benteng kejujuran justru menjadi tempat penyemaian benih-benih penghancur moral dengan praktek yang nyata. Ia pun melayangkan protes ke sekolah, bahkan lebih dari itu, ia juga mengadu ke dinas pendidikan. Hasilnya, dia menang. Dinas pendidikan langsung mengambil tindakan kepada Kepala sekolah dan guru yang terlibat dalam kasus Al.
Ny. Siami boleh merasa bangga bahwa pihak yang berwenang telah mendengar suara hatinya, tetapi ia tentu tidak menyangkan bahwa perbuatannya justru dianggap merugikan oleh sebagian masyarakat di mana dia tinggal. Mayoritas masyarakat justru menganggap apa yang dilakukan Ny. Siami adalah tindakan yang salah, karena hanya akan merugikan anak-anak mereka. Apalah jadinya jika kemudian ujian nasional harus diulang dan anak-anak mereka menjadi tidak lulus. Ny. Siami dianggap membuat keresahan di tengah-tengah masyarakat, karena akibat perbuatannya orangtua dan anak-anak yang ikut ujian nasional menjadi resah. Akibatnya ia diusir dari tempat tinggalnya...
Kenapa ini terjadi? Apakah masyarakat kita sudah mengabaikan nilai-nilai kejujuran dan tidak mementingkan lagi integritas diri?
Kita yang berada di luar kasus itu, mungkin secara mudah mengatakan bahwa Ny. Siami benar dan masyarakat salah. Ny. Siami telah memperjuangkan kejujuran dan berhasil menunjukkan bahwa kejujuran masih dihargai oleh birokrasi pendidikan. Sementara masyarakat yang mengukum Ny. Siami dan keluarganya adalah masyarakat yang tidak menghargai kejujuran.
Sesederhana itu kah? Benarkah masyarakat tersebut sudah tidak menghargai kejujuran? Saya yakin jawabannya tidak sesederhana itu. Mungkin kita akan melakukan hal yang sama jika berada di tengah-tengah masyarakat itu.
Saya melihat ada persoalan besar yang dialami masyarakat, sehingga mengabaikan pentingnya nilai-nilai kejujuran:
1. Tidak Percaya Sistem
Saya yakin jika masyarakat ditanya satu persatu, bahkan secara kolektif, pasti mereka meyakini bahwa kejujuran itu baik. Mungkin hati kecil mereka mengakui apa yang dilakukan Ny. Siami benar, tetapi persoalan yang mereka hadapi adalah anak-anak mereka HARUS lulus ujian nasional agar bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Memang pemerintah telah menjelaskan bahwa hasil ujian tidak menentukan kelulusan, tapi apakah mereka percaya?
Di sinilah masalahnya, masyarakat tidak percaya bahwa sistem berjalan dengan baik. Toh mereka tidak buta dan tuli ketika media masa cetak dan elektronik memberitakan berbagai kecurangan saat Ujian Nasional. Mereka bahkan menyaksikan dan mengalami sendiri bahwa banyak sekolah melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh sekolahnya Al, tapi tidak apa-apa, yang penting siswa lulus.
Kalau mereka harus melakukannya dengan jujur dan hasilnya anak-anak tidak lulus, sementara ada sekolah lain (ini asumsi saja) yang melakukan pelanggaran tetapi tidak dihukum, di mana letak keadilan? Maka mereka beranggapan bahwa hal yang dilakukan sekolah adalah lumrah, karena hal itu terjadi dan diberlakukan dibanyak tempat. Sama lumrahnya dengan memberi uang kepada polisi ketika mau ditilang atau memberi upeti kepada pejabat ketika mendapat proyek. Salah? iya. Tetapi toh harus dilakukan, dan masih terus berlangungsung, meskipun dinyatakan melanggar. Sebab kalau tidak begitu anak-anak yang jadi korban...
Singkatnya, masyarakat merasa sistem tidak berjalan dengan baik. Mereka yakin betul bahwa siswa-siswi yang dinyatakan lulus UN tidak seluruhnya layak lulus, karena sebagian "dibantu" sekolah dan guru. Kalau orang lain bisa ikut ujian dengan resiko ketidak lulusan "nol", maka anak mereka pun berhak untuk
Rusaknya sistem pendidikan ini disebabkan oleh perilaku oknum-oknum di masa lalu yang suka membocorkan soal ujian, memperdaya pengawas dari luar, dan menagabaikan sistem. dan mental-mental seperti itu, baik di sekolah maupun birokrasi tidak bisa hilang begitu saja. Akibatnya, meskipun sistem pengamanan soal ujian dan pelaksanaan ujian kian diperketat, masyarakat masih tidak yakin bahwa sistem berjalan. Buktinya, tanpa pengaduan Ny. Siami, sekolah tersebut tidak akan pernah dianggap salah. Bukankah itu menunjukkan bahwa sistemnya memang lemah. Jika begitu, tentu bisa dimengerti jika masrakat tidak percaya sistem.
2. Budaya Short-Cut atau Instan
Dampak dari industrialisasi, modernisasi dan kemajuan teknologi antara lain adalah terciptanya budaya baru masysrakat era teknologi. Segala sesuatu seringkali terjadi dengan sangat cepat. bahkan dalam komputer dikenal istilah short-cut, yaitu icon di desktop yang bisa langsung mengantarkan seseorang ke file atau folder yang diinginkan tanpa harus mencari dengan sulit.
Budaya serba cepat dan instan telah melahirkan generasi yang tidak menghargai proses. Seolah-olah semua taken for granted. Wisata kuliner yang saat ini menjadi tren baru, sering hanya menampilkan bentuk akhir dari sebuah makanan, tanpa memperhatikan proses panjang pembuatannya. Hal ini juga terjadi di dunia pendidikan.
Sudah bukan hal yang baru jika kita mendengar ada orang yang membeli gelar, membayar orang lain mengerjakan skripsi, menggunakan joki ketika ujian masuk, dan memplagiat karya orang lain untuk diakui sebagai karya sendiri. Semua ini terjadi di dunia pendidikan, dan semua ini menunjukkan bahwa banyak orang tidak lagi menghargai pendidikan sebegai sebuah proses, mereka hanya ingin hasil. Tidak mau lama-lama menunggu proses. Karena itu, jika ada sekolah yang bisa menawarkan program pendidikan berijazah, dengan cara yang singkat dan mudah, dijamin laku. Karena masyarakat tdiak peduli dengan proses, yang penting hasil.
3. Dis-orientasi Pendidikan
Ketika dikatakan Bahwa mereka berorientasi pada hasil, sebenarnya ada nilai positifnya. Ada kemungkinan hasil itu adalah kualitas lulusan. Sayangnya kenyatannya tidak demikian. Hasil pendidikan telah dipersempit maknanya menjadi ijazah dan transkrip nilai. Selama ijazah dan transkrip nilainya baik dan menguntungkan, banyak orang tidak peduli dengan kehampaan pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki.
Lembaga-lembaga pendidikan sebenarnya dilahirkan untuk melaksanakan proses pendidikan, yaitu proses yang mengashilkan individu-individu yang berkualitas. ketika definisi individu yang berkualitas disimbolkan dengan ijazah dan transkrip, maka orientasi pun berubah, yaitu bagaimana memperoleh ijazah dan transkrip yang baik.
Perubahan orientasi pendidikan ini mengakibatkan banyak lembaga pendidikan yang melakukan malpraktik dan banyak orangtua yang memanfaatkan malpraktik itu. Persoalannya, malpraktik itu berlangsung di banyak tempat, sehingga seolah-olah itu adalah kawajaran.
4. Penyakit Standar-ganda
Banyak orang Indonesia yang menerapkan standar ganda dalam hidupnya. Jika da satu peraturan yang fair dan itu menguntungkan, maka ia akan ikut. tetapi jika peraturan yang fair itu merugikan dia maka dia akan mengelak.
Contoh kasus adalah perilaku pengguna jalan raya. Ketika lampu lalu lintas menyala hijau seharusnya seorang pengemudi menjalankan kendaraannya, ketika dia melihat dari arah lain ada yang melintas dan merugikan dia, tentu ia akan marah. Sebaliknya, jika ia berhadapan dengan lampu merah dan pengemudi di jalur lain belum bergerak maju, tentu dia akan melaju terus, tidak peduli bahwa lampu sudah merah.
Contoh lain adalah antrian. Jika seseorang sedang antri, tiba-tiba ada orang yang menyela, tentu dia akan marah. tetapi di kesempatan lain ketika dia punya peluang untuk menyela antrian, tentu dia akan melakukakannya.
Masih banyak contoh lain, di mana kita sering menerapkan standar ganda. Tidak terkecuali dengan kasus di SDN Gadel 2 Tandes, Surabaya. Saya yakin pasti para orangtua siswa amsih memiliki nurani untuk mengatakan bahwa kejujuran adalah kebaikan dan perbuatan curang adalah tidak baik. Tetapi, apa akibatnya jika kejujuran itu diterapkan? Kemungkinan besar mereka akan "rugi". So, kalau begitu, lebih baik kejujuran jangan diterapkan dulu. Tetapi bagaimana jika ada sekolah lain yang diberikan penghargaan karena jujur dan dihukum karena tidak jujur, mereka pasti mendukung.
Dengan kata lain, orang atau masayarakat yang memiliki stdanr ganda adalah orang yang berprinsip bahwa peraturan boleh/harus ditegakkan selama itu tidak merugikan dia. tetapi jika peraturan itu terbukti menganggu kepentingannya, maka peraturan itu akan diabaikan/dihilangkan/dianggap tidak ada.
So... gimana memperbaikinya?
Langganan:
Postingan (Atom)