Pengaruh globalisasi tak terelakkan lagi masuk ke dunia pendidikan. Salah satu efeknya adalah merubah orientasi lembaga-lembaga pendidikan menjadi economic driven institution. Bagaimana tidak, semua orangtua ingin anak mereka memperoleh pendidikan yang baik, sehingga kelak memperolehh pekerjaan yang layak, berpenghasilan memadai, dan tidak menjadi benalu bagi orang lain. Untuk itu, sekolah harus dilengkapi dengan fasilitas yang baik dan gaji pendidik yang layak.
Tentu pemerintah, selaku pihak yang memiliki tanggung jawab utama dalam dunia pendidikan, tidak mampu menyediakan semuanya secara instan. Karena bagaimanapun pemerintah memiliki keterbatasan dana, dan dana yang terbatas itu pun bukan hanya untuk pendidikan. Sementara tuntutan untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil pendidikan terus meningkat. Banyak orangtua yang bersedia membayar lebih demi kepentingan pendidikan anak-anaknya. Walhasil, terbukalah peluang bagi orang-orang yang memiliki modal yang cukup untuk melakukan "investasi" di bidang pendidikan.
Dalam sejarahnya, semangat pendidikan kolektif dilakukan oleh gerakan-gerakan keagamaan, seperti masjid dan gereja untuk memastikan pelestarian nilai-nilai moral dan praktek beragama dari generasi ke generasi. Oleh karenanya, ketika itu semangat yang melandasi pendidikan pun adalah semangat dakwah atau mission. Para pemrakarsa dan pelaku jauh dari keinginan untuk memperoleh keuntungan materi. Oleh karenanya, hubungan antara guru dan murid menjadi sangat personal dan terkadang bersifat spiritual.
Perubahan tatanan kehidupan masyarakat dunia dewasa ini nampak memiliki pengaruh besar ke dalam dunia pendidikan. Keberhasilan industrialisasi menyebabkan perubahan pola hidup masyarakat secara global. Faktor ekonomi menjadi salah satu indikator penting (jika bukan yang paling penting) kemakmuran dan kesejahteraan hidup individu, masyarakat, bahkan negara. Karenanya, keberhasilan di bidang ekonomi menjadi target pencapaian keberhasilan banyak pihak.
Ketika dunia pendidikan berkembang sedemikian rupa dewasa ini, ia berada di tengah-tengah masyarakat yang menjadikan ekonomi sebagai indikator keberhasilan dan kesuksesan. Karenanya, banyak orang yang menganggap pendidikan sebagai sebuah investasi, dan ketika bicara investasi, maka seringkali, sekali lagi seringkali, yang diharapkan adalah economic return atau keuntungan finansial di masa depan. Artinya, ketika para orangtua berinvestasi untuk pendidikan anak-anaknya, maka ia berharap suatu saat nanti anak-anaknya itu akan menjadi orang-orang yang memiliki kemandirian dalam hal finansial.
Pola pikir yang tak jauh berbeda, mungkin juga menghinggapi orang-orang yang berinvestasi di dunia pendidikan. Menyadari bahwa pemerintah tidak mampu memenuhi tuntutan kebutuhan kualitas pendidikan yang kian meningkat, sementara demand terhadap hal itu kian tinggi, maka investasi di dunia pendidikan adalah hal yang menjanjikan keuntungan. Dengan menyediakan fasilitas yang memadai dan guru-guru berkualitas dengan gaji yang pantas, banyak orang yang menanamkan modalnya untuk membuat sekolah-sekolah yang lengkap. Dengan tidak bermaksud meng-generalisir, sebagian pemilik modal berharap mereka akan memperoleh keuntungan finansial yang besar melalui penyelenggaraan pendidikan itu.
Gayung pun bersambut, orangtua senang dengan kehadiran sekolah-sekolah yang lengkap dan bersedia membayar mahal demi pendidikan anak-anak mereka. Di sekolah-sekolah itu, anak-anak dikenalkan dengan hak-hak mereka terhadap guru dan sekolah. Para guru pun harus melayani siswa-siswi mereka dengan baik, sambil berupaya mengantarkan mereka untuk memperoleh pendidikan yang baik.
Sayangnya, di sebagian sekolah semacam itu, hubungan guru-murid maupun orangtua murid-guru sering terbatas pada hubungan service provider-customer. Sering terjadi siswa tidak lagi memiliki rasa hormat kepada guru, karena mereka datang naik mobil pribadi sementara sang guru naik angkot. Orangtua siswa terkadang juga kehilangan respek terhadap pendidik anak-anak mereka karena mereka merasa telah membayar. So, yang dilakukan guru itu memang sudah seharusnya, karena mereka dibayar untuk itu. Akibatnya, hubungan spiritual dan emosional antara guru dan siswa menjadi berkurang, karena kegiatan pendidikan sudah tereduksi menjadi sebuah transaksi ekonomi.
Ini terjadi dan akan terus terjadi jika liberalisasi di dunia pendidikan dibiarkan terus berlangsung. Pendidikan akan kehilangan ruhnya dan nilai-nilai humanisme dalam pendidikan akan kehilangan pegangannya.
Karena itu, perlu diingatkan bahwa pendidikan bukan semata-mata sebuah kegiatan jasa yang beorientasi pada keuntungan materi. Pendidikan merupakan proses pembentukan pribadi yang utuh yang mesti memperhatikan seluruh aspek kehidupan manusia agar seimbang dan utuh. Komersialisasi pendidikan dalam jangka panjang hanya akan membawa kerugian bagi kemanusiaan.